COX’S BAZAR (Arrahmah.id) — Delegasi Rohingya dari Bangladesh yang menginspeksi desa repatriasi di Myanmar pada hari Jumat (5/5/2023), menolak direpatriasi karena khawatir nasibnya terombang-ambing lantaran ketiadaan status kependudukan.
Dilansir DW (5/5), pernyataan itu dibuat setelah sebuah delegasi beranggotakan 20 orang pengungsi menginspeksi desa yang dibangun Cina untuk menampung kepulangan pengungsi Rohingya di negara bagian Rakhine pada Jumat (5/5) kemarin.
Bangladesh dan Myanmar sejatinya sudah menyepakati perjanjian repatriasi. Kesepakatan itu sedianya dilanjutkan setelah mendapat jaminan bantuan dari Cina.
Sekitar hampir satu juta pengungsi Rohingya menempati kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh. Kebanyakan melarikan diri dari operasi militer di Rakhine pada 2017 silam.
Para pengungsi sejak awal mencurigai program pemulangan kembali. Mereka menuntut jaminan keamanan dan status kependudukan sebagai syarat kepulangan.
“Kami tidak ingin hidup di kamp tertutup. Kami ingin kembali ke kampung halaman dan membangun rumah kami sendiri di sana,” kata Oli Hossain, seorang anggota delegasi Rohingnya, kepada Reuters.
“Kami hanya akan kembali dengan status kewarganegaraan Myanmar dan jaminan bagi hak-hak kami,” imbuh ayah enam anak tersebut.
Junta militer Myanmar sejauh ini hanya menawarkan Kartu Verifikasi Nasional (NVC) yang dianggap tidak cukup kuat.
“Myanmar adalah tanah kelahiran kami dan kami adalah warga negara Myanmar. Kami hanya akan kembali sebagai warga negara,” kata Abu Sufian, seorang pengungsi Rohingya lain.
“Kami tidak akan pernah menerima NVC. Status tersebut secara otomatis memberikan status orang asing kepada Rohingya,” kata dia lagi. “Mereka bahkan mengubah nama desa saya di Rakhine,” tukasnya.
Mohammed MIzanur Rahman, Komisioner Pengungsi dan Repatriasi di Bangladesh, sebaliknya meyakini pemulangan pengungsi Rohingya sebagai satu-satunya solusi.
“Kami hanya menginginkan repatriasi yang bersifat sukarela, bermartabat, dan berkelanjutan,” kata dia sembali menambahkan bahwa delegasi Myanmar akan balik berkunjung ke Bangladesh dalam satu pekan setelah kunjungan delegasi Rohingya.
Sebelumnya, junta militer Myanmar telah mengirimkan delegasinya ke kamp pengungsi di Bangladesh untuk memilah ratusan pengungsi yang berhak pulang.
Menurut Bangladesh, proyek repatriasi akan melibatkan 1.100 orang pengungsi. Diharapkan, mereka sudah bisa menempati desa-desa baru di Myanmar mulai akhir Mei mendatang.
Upaya memulangkan pengungsi Rohingya ke Rakhine pernah dicoba pada 2018 dan 2019 silam. Namun, saat itu para pengungsi menolak kembali karena khawatir menjadi korban tindak kekerasan.
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) telah mewanti-wanti agar Bangladesh dan Myanmar menjamin hak setiap pengungsi “untuk pulang tanpa diasingkan” dan secara sukarela. Lembaga tersebut mengaku tidak dilibatkan dalam proyek pemulangan Rohingya.
“UNHCR meyakini dialog dengan pengungsi Rohingya harus terus dilanjutkan agar mereka bisa membuat keputusan yang matang,” tulis lembaga PBB tersebut dalam keterangan persnya.
“Kunjungan dan inspeksi merupakan bagian penting dalam program kepulangan sukarela para pengungsi. Langkah itu bisa memberikan kesempatan bagi pengungsi untuk melihat kondisi di kampung halaman sebelum pulang,” lanjut UNHCR. (hanoum/arrahmah.id)