Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
(Arrahmah.com) – Uni Emirat Arab (UEA) telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Bukti nyata dari hal tersebut, tak lagi diblokir nomer-nomer dari negara Israel yang berkode +972. Dan Israel menunda rencana aneksasi tepi barat.
Dilansir dari BBC.com (14/08/2020), kesepakatan antara UEA dan Israel dimediasi oleh Amerika. Donald Trump menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah dibukanya hubungan diplomatik antara UEA dan Israel.
Trump bahkan menyebutkan bahwa ini merupakan momen yang benar-benar bersejarah. “Sekarang setelah es pecah, saya berharap makin banyak negara Arab dan Muslim mengikuti Uni Emirat Arab,” ujarnya kepada wartawan di Gedung Putih.
UEA adalah negara teluk Arab pertama yang membuka hubungan diplomatik penuh dengan Israel. Negara Arab lainnya yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel adalah Mesir dan Yordania.
Persatuan Ulama Muslim Internasional (IUMS) menilai kesepakatan UEA dengan Israel merupakan “pengkhianatan tingkat tinggi” bagi dunia Islam (suaraislam.id, 16/08/2020). Hamas menganggapnya sebagai “tikaman berbahaya di belakang rakyat Palestina”.
Pengkhianatan ini demikian nyata. Terlihat oleh mata telanjang. Ada tiga catatan yang bisa kita buat. Pertama, pemimpin negeri Arab tunduk pada kepentingan Barat. Semenjak Daulah Khilafah runtuh, Barat sudah membuat sekat-sekat imajiner negara bangsa.
Barat menyemai rasa nasionalisme untuk menjaga sekat-sekat yang imajiner ini. Ditempatkannya antek-anteknya untuk membantu mengendalikan negeri sesuai kemauan Barat. Sehingga wajar jika pemimpin negeri-negeri muslim selalu tunduk pada kepentingan Barat.
Bullshit dengan pemilu, yang katanya suara rakyat adalah tuhan. Faktanya, yang naik jadi pemimpin adalah yang memang dimaui oleh Barat.
Kedua, cinta dunia takut mati. Penyakit ini menyerang hampir semua pemimpin negeri-negeri muslim. Jelas nyata keberpihakannya pada kafir penjajah. Karena sudah jelas watak Yahudi Israel, mereka takkan ridho hingga kita masuk ke dalam Millahnya. Allah SWT. sudah menyampaikan secara jelas dalam Al-Qur’an.
Dalam hal ini, millah bisa dikatakan sebagai wilayah. Israel akan terus berusaha untuk merebut tanah Palestina hingga semua masuk dalam wilayahnya.
Para pemimpin negeri-negeri muslim yang terkena penyakit cinta dunia dan takut mati, akan mengadakan perundingan damai dengan Israel. Padahal tau watak Israel yang selalu mengingkari janji. Dan tanpa perikemanusiaan menyerang saudara muslim di Palestina.
Para pemimpin ini lupa bahwa di akhirat kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pembelaannya kepada saudara seiman. Terlebih Palestina yang senantiasa dizalimi oleh dunia internasional.
Ketiga, kita perlu junnah. Poin pertama dan kedua di atas memberikan konklusi bahwa tak bisa berharap pada pemimpin negeri-negeri muslim. Apalagi setelah kita mengetahui bahwa sekat-sekat kebangsaan ini dilahirkan dari rahim penjajah Barat.
Kita memerlukan sebuah perisai yang mampu melindungi seluruh kaum muslimin di dunia. Sangat urgen untuk kita mengadakan sebuah institusi yang mampu melawan hegemoni AS si pengusung ideologi kapitalisme.
Kekuatan negara semacam Israel dan AS harus mendapat lawan yang sebanding. Ideologi haruslah dilawan dengan ideologi. Maka, umat muslim wajib menyatukan diri dalam satu naungan Daulah Khilafah yang akan menerapkan ideologi Islam. Inilah lawan tanding yang sepadan bagi AS.
Sebagaimana dulu Sultan Abdul Hamid II, Khalifah Turki Utsmani. Beliau mampu bersikap tegas kepada Theodor Herzl, tokoh pendiri negara Zionis Israel. Herzl berkali-kali datang kepada Sultan Abdul Hamid II, meminta tanah Palestina bagi Yahudi Israel.
Berkali-kali membujuk, berkali-kali pula ditolak oleh Sultan. Dengan tegas beliau sampaikan, selama masih hidup, dia lebih rela menusukkan pedang ke tubuhnya sendiri daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.
Salah satu bujukan Herzl adalah dengan memberi sogokan. Disediakan 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan. Membayar semua utang Pemerintah Usmaniyah sebesar 33 juta poundsterling. Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank. Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga dan membangun Universitas Usmaniyyah di Palestina (Republika.co.id, 28/11/2017).
Itu terjadi pada tahun 1902, 22 tahun sebelum Khilafah diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Ataturk, pengkhianat berdarah Yahudi.
Meskipun di tengah persoalan yang melanda Daulah Khilafah, Sultan Abdul Hamid II tetap mampu menjaga tanah Palestina dari zionis Israel. Sultan tak mau menerima sogokan Herzl bahkan tak mau menemuinya.
Perdana menteri yang mewakili Sultan menitipkan nasehat pada Herzl agar jangan lagi meneruskan rencananya. Sultan Abdul Hamid II takkan melepaskan Palestina sejengkal pun karena bukan miliknya. Tanah Palestina adalah tanah kaum muslim. Wallahu a’lam []
(*/arrahmah.com)