(Arrahmah.id) – Tidak diragukan lagi keluarga Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memiliki status dan tingkat penghormatan yang tinggi dalam Islam. Kaum muslimin mencintai dan menghormati hak-hak yang telah Allah tetapkan untuk Ahlulbait (keluarga Nabi).
Dari Zaid bin Arqam, dia berkata: “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berdiri khutbah di hadapan kami di sebuah mata air yang disebut Khum, di antara Makkah dan Madinah. “Amma ba’du, ingatlah wahai manusia, sesungguhnya Aku adalah manusia biasa, sudah dekat masanya utusan Rabbku datang lalu aku akan menyambut, dan aku meninggalkan tsaqalain (dua perkara yang sangat berharga) pada kamu. Yang pertama adalah kitabullah, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, oleh karena itu pegang-teguhlah ia dan yang kedua, Ahlulbait-ku, aku mengingatkan kamu atas nama Allah tentang Ahlulbait-ku, aku mengingatkan kamu atas nama Allah tentang Ahlulbait-ku, aku mengingatkan kamu atas nama Allah tentang Ahlulbait-ku”. Hushain bertanya: “Siapakah Ahlulbait beliau itu, apakah istri-istri beliau?”. Dia menjawab: “Tidak, demi Allah, sesungguhnya seorang istri itu terkadang bersama suaminya dalam suatu masa yang panjang, lalu suaminya menceraikannya, maka dia kembali kepada ayahnya dan kaumnya. Ahlulbait beliau adalah keturunannya dan ‘ashabahnya, yaitu orang-orang setelah beliau yang diharamkan (menerima) zakat”. Hushain bertanya: “Siapakah mereka”. Zaid menjawab: “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas”. Hushain bertanya: “Mereka semua ini diharamkan (menerima) zakat?” Zaid menjawab: “Ya.” [HR. Muslim No: 2408]
Ahlusunnah wa Jama’ah adalah orang-orang yang paling bahagia menerima nasihat ini dan mengikutinya, mereka menolak cara orang Rawafid yang bertindak ekstrem terhadap anggota keluarga Nabi, dan cara Nawasib yang menghina dan membenci mereka. Ahlussunnah sepakat bahwa mencintai Ahlulbait itu wajib dan haram menyinggung atau menganiaya mereka dalam perkataan atau perbuatan.
‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menunjukkan dan menjelaskan kepada kita bagaimana keyakinan Ahlussunnah tentang Ahlulbait dalam cara dia berurusan dan berinteraksi dengan mereka.
Hubungannya dengan Istri-istri Nabi
‘Umar radhiyallahu ‘anhu biasa mengunjungi istri-istri Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan bermurah hati kepada mereka. Dia tidak akan makan makanan atau buah yang enak tanpa mengirimkannya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang terakhir kepada siapa dia akan mengirim sesuatu adalah Hafsah (putrinya), dan jika ada kekurangan, dialah yang akan terpengaruh bagiannya. Dia juga biasa mengirimkan harta dari baitul mal mereka kepada mereka.
Berikut ini adalah kisah Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai Khalifah, Zainab binti Jahsy mendapatkan jatah dari Baitul Mal yang dikelola oleh pemerintahan ‘Umar. Suatu ketika, setelah menyelesaikan pembagian kaum muslimin, ‘Umar mengutus seseorang untuk menyerahkan harta kepada Zainab binti Jahsy yang menjadi haknya.
Ketika dibawa kepadanya, dia berkata, “Semoga Allah mengampuni ‘Umar, saudara perempuanku (istri-istri Nabi yang lain) lebih membutuhkan ini dariku.” Mereka berkata, “Ini semua untukmu, wahai Ummul Mukminin.” Dia berkata, “Subhanallah“. Kemudian dari balik hijab, Zainab berkata, “Letakkan dan tutupi dengan jubah.” Kemudian dia berkata kepada Barzah binti Rafi’: “Masukkan tanganmu dan ambil segenggam, dan berikan kepada Bani fulan ( kerabat dan anak yatim piatu yang diasuhnya).” Dia membagikannya sampai tersisa sedikit di balik jubahnya, lalu Barzah berkata: “Semoga Allah mengampunimu, wahai Ummul Mukminin, demi Allah Anda berhak atas itu.” Ia berkata, “Dia mengangkat jubahnya dan menemukan delapan puluh lima dirham. Kemudian dia mengangkat tangannya ke atas dan berkata: “Ya Allah, janganlah biarkan aku hidup sampai ‘Umar melakukan pembagian berikutnya.” Tak lama kemudian Zainab meninggal, dan dia adalah istri Nabi pertama wafat setelah Nabi – semoga Allah meridhoinya.
