DHAKA (Arrahmah.com) – Para korban dugaan genosida yang dilakukan pemerintah dan aparat militer Myanmar meminta agar Mahkamah Pidana Internasional menggelar persidangan kasus ini agar lebih dekat dengan lokasi kejadian.
Permintaan itu disampaikan melalui dua pengacara asal Australia yang bertindak atas nama ratusan penyintas Rohingya dalam persidangan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
ICC sedang mengadili tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang diduga dilakukan oleh pemerintah dan aparat militer Myanmar pada tahun 2017.
Ratusan ribu warga Rohingya, kelompok minoritas tanpa kewarganegaraan, sebagian besar Muslim, melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh selama kerusuhan.
Pemerintah Myanmar, yang dipimpin oleh pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, dituding telah gagal menghentikan kekerasan sistematis yang dilakukan aparat keamanan untuk memusnahkan minoritas Rohingya.
Namun tuduhan ini selalu dibantah oleh Pemerintah Myanmar.
Salah satu pengacara asal Australia Kate Gibson telah mengajukan mosi yang meminta ICC untuk menggelar persidangan di luar Eropa.
Kate Gibson yang mewakili pengungsi di Cox’s Bazar di Bangladesh berharap pengadilan dapat menggelar beberapa atau sebagian persidangan di Bangkok, ibukota Thailand, atau di Bangladesh.
“Kami hanya meminta agar Mahkamah menyadari kesenjangan lebar antara warga Rohingya di pengungsian dengan Kota Den Haag [tempat Mahkamah bersidang],” ujarnya.
“Menurut kami salah satu cara paling efektif mengatasinya adalah menjajaki kemungkinan ICC memindahkan persidangan ke lokasi yang lebih dekat dengan para penyintas,” jelas Kate.
Menurut pakar hukum dari Sydney Law School Dr Rosemary Grey, para saksi dan korban sedang mengalami berbagai masalah, termasuk kesulitan keuangan, kurangnya dokumentasi, serta koneksi internet yang buruk.
Sementara menurut Dr Emma Palmer, dosen Fakultas Hukum Universitas Griffith, jarak Kota Den Haag dengan para penyintas ikut berpengaruh pada cara mereka menjalankan persidangan.
“Para jaksa akan lebih mengandalkan perantara dari kelompok masyarakat sipil di lokasi kejadian yang akan mereka selidiki,” kata Dr Emma, sebagaimana dilansir ABC.
Salah seorang saksi korban Muhammed Nowkhim berharap dapat memberikan keterangan di depan persidangan.
Menurutnya, bila proses persidangan ICC digelar dekat dengan lokasi korban, bukan di Kota Den Haag, maka akan lebih banyak orang lain yang ingin bersaksi.
“Jika persidangan digelar di Asia maka setiap korban dapat secara terbuka menyampaikan keterangan di depan majelis hakim,” kata Mohammed.
Kate menambahkan Mahkamah juga bisa lebih dekat dengan bukti-bukti, lokasi, dan saksi.
“Kita juga tidak perlu membebani para korban untuk mengeluarkan biaya bepergian ke negara asing ini,” jelasnya.
(ameera/arrahmah.com)