(Arrahmah.com) – Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah yang dirasakan oleh publik di saat pandemi, di saat PHK menghantui, di saat perekonomian mengalami krisis, DPR mensahkan RUU Ciptaker tanpa memperhatikan aspirasi penolakan publik.
Dilansir oleh waspada.co.id, 6/10/2020, Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10) di Kompleks DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang Undang.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, mayoritas fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Ciptaker ini. Fraksi-fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, dan PAN. Hanya fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Ciptaker. Demokrat menilai RUU Cipta Kerja dibahas terlalu cepat dan terburu-buru.
RUU Cipta Kerja mulai dibahas DPR dan pemerintah pada April 2020. Sepanjang pembahasannya RUU Ciptaker mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil.
Elemen buruh, aktivis HAM dan lingkungan serta gerakan prodemokrasi menolak pengesahan RUU Ciptaker karena dianggap merugikan pekerja dan merusak lingkungan.
RUU Ciptaker juga dituding lebih memihak korporasi, namun DPR dan pemerintah terus melanjutkan pembahasan RUU Ciptaker.
Ancaman Covid-19 tidak mengurungkan niat para buruh, termasuk juga mahasiswa dan beberapa kelompok masyarakat, melakukan demontrasi menuntut pembatalan Undang Undang Ciptaker.
Mereka memandang ancaman yang akan dimunculkan UU Omnibus Law jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak terinfeksi virus corona.
Seperti yang disampaikan oleh salah seorang buruh, bahwa virus corona berdampak pada beberapa orang hingga satu generasi, tapi UU Omnibus Law akan berdampak pada tujuh generasi dan menciptakan generasi pekerja kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja, tanpa ada keamanan dan jaminan pekerjaan.
Dari banyak pasal yang dinilai bermasalah, terdapat tiga di antaranya yang mengancam kehidupan para pekerja jika aturan itu diberlakukan.
Pertama adalah tidak adanya batas waktu dan jenis pekerjaan dalam sistem kontrak yang menyebabkan para pekerja dapat dikontrak seumur hidup tanpa ada kewajiban mengangkat sebagai pegawai tetap.
Kedua, status kontrak itu akan berimplikasi pada hilangnya jaminan sosial dan kesejahteraan, seperti tunjangan hari raya, pensiun dan kesehatan.
Ketiga, dihapusnya upah minimum sektoral (provinsi dan kabupaten), dan adanya persyaratan dalam penerapan upah minimum provinsi (UMP) yang nilainya jauh lebih rendah.
Para pekerja meminta Presiden Joko Widodo untuk segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mencabut Omnibus Law. (bbc.com, 9/10/2020)
Banyak kalangan menuding Omnibus Law adalah karpet merah bagi korporasi. Pasal-pasal yang ada lebih banyak menguntungkan kepentingan investor dibanding pekerja. Buruh dan pekerja tak ubahnya mesin produksi bagi korporasi.
Alasan investasi yang bisa menciptakan lapangan kerja hanyalah kamuflase dari proyek undang-