Contoh lain tentang bagaimana ‘Umar menghormati istri-istri Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam diriwayatkan oleh Ummu Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang mengatakan: “‘Umar bin Khattab biasa mengirimi kami bagian kami berupa kepala dan kaki (hewan sembelihan, untuk makanan).”
Ketika istri-istri Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam meminta izin kepada ‘Umar untuk pergi haji, dia menolak memberi mereka izin hingga mereka bersikeras. Lalu dia berkata: “Saya akan memberikan izin tahun depan.” ‘Umar lalu mengirim ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Abdurrahman bin Auf bersama mereka, dan mewanti-wanti mereka melakukan perjalanan satu di depan dan satu lagi di belakang, dan tidak berjalan di samping para Ummul Mukminin.
Ketika mereka ingin berhenti, mereka harus berhenti di celah gunung dan (kedua pria itu) harus tetap berada di pintu masuk celah itu sehingga tidak ada yang pergi atau mengunjungi mereka. Dan ‘Umar memberi tahu mereka agar ketika para Ummul Mukminin sedang tawaf, tidak ada yang boleh mengelilingi mereka kecuali wanita.
‘Ali bin Abi Thalib dan Anak-anaknya
‘Umar menunjukkan rasa hormat yang besar kepada keluarga Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan lebih memilih mereka daripada anak dan keluarganya sendiri. Kami akan menyebutkan beberapa contohnya.
Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa: “‘Umar berkata kepadaku pada suatu hari, ‘Wahai anakku, mengapa kadang-kadang engkau tidak datang dan bergabung dengan kami?’ Akhirnya aku datang, tetapi dia tidak sendirian, dia bersama Mu’awiyah dan aku melihat Ibnu ‘Umar berada di depan pintu tetapi tidak diberikan izin masuk, jadi aku kembali.”
Dia menemuiku setelah itu dan berkata, ‘Wahai anakku, mengapa aku tidak melihatmu datang?’ Aku berkata, ‘Aku datang tetapi Anda bersama dengan Mu’awiyah, dan aku melihat Ibnu ‘Umar kembali, jadi aku kembali.’ Dia berkata, ‘Kamu lebih berhak diberi izin untuk masuk daripada ‘Abdullah bin ‘Umar, karena semua berkah yang kami miliki, seperti yang kamu lihat, disebabkan oleh Allah, dan kamu (Ahlulbait), dan dia lalu meletakkan tangannya di atas kepalaku.”
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad al-Baqir bahwa ayahnya, ‘Ali bin Al-Husain, berkata: “Beberapa jubah dibawa ke hadapan ‘Umar dari Yaman dan dia membagikannya kepada orang-orang, dan mereka memakainya. Dia sedang duduk di antara kuburan (Nabi) dan mimbar, dan orang-orang datang serta menyapanya dan berdoa untuknya. Kemudian Hasan dan Husain keluar dari rumah ibu mereka Fatimah radhiyallahu ‘anha dan berlalu di antara orang-orang, dan mereka tidak mengenakan pakaian apa pun. ‘Umar mengerutkan kening, lalu dia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak senang dengan apa yang telah kuberikan padamu.’ Mereka berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, Anda memberikan pakaian kepada kami dan Anda melakukannya dengan baik.’ Dia berkata, ‘Saya tidak senang karena dua pemuda yang lewat di antara orang-orang tidak mengenakan pakaian ini karena terlalu besar atau terlalu kecil untuk mereka.’ Kemudian dia menulis ke Yaman meminta agar dua jubah segera dikirim untuk Hasan dan Husain. Dua jubah lalu dikirim kepadanya dan dia memberikannya kepada mereka.”
Diriwayatkan dari Abu Ja’far bahwa ketika ‘Umar ingin memutuskan berapa banyak yang menjadi hak setiap Muslim setelah Allah menganugerahkan penaklukan (dan kekayaan mulai masuk), dia mengumpulkan beberapa Sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, ‘Abdurrahman ibn Auf radhiyallahu ‘anhu berkata: “Mulailah dengan dirimu sendiri.” Dia berkata: “Tidak, demi Allah, (aku akan mulai) dengan orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan Bani Hasyim, suku Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam.”
