Ketika memutuskan untuk meninggalkan tempat tinggalnya di kota Idlib, Suriah, Warda tahu ia akan menghadapi perjalanan panjang nan sulit. Namun, sebagai seorang gadis muda berusia 18 tahun, tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya bahwa ia akan menghadapi bahaya yang cukup parah.
Bersama keluarganya, Warda melakukan perjalanan berbahaya ke Yunani dan akhirnya tinggal di kamp darurat khusus pengungsi selama empat bulan terakhir.
Warda berbagi tenda dengan orangtuanya dan harus menggunakan kamar mandi umum. Ia merasa kurang mendapatkan privasi dan itu adalah hal yang menyesakkan. Belum lagi ia harus menghadapi celotehan-celotehan melecehkan dari sejumlah besar pria muda yang berkumpul dalam sebuah kelompok.
“Ini adalah hal yang cukup sulit bagi semua orang, terutama bagi perempuan,” ujar Warda.
Menurut Amnesti International, para perempuan pencari suaka sangat rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan seksual saat mereka berada di tanah Eropa setelah sebelumnya mereka meninggalkan Irak dan Suriah.
Uni Eropa memang telah menyediakan kamar mandi dan ruang tidur terpisah, tetapi itu semua tidak tersedia di kamp-kamp dan pusat penerimaan pengungsi di Yunani. Hal tersebut telah membuat para perempuan pencari suaka harus menghadapi kekerasan seksual, eksploitasi, dan pelecehan.
Ahmed Hammoud (18) dan keluarganya terpaksa tidur di taman ketika mereka harus menghadiri wawancara untuk keperluan mengurus status pengungsi di European Asylum Support Office (EASO) di Athena. Meskipun keluarganya telah meminta akomodosi sebab ayah Hammoud menderita stroke, tak ada satu akomodasi pun yang tersedia.
Selama dua malam mereka harus tidur dengan tidak nyaman sebelum harus kembali ke pulau Lesbos dan kamp pengungsi Kara Tepe, yang mengutamakan keluarga dan orang-orang yang lemah.
“Malam pertama cukup buruk. Ayah saya dalam keadaan yang payah tapi malam kedua adalah hal yang mengerikan,” kenang Hammoud. “Saya bangun mendengar suara adik saya menangis dan menjerit. Pertama-tama saya pikir dia sedang sakit, tapi ternyata itu adalah suara ibu saya.”
Ketika Hammoud melihat ibunya, empat orang menyerangnya. Sebelum sempat ia mengidentifikasi, mereka sudah keburu kabur. “Mereka mencoba memperkosa ibu saya,” ujarnya sedirih. “Namun sepertinya itu belum cukup untuk mereka. Mereka juga melukai dan membakar ibu saya. Sejak kejadian itu, ibu saya tidak pernah berhenti menangis.”
Pada hari berikutnya, Hammoud dan keluarganya meminta bantuan EASO, tetapi mereka diberitahu bahwa EASO tidak bisa melakukan apa-apa. Setelah itu polisi dipanggil untuk mengawal dan mengamankan mereka.
Menurut data PBB, perempuan dan anak-anak menyumbang 55 persen dari seluruh jumlah pengungsi yang melintasi Yunani pada bulan Januari, dan angka itu dua kali lipat lebih banyak dari jumlah pengungsi tahun lalu.
Kisah memilukan lainnya terjadi pada Mariam Hussain (17). Sejak tiba di Lesbos pada bulan Maret, ia telah berulang kali mencoba kabur dari ayahnya yang sejak lama telah melakukan penyiksaan secara emosional. Berbulan-bulan dalam penyiksaan membuat ia ingin mencoba untuk bunuh diri.
“Aku begitu tertekan,” kata Mariam. Ia menjelaskan bahwa staf di kamp pengungsi tidak melakukan apa-apa ketika dia meminta untuk dipindahkan dari ayahnya. “Bahkan, mereka malah melaporkan apa yang saya katakan kepada ayah saya.”
Seorang staff Layanan Pencari Suaka Yunani di Athena, Iota Peristeri, mengatakan bahwa dia terkejut mendengar cerita Mariam Hussain. Dia betul-betul tidak menyangka bahwa begitu banyak pengungsi perempuan yang mengalami kekerasan selama proses pencarian suaka.
“Normalnya, seseorang seperti Mariam akan mengunjungi ke salah satu kantor suaka lokal EASO, menandatangani deklarasi resmi yang menyatakan bahwa dia ingin lepas dari ayahnya,” kata Peristeri. “Proses tersebut seharusnya relatif cepat.”
Banyak pencari suaka, termasuk perempuan, yang mengatakan telah menjadi korban kebrutalan polisi di Yunani.
Salaam (20), seorang pengungsi Suriah-Palestina, mengatakan bahwa ketika sedang dalam perjalanan untuk mengunjungi seorang teman di kamp lain, ia ditabrak oleh seorang perwira polisi yang berusaha mencegah ia memasuki kamp. “Mereka memukul saya dengan begitu keras dan mereka merusak tulang rusuk saya,” ujarnya.
Pada bulan Januari, Amnesty International merilis laporan berdasarkan wawancara dengan 40 wanita di Jerman dan Norwegia yang melakukan perjalanan dari Yunani. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa pengungsi perempuan dewasa dan anak-anak menghadapi kekerasan dan penyerangan seksual dalam setiap langkah perjanan mereka. Perempuan dewasa dan anak-anak yang bepergian sendiri atau yang hanya ditemani anak-anak mengatakan bahwa mereka merasa sangat terancam di Hungaria, Kroasia, dan Yunani, di mana mereka terpaksa untuk tidur berdampingan bersama ratusan pengungsi laki-laki.
Laporan tersebut mengkritik kondisi beberapa fasilitas bagi para migran di beberapa negara Eropa yang sangat buruk dan membuat perempuan merasa selalu takut dan khawatir karena mereka harus tidur di dalam ruangan bersama ratusan pria dan kurangnya privasi. (fath/dailysabah/arrahmah.com)