DHAKA (Arrahmah.com) – Hamid Hussain, seorang petani Muslim Rohingya yang telah berusia 71 tahun, pertama kali melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh pada tahun 1992. Dia pulang ke rumah di tahun berikutnya di bawah kesepakatan pemulangan antara kedua negara, hanya untuk mengulangi perjalanan September lalu saat kekerasan kembali meletus.
Pejabat dari Myanmar dan Bangladesh melakukan pertemuan pada Senin (15/1/2018) untuk membahas bagaimana menerapkan kesepakatan lain, yang ditandatangani pada 23 November, mengenai pemulangan lebih dari 650.000 Muslim Rohingya yang melarikan diri dari tindakan keras tentara Myanmar sejak akhir Agustus. Hussain adalah salah satu dari banyak pengungsi Rohingya yang mengatakan bahwa mereka takut penyelesaian ini mungkin tidak lebih permanen dari yang terakhir.
“Pihak berwenang Bangladesh telah meyakinkan kami bahwa Myanmar akan mengembalikan hak-hak kami, bahwa kami dapat hidup dengan damai,” ujar Hussain yang kini tinggal di sebuah kamp pengungsi sementara di tenggara Bangladesh, lansir Reuters.
“Kami kembali tapi tidak ada yang berubah. Saya akan kembali lagi hanya jika hak dan keamanan kami terjamin-selamanya.”
Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Budha telah bertahun-tahun menolak kewarganegaraan Rohingya, membatasi gerak dan akses mereka terhadap banyak layanan dasar seperti perawatan kesehatan dan pendidikan. Mereka dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Otoritas mengatakan bahwa orang-orang yang kembali dapat mengajukan kewarganegaraan jika mereka dapat menunjukkan leluhur mereka telah tinggal di Myanmar. Tapi kesepakatan terakhir-seperti ditahun 1992-tidak menjamin kewarganegaraan dan tidak jelas berapa banyak yang akan memenuhi syarat.
Pertemuan Senin (15/1) di ibu kota Myanmar Naypyitaw akan menjadi yang pertama bagi kelompok kerja gabungan untuk memastikan rincian kesepakatan repatriasi bulan November. Kelompok ini terdiri dari pegawai negeri dari kedua negara.
Dua pejabat senior Bangladesh yang terlibat dalam pembicaraan tersebut mengakui bahwa masih banyak yang harus diselesaikan dan tidak jelas kapan pengungsi pertama benar-benar dapat dipulangkan. Salah satu masalah utama yang harus ditangani adalah bagaimana proses untuk memverifikasi identitas pengungsi yang kembali.
“Setiap pengembalian adalah kacau dan rumit,” ujar Shahidul Haque, pejabat tinggi kementerian luar negeri yang memimpin 14 anggota tim dari Dhaka dalam pembicaraan tersebut.
“Tantangannya adalah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mereka kembali.”
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay mengklaim bahwa mereka yang kembali akan dapat mengajukan kewarganegaraan setelah mereka “lolos dari proses verifikasi”.
Myanmar dirikan kamp
Pejabat Bangladesh mengatakan bahwa mereka akan memulai prosesnya bulan ini dengan berbagi dengan pemerintah Myanmar 100.000 pengungsi Rohingya yang dipilih secara acak di antara pengungsi yang terdaftar.
Haque mengatakan pejabat Myanmar akan memeriksa nama-nama mereka dari catatan penduduk mereka sebelum eksodus Agustus, dan mereka yang disetujui kemudian akan ditanya apakah mereka ingin kembali.
Pengungsi tanpa dokumen akan diminta untuk mengidentifikasi jalan, desa dan petunjuk lainnya di dekat bekas rumah mereka sebagai bukti hak mereka untuk kembali, ujar Haque.
Sebuah badan Myanmar yang bertugas mengawasi pemulangan tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Kamis lalu bahwa dua kamp akan didirikan sebagai tempat pemulangan dan penampungan sementara dan satu lokasi untuk menampung orang-orang yang kembali telah dibentuk.
Myint Kyaing, sekretaris Kementerian Tenaga Kerja, Imigrasi dan Kependudukan Myanmar mengatakan kepada Reuters awal bulan ini bahwa Myanmar akan memulai proses sedikitnya 150 orang per hari melalui dua kamp tersebut pada 23 Januari.
Serta memeriksa identitas mereka sebagai warga Myanmar, klaimnya.
“Otoritas akan memeriksa orang-orang yang kembali terhdap daftar tersangka ‘teroris’,” ujarnya.
Myint Kyaing menolak untuk mengomentari berapa lama proses pemulangan akan dilakukan, namun mengakui proses setelah kesepakatan 1992 memakan waktu lebih dari 10 tahun.
Badan-badan PBB yang bekerja di kamp-kamp yang berkerumun di Cox’s Bazr, di tenggara Bangladesh, telah menyuarakan skeptisisme terkait rencana pemukiman kembali.
UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi mengatakan bahwa tawaran mereka untuk membantu proses tersebut tidak diambil oleh kedua negara.
“Langkah lebih lanjut diperlukan untuk memastikan pemindahan pengungsi yang aman dan berkelanjutan ke tempat asal mereka dan untuk mengatasi akar penyebab krisis,” ujar Caroline Gluck, juru bicara UNHCR di Cox’s Bazar.
UNHCR mengatakan bahwa pengungsi yang telah disurvei menginginkan adanya jaminan bahwa badan-badan internasional akan dilibatkan dalam mengawasi proses tersebut dan lebih banyak informasi mengenai situasi keamanan di wilayah asal mereka.
Siapa yang akan pergi? Siapa yang akan membiayai?
Sementara banyak orang Rohingya mengatakan bahwa mereka ingin kembali ke Myanmar, sebagian besar lainnya mengatakan kepada Reuters bahwa mereka takut melakukannya.
“Saya tidak akan kembali. Tidak ada yang kembali,” ujar Hafizulla (37), seorang pria Rohingya.
“Kami takut untuk kembali tanpa campur tangan PBB. Mereka bisa menuduh kami nanti, mereka bisa menangkap kami. Mereka mungkin menuduh kami membantu militan.”
“Anda bisa mendapatkan semua kesepakatan di dunia ini dan mendirikan semua pusat penerimaan dan semuanya, tapi tidak akan ada bedanya kecuali kondisi di Myanmar sedemikian rupa sehingga orang merasa yakin bahwa mereka dapat kembali dan hidup dalam damai, dan memiliki hak yang sama,” ujar seorang diplomat Barat di Dhaka.
Sementara itu, pejabat Bangladesh Mohammad Abdul Kalam mengatakan bahwa pemulangan kembali Muslim Rohingya merupakan isu yang perlu ditangani.
Dia mengatakan proses repatriasi akan memakan biaya jutaan dollar namun rincian pendanaan belum disepakati.
Jepang, salah satu pendonor terbesar Myanmar mengatakan pada Jum’at lalu bahwa pihaknya memberikan bantuan darurat sekitar 3 juta USD untuk membantu pengembalian pengungsi Rohingya. (haninmazaya/arrahmah.com)