Maka pertama-tama ‘Umar membagi untuk Abbas, kemudian untuk ‘Ali, sampai kemudian dia telah memberikan kepada orang-orang dari lima suku yang berbeda, diakhiri dengan Bani ‘Adiyy bin Ka’ab, dan ‘Umar menulis: Bani Hasyim yang hadir di Badar, orang-orang dari Bani Umayyah bin ‘Abd-Syams yang hadir di Badr, kemudian terdekat berikutnya dan kemudian terdekat berikutnya. Dia mengalokasikan pembagian kepada mereka, kemudian dia membagikan kepada Hasan dan Husain, karena posisi mereka dalam hubungan dengan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Ulama Shibli an-Nu’mani mengatakan dalam bukunya Al-Faruq, di bawah judul, “Hak dan Kewajiban Antara Keluarga dan Para Sahabat (Nabi)” bahwa ‘Umar tidak membuat keputusan tentang masalah serius apa pun tanpa berkonsultasi dengan ‘Ali, yang biasa menasihatinya dengan segala keikhlasan. Ketika dia melakukan perjalanan ke Baitul-Maqdis (Yerusalem), dia menunjuk ‘Ali untuk bertanggung jawab atas masalah kekhalifahan di Madinah.
Kerukunan dan solidaritas di antara mereka semakin dipertegas ketika ‘Ali memberikan putrinya Ummu Kultsum kepada ‘Umar untuk diperistri dan menamai salah satu anaknya sendiri ‘Umar, seperti dia menamai Abu Bakar dan ‘Utsman kepada anaknya yang lain. Telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab untuk menamai anak mereka dengan nama orang-orang yang mereka cintai dan dianggap sebagai contoh yang baik. (Al-Murtada oleh An-Nawawi, hal. 119)
‘Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang menjadi tujuan konsultasi ‘Umar bin Al-Khattab dan ‘Umar biasa berkonsultasi dengannya tentang semua masalah, baik besar maupun kecil. Dia berkonsultasi dengannya ketika penaklukkan Yerusalem, dan ketika Al-Mada’in ditaklukkan, dan ketika ‘Umar ingin pergi ke Nahawand melawan Persia, serta ketika dia ingin keluar melawan Bizantium, dan mengenai pendirian penanggalan Hijriah, dan lain-lain .
Sepanjang hidup ‘Umar, ‘Ali adalah seorang penasihat yang tulus yang mengkhawatirkan nyawa ‘Umar. ‘Umar mencintai ‘Ali dan ada kasih sayang yang mendalam dan rasa saling percaya di antara mereka. Namun terlepas dari itu beberapa orang masih bersikeras mendistorsi sejarah dan menceritakan sejarah yang sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Dr Al-Buti mengatakan: “Salah satu hal yang paling jelas yang akan diperhatikan oleh siapa pun yang mempelajari kekhalifahan ‘Umar adalah kerja sama yang jelas dan murni antara ‘Umar dan ‘Ali (semoga Allah meridhoi mereka berdua). ‘Ali adalah penasihat utama ‘Umar dalam semua masalah, dan setiap kali ‘Ali menawarkan saran, ‘Umar akan mengadopsinya dengan penuh keyakinan.
Cukuplah bagimu untuk mengetahui bahwa dia berkata, ‘Kalau bukan karena ‘Ali, ‘Umar akan binasa.’ Adapun ‘Ali dia sangat tulus dalam semua urusannya dan dalam semua situasi. Anda telah melihat bagaimana ‘Umar berkonsultasi dengannya tentang memimpin pasukan untuk melawan Persia. Nasihatnya adalah nasihat tulus yang mencerminkan cinta dan perhatiannya kepada ‘Umar, menyuruhnya untuk tidak pergi, dan menjalankan perang dari tempatnya berada. Dia memperingatkannya bahwa jika dia pergi, maka dia akan meninggalkan ruang kosong di belakangnya yang akan lebih berbahaya daripada musuh yang ingin dia hadapi.
Apakah Anda berpikir bahwa jika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah menyatakan bahwa ‘Ali akan menjadi khalifah setelahnya, bahwa ‘Ali akan berpaling dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan mendukung mereka alih-alih seharusnya merebut haknya, atau lebih tepatnya kewajibannya, menjadi khalifah, dengan cara yang begitu tulus dan konstruktif? Akankah para Sahabat (semoga Allah meridhoi mereka semua) telah mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam? Bahkan dapatkah dibayangkan bahwa mereka, yang dipimpin oleh ‘Ali, akan menyetujui hal itu dengan suara bulat?
Jadi mudah untuk menarik kesimpulan yang jelas, bahwa sampai saat ini – akhir pemerintahan ‘Umar, dan bahkan sampai akhir pemerintahan ‘Ali – umat Islam telah bersatu, dan tidak ada kebingungan dalam hal kekhalifahan dan siapa yang paling berhak atasnya.”
Diringkas dari ‘Umar ibn Al-Khattab – His Life & Times oleh Dr. ‘Ali Muhammad as-Salabi, vol. 1, hlm. 254-264, diterbitkan oleh International Islamic Publishing House, 2007
-Bersambung
(zarahamala/arrahmah.id)