BANGLADESH (Arrahmah.com) – Risiko perdagangan manusia di kamp-kamp Rohingya akhir-akhir ini meningkat karena banyak pengungsi Rohingya yang putus asa untuk mencari jalan keluar dari kondisi kemanusiaan yang semakin memburuk.
Pemerintah Bangladesh belum merilis secara resmi jumlah pengungsi Rohingya yang telah diperdagangkan tetapi banyak organisasi-organisasi kemanusiaan yang telah menyebutkan jumlah pengungsi Rohingya yang menjadi korban perdagangan manusia.
Jishu Barua, koordinator program Young Power in Social Action, sebuah kelompok nirlaba yang meyoroti masalah perdagangan manusia, menyatakan dalam sebuah analisis yang dilansir surat kabar lokal bahwa sedikitnya 200 pengungsi Rohingya telah diselamatkan dalam tiga bulan terakhir.
“Jumlah korban semakin meningkat. Kami memberi tahu semua orang di kamp agar lebih berhati-hati. Kami berusaha menumbuhkan kesadaran mereka melalui berbagai cara, seperti drama jalanan dan pengarahan di halaman,” kata Barua kepada Thomson Reuters Foundation.
Sebagaimana dilansir Daily Sabah, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) PBB telah mengidentifikasi sekitar 204 kasus perdagangan orang selama sejauh ini. “Tapi kami yakin jumlah ini hanya sebagian kecil dari apa sebenarnya terjadi,” kata juru bicara IOM Fiona MacGregor, seraya menambahkan bahwa gadis-gadis muda sangat rentan diambil sebagai pekerja rumah tangga baik di Bangladesh ataupun di luar Bangladesh.
“Ada kasus di mana orang tidak tahu apa yang sedang terjadi dan kemudian orang lain yang mengambil risiko karena mereka merasa tidak ada pilihan lain.” Kelompok-kelompok anti-perdagangan menyatakan bahwa rute penyelundupan manusia ke Asia Tenggara melalui Teluk Benggala, yang mulai dioperasikan tahun 2010.
November lalu, lembaga penegak hukum menyelamatkan 57 pengungsi Rohingya dari sebuah kapal yang akan dibawa menuju Malaysia pada tiga kesempatan berbeda. Karena tidak ada tanda-tanda pengungsi Rohingya akan dapat meninggalkan kamp dalam waktu dekat. Rencana repatriasi ditunda oleh pemerintah Bangladesh November lalu meskipun banyak pengungsi yang melakukan protes, namun mereka tidak akan dikirim kembali ke negara mereka.
Sebelumnya, para pedagang manusia menyesatkan ratusan orang yang ingin pergi ke Malaysia dan menjebak mereka di kamp-kamp yang berada di daerah perbatasan Thailand dan Malaysia, menyiksa mereka hingga keluarga mereka setuju untuk membayar hingga $ 1.800, hal yang tak mungkin dimiliki oleh para imigran miskin.
Peristiwa ini terungkap pada tahun 2015 setelah sejumlah kuburan massal yang diyakini berisi jasad pengungsi Rohingya dan imigran Bangladesh ditemukan.
“Perdagangan manusia selalu ada dari dulu hingga sekarang,” kata Shamimul Huq Pavel, seorang pejabat pemerintah yang menjadi anggota Komisi Pengungsi, Bantuan dan Reparasi (RRRC), sebuah organisasi pemerintah yang dibentuk untuk menangani krisis Rohingya. “Kami berusaha memperbaiki situasi di kamp-kamp ini. Jika kesadaran para pengungsi meningkat, maka situasinya akan membaik.”
Dengan meningkatnya perdagangan manusia, para penegak hukum Bangladesh telah meningkatkan kegiatan untuk memberantas perdagangan manusia, seperti halnya Malaysia, yang mengumumkan bulan lalu bahwa mereka akan mengadakan penyelidikan resmi untuk menyelidiki kamp-kamp perdagangan manusia di daerah-daerah perbatasan. (Rafa/arrahmah.com)