KHARTOUM (Arrahmah.id) – Ketika penerbangan evakuasi di Sudan terus membawa para diplomat dan warga negara asing kembali ke negara mereka atau ke tempat yang lebih aman di negara ketiga, banyak orang, termasuk para pengungsi, yang ditinggalkan untuk mengurus diri mereka sendiri.
Pertempuran terus mengguncang berbagai kota di seluruh Sudan meskipun ada dorongan dari Amerika dan Afrika untuk memperpanjang gencatan senjata yang goyah antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF).
Konflik antara kedua belah pihak yang bertikai sejauh ini telah menewaskan ratusan orang, menutup lebih dari 60% rumah sakit, dan menyebabkan pengungsian ribuan orang, menurut berbagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lansir Al Jazeera (27/4/2023).
Banyak warga Sudan yang mengungsi ke negara tetangga, Mesir, atau menjadi pengungsi internal. Para pengungsi yang rentan yang telah mencari tempat aman di Sudan, sekarang sangat ingin meninggalkan negara tersebut.
Video-video yang beredar di platform media sosial menunjukkan para pengungsi Rohingya, juga warga Yaman dan Suriah yang terjebak di Sudan tanpa metode evakuasi yang jelas. Satu keluarga Rohingya terlihat memohon bantuan, dengan ayah dari sebuah keluarga -dengan dua anak kecil dan seorang istri- mengatakan bahwa “situasinya sangat buruk”.
“Kami takut. Kami membutuhkan zona aman karena di sini situasinya sangat buruk, pertempuran yang sangat sengit,” kata pria tersebut, yang tidak disebutkan namanya. Dia terlihat membawa sebuah plakat yang bertuliskan: “Tolong bantu kami.”
Setelah melarikan diri dari penganiayaan di tangan militer di Myanmar, para pengungsi Rohingya menemukan diri mereka berada di tengah-tengah konflik lain, tanpa ada negara atau badan yang bertanggung jawab untuk mengevakuasi mereka ke tempat yang aman.
Rohingya adalah kelompok etnis yang sebagian besar beragama Islam yang telah tinggal di Myanmar yang mayoritas beragama Budha selama berabad-abad. Mereka telah ditolak kewarganegaraannya di Myanmar sejak 1982, yang secara efektif membuat mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Sejak akhir 1970-an, hampir satu juta orang Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar karena penganiayaan yang meluas.
Pelajar dari Yaman juga terjebak di Sudan, karena negara mereka masih dilanda krisis. Sebuah video di media sosial menunjukkan beberapa siswa yang mengatakan bahwa pemerintah belum memberikan bantuan apapun.
“Kami, komunitas Yaman di Khartoum, memohon bantuan,” kata salah satu mahasiswa yang terjebak di ibu kota Sudan. “Kami, para siswa, meminta bantuan setelah hidup di bawah pengeboman, penembakan pesawat tempur, dan suara-suara bombardir yang terus menerus.”
Mahasiswa tersebut mengatakan bahwa kelompoknya telah meminta bantuan dari pemerintah mereka di Yaman, “tetapi tidak berhasil”.
Di Yaman, negosiasi saat ini sedang berlangsung antara Arab Saudi dan Houtsi untuk menemukan kesepakatan untuk mengakhiri konflik di sana, yang dimulai pada 2014.
Sebuah video lain dilaporkan menunjukkan sekelompok warga Suriah yang telah terjebak berhari-hari tanpa jawaban resmi atas permintaan bantuan mereka.
Seorang pria, yang tidak disebutkan identitasnya, terdengar mengatakan bahwa jumlah warga Suriah yang berkumpul bersamanya terus bertambah dari jam ke jam. “Kami sedang menunggu kedatangan konsul Arab Saudi untuk membantu kami melakukan evakuasi,” katanya.
Arab Saudi adalah salah satu negara pertama yang mengumumkan evakuasi warganya yang terdampar di Sudan, serta “beberapa warga negara dari negara-negara persaudaraan dan sahabat”, menurut kementerian luar negeri Arab Saudi. (haninmazaya/arrahmah.id)