(Arrahmah.id) – Polimath muslim abad ke-9, Al Kindi adalah orang pertama yang mempertanyakan teori penglihatan Yunani. Orang Yunani percaya bahwa sinar keluar dari mata kita (sedikit seperti teknologi laser) dan ini memungkinkan kita untuk melihat. Namun, Al Kindi menyatakan bahwa kerucut visual kita tidak terdiri dari sinar diskrit melainkan volume radiasi kontinu dalam tiga dimensi.
Menurut Geronimo Cardno, dokter dan matematikawan Italia abad ke-16, Al Kindi adalah “salah satu dari dua belas pemikir terkemuka dalam sejarah “. Al Kindi memeriksa penglihatan dengan dan tanpa cermin. Dia membahas tentang bagaimana sinar cahaya datang dalam garis lurus, efek jarak dan sudut pandang dan tentang ilusi optik.
Dia menulis dua diskuisisi tentang optik fisiologis dan geometris yang digunakan oleh ilmuwan lain termasuk fisikawan Jerman Witelo dan ilmuwan Inggris Roger Bacon. Karya Al Kindi begitu mendalam sehingga mayoritas ilmuwan Inggris dan lainya berulang kali merujuk pada karyanya.
Pertanyaan tentang bagaimana penglihatan bekerja dilanjutkan oleh Al-Hasan Ibnu Al-Haitsam. Ia merupakan seorang ilmuwan Muslim yang merevolusi penglihatan, optik, dan cahaya. Pada abad ke-10, Ibnu Al-Haitsam akhirnya menemukan bahwa penglihatan dimungkinkan karena pembiasan sinar cahaya.
Ibnu Al-Haitsam lahir di Basra, Irak, pada 965. Kisah tentang bagaimana dia mereformasi pemahaman tentang cahaya dan penglihatan dimulai ketika dia dipanggil oleh khalifah yang saat itu berkuasa di Kairo untuk mengendalikan banjir Sungai Nil yang tak terduga. Setelah tiba dan menilai situasinya, Ibnu Al-Haitsam menemukan bahwa tantangan yang telah dia setujui untuk diselesaikan ini sebenarnya tidak mungkin. Mengingat Sang Khalifah yang dikenal brutal dan karena takut akan murka yang akan terjadi karena kegagalannya, Ibnu Al-Haitsam berpura-pura gila. Untuk perlindungannya sendiri, Khalifah menempatkan dia di bawah tahanan rumah dan 10 tahun penjara, yang akhirnya menghasilkan penemuan-penemuan terkenal di dunia dan menjadi rujukan ilmu pengetahuan modern.
Di kamarnya yang gelap, Ibnu Al-Haitsam melihat cahaya yang diproyeksikan melalui lubang jarum dan ini membantunya menyadari bahwa sinar yang dipancarkan dari objek masuk ke mata kita.
Selanjutnya, ia mulai bereksperimen di dalam ruangan dan “camera obscura ” untuk menunjukkan bagaimana cahaya masuk ke mata dalam bentuk kerucut penglihatan geometris. Dia lebih lanjut bereksperimen dengan lensa dan cermin.
Perkembangan ini lalu ditulis menjadi sebuah buku, Book of Optics yang terkenal, ditulis antara tahun 1011 dan 1021. Buku ini diterjemahkan dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Latin, yang mempengaruhi karya Leonardo Da Vinci, Roger Bacon dan Johannes Kepler. Masyarakat kontemporer bergantung pada pemahaman yang akurat tentang cahaya dan penglihatan ini, yang ditemukan oleh ilmuwan Muslim Ibnu Al-Haitsam, lebih dari seribu tahun yang lalu.
Ibnu Al-Haitsam juga menyadari bahwa indranya rentan terhadap kesalahan dan dengan demikian ia memulai dengan variasi metode ilmiah, pengujian, verifikasi dan eksperimen untuk memastikan bahwa semua temuannya akurat. Hal merupakan kejanggalan mengingat saat itu ilmu Fisika diperlakukan sebagaimana Filsafat, tanpa eksperimen. Metode penyelidikannya kemudian dikenal sebagai metode penelitian ilmiah modern yang penting.
“Dia, Ibnu Al-Haitsam, adalah fisikawan Muslim terbesar dan ilmuwan optik sepanjang masa. Baik dari Inggris ataupun Persia yang jauh, semua minum dari air mancur yang sama. Dia memberikan pengaruh besar pada pemikiran Eropa dari Bacon hingga Kepler.”
George Sarton dalam History of Science-nya.
Kamal Al Din Al-Farisi, seorang matematikawan persia Muslim yang kemudian mengembangkan lebih jauh karya Ibnu Al-Haitsam. Al-Farisi bereksperimen dengan bola kaca berisi air, untuk mencoba memahami dan menjelaskan warna pelangi. Dia menggunakan bola ini sebagai model tetesan hujan dan menunjukkan bahwa sinar matahari dibelokkan dua kali melalui tetesan.
Kamar gelap Ibnu Al-Haitsam yang ia beri nama “camera obscura” membentuk dasar perangkat optik seperti kamera. Penelitiannya yang terkenal membuka jalan bagi sains eksperimental dan perspektif rasional para ilmuwan di kemudian hari.
Sayangnya, kontribusi Al-Haitsam diabaikan sejak kematiannya. Ketika buku-bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dia tidak disebut dengan nama aslinya melainkan “Alhazen”. Mengubah nama ilmuwan Muslim menjadi lebih terdengar Eropa sering terjadi selama Renaisans Eropa, dengan tujuan mendiskreditkan Muslim dan kontribusi mereka di dunia yang lebih luas.
Sebuah kawah di bulan diberi nama Alhazen untuk menghormati kontribusi besar Hasan Ibnu Al Haitsam dalam pengembangan penglihatan dan kamera.
Namun demikian, pemikiran cemerlang para ilmuwan Muslim ini menginspirasi generasi selanjutnya dan terus menjadi sumber motivasi bagi orang lain. Tidak dapat disangkal, tanpa penelitian mereka, terutama penemuan-penemuan Ibnu Haitsam dunia sains modern seperti yang kita kenal sekarang, tidak akan ada. (zarahamala/arrahmah.id)