(Arrahmah.com) – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap menggusur rumah warga di Bukit Duri, Jakarta Selatan meski kini masih dalam proses gugatan hukum. Langkah ini dinilai bentuk arogansi dan kepongahan Pemprov DKI sekaligus pengangkangan terhadap hukum.
Anggota Komite III DPD Fahira Idris mengatakan, warga Bukit Duri telah menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan bersama (class action) ke pengadilan terkait rencana penggusuran Pemprov DKI. Namun, cara damai itu justru digilas oleh kesewenang-wenangan Pemprov DKI yang meratakan rumah warga dengan tanah. “Yang dirobohkan bukan hanya rumah, tapi juga kehidupan,” kata Fahira dalam keterangan tertulisnya, Rabu (28/9). (republika.co.id 29/9/2016)
Aktivis hak asasi manusia (HAM), Ratna Sarumpaet, mengatakan, ada “main mata” Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dengan pengembang menyusul penggusuran yang marak dilakukan belakangan ini.
“Menurut saya, Pemprov DKI ini telah bekerja sama dengan pengembang supaya lahan bekas gusuran ini dijadikan lahan bagi pengembang dan disalahgunakan pengembang. Itu jelas sangat menyalahgunakan kewenangan dan melanggar HAM bagi warga yang terkena gusuran itu,” ujar Ratna kepada awak media di Bukit Duri, Jakarta Selatan, Sabtu (17/9). (okezone.com 17/9/)
Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta didesak mengoptimalkan keberhasilan program Larasita (dulu bernama Prona). Yakni program untuk memberi kesempatan bagi warga miskin untuk mendapatkan sertifikat atas tanah secara gratis).
Kuasa hukum warga Bukit Duri Vera WS Soemarwi mengatakan, BPN sebenarnya sudah mempunyai sistem pelacakan status tanah yang digabungkan dengan GPS (Global Positioning System). “Sehingga BPN bisa mengetahui wilayah mana saja di Jakarta dan kota-kota lain yang belum bersertifikat,” ujar dia, kepada Aktual.com, Kamis (1/9).
Kebijakan Pemerintah DKI dinilai merugikan. Ironisnya demi memihak kaum kapitalis, pemerintah justru mengabaikan kepentingan publik dan keseimbangan lingkungan. Kondisi ini dalam kaca mata ekonomi regional disebut “back wash effect”. Yaitu suatu kondisi dimana wilayah-wilayah yang maju menciptakan keadaan yang menghambat dan mengorbankan wilayah-wilayah terbelakang.
Ahmad Mony, SPi, MSi, dan Muhammad Karim, S.Pi, MSi menyatakan dampak sosial yang bakal memperparah defisit sosial dan merusak metabolisme sosial (keharmonisan, dan egalitarian di pesisir). Imbasnya, pengangguran kian parah (7,23 %, Agustus 2015), kemiskinan struktural (pertumbuhan orang miskin 2009-2013 sebesar 18 %), dan kesenjangan makin timpang (gini rasio DKI 0,43) sehingga “defisit sosial” akan bermunculan akibat dari dampak Reklamasi dan penggusuran teluk Jakarta. Defisit sosial yang bakal muncul yaitu konflik pemanfaatan ruang, kriminalitas akibat pengangguran, hilangnya ruang hidup nelayan dari tempat tinggalnya. (hallojakarta.com 17/4/16)
Walhasil dibalik peran propaganda media dan para pendukungnya kepada Ahok, yang mencitrakan berani, tegas, bersih dan anti korupsi, sebenarnya pro-kapitalis. Hanya berani menggertak rakyat kecil yang kebetulan berbuat salah, tapi senyap melawan kejahatan konglomerat hitam sekalipun begitu jelas melanggar aturan.
Rakyat dibiarkan mengais makan sendiri tanpa peran layak dari negara. Kapitalisme dan kebijakan neo-liberal telah gagal dan menyengsarakan. Kebijakan yang kita saksikan saat ini adalah kebijakan pembangunan berbasis kapitalisme. Dimana negara bersinergi dengan kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan berdalih pembangunan, padahal rakyatlah yang menjadi korban.
Semua itu adalah akibat sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi dan diterapkan di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, apalagi sistem neoliberal yang kini diterapkan, pemerintah hanya berperan sebagai regulator bukan pelaku dan penanggung jawab perekonomian. Dalam kapitalisme negara tidak berkewajiban memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang meliputi sandang, pangan dan tempat tinggal, begitupun pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya.
Dalam sistem Islam, negara wajib memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi setiap individu rakyat. Pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan diberikan secara langsung. Sistem Islam memiliki aturan yang menjamin hal itu bisa dilaksanakan.
Umar Syarifudin – Syabab Hizbut Tahrir Indonesia
(*/arrahmah.com)