Mengungsi dari rumahnya di Ghautah Timur, Umaima Al-Shekh dan keluarganya mencari perlindungan di sebuah rumah kosong di seluruh wilayah Afrin. Kota yang sebelumnya dikendalikan oleh pejuang Kurdi, dikosongkan dari penduduknya hanya beberapa minggu setelah serangan yang dipimpin Turki yang memaksa puluhan ribu orang melarikan diri.
“Tidak seorang pun ingin tinggal di rumah yang bukan milik mereka, atau menggunakan barang orang lain,” ujar Umaima kepada AFP.
Setelah tinggal sebentar di wilayah yang dikuasai pejuang Suriah di Suriah utara, wanita berusia 25 tahun itu pindah ke Afrin sekitar sebulan lalu dengan suaminya Firas dan dua anaknya yang masih kecil.
“Kami semua ingin berada di rumah kami sendiri, kota kami sendiri, tetapi situasi memaksa kami untuk menetap di sebuah rumah yang bukan milik kami,” ungkap Umaiman kepada AFP saat berada di sebuah taman yang rimbun di kota Afrin.
“Rumah yang kami tinggalkan, sekarang ditinggali oleh orang lain juga. Ini adalah kasus untuk semua orang Suriah, bukan hanya kami,” lanjutnya.
Sejak pecah perang pada 2011, setengah dari populasi Suriah telah mengungsi, termasuk lebih dari lima juta di luar negeri dan enam juta lainnya di dalam negeri.
Di antara mereka adalah pejuang dan warga sipil yang dipindahkan secara massal dari satu daerah oposisi yang dibombardir ke daerah yang lain di bawah “perjanjian rekonsiliasi”.
Pemimpin rezim Nushairiyah Suriah, Bashar Asad telah menggunakan kesepakatan tersebut untuk merebut kembali wilayah, mendorong tuduhan bahwa ia sedang mengacaukan demografi negara itu.
Penangkapan Ghautah Timur pada April lalu ditandai dengan pemindahan paksa ribuan orang ke wilayah utara yang dikuasai pejuang Suriah, dan banyak lainnya yang pergi ke Afrin.
Sebanyak 35.000 orang telah berlindung di wilayah Afrin, menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR).
Beberapa tinggal di kamp pengungsi di daerah pedesaan, tetapi banyak yang pindah ke rumah-rumah yang kosong dan hancur di tengah kota.
Mehdi Haymur dan putranya yang masih kecil, menembus puing-puing di pintu masuk apartemen yang dibombardir untuk mencari apapun yang masih bisa diselamatkan.
Mereka mengambil bantal-bantal yang tertutup debu dan masuk ke dalam apartemen.
“Kami meninggalkan Ghautah dan kehilangan rumah, tanah dan pekerjaan kami. Kami dipaksa meninggalkan Ghautah, dan kami juga datang ke sini dengan cara paksa,” ujar Haymur kepada AFP.
Dengan bantuan dari polisi militer pejuang oposisi, ia dan keluarganya menempati beberpaa rumah di Afrin, tetapi pemilik mereka telah tiba dan meminta mereka untuk pergi.
Pemilik blok yang ditinggalkan di mana dia tinggal sekarang, memungkinkan mereka untuk tinggal sementara waktu.
Ahmad Al-Buri, yang berusia 19 tahun, pergi ke Afrin dari pinggiran kota Douma di Ghautah Timur.
“Ini adalah zona Turki, terlindung dari bombardir oleh rezim Suriah. Itu sebabnya saya datang ke sini,” ungkap Buri.
Pejuang juga membantu dia dan keluarganya menemukan sebuah rumah kosong di distrik Mahmudiyah, dan Buri juga terdaftar di kepolisian yang didukung Turki.
“Jika pemilik rumah ini kembali dan kami harus pergi, saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan. Kami harus mencari rumah lain atau pergi ke kamp,” ujarnya sambil mengangkat bahu.
Kamp-kamp itu menampung skeitar 10.000 orang, menurut OCHA, badan kemanusiaan PBB.
“Sementara beberapa membayar sewa, laporan orang-orang terlantar yang tinggal di rumah kosong tanpa mendapatkan izin dari pemiliknya terus bermunculan,” katanya.
Sekitar 135.000 penduduk asli Afrin tetap tinggal di wilayah itu ketika pertempuran berlanjut, lebih dari sepertiga di kota, menurut OCHA.
Othman Khalil, seorang pekerja logam berusia 57 tahun menolak meninggalkan rumahnya di Villa Street selama pertempuran.
“Ada keluarga dari Ghautah yang datang ke lingkungan kami. Kami berbicara satu sama lain,” katanya kepada AFP.
“Mereka bisa datang ke Afrin tetapi orang-orang yang berasal dari sini tidak dapat masuk,” lanjutnya yang mengatakan bahwa teman-temannya melarikan diri dari kota itu selama pertempuran tetapi tidak dapat kembali.
Pejuang oposisi yang didukung Turki menjaga satu rute akses, memeriksa kendaraan yang masuk dan keluar. (haninmazaya/arrahmah.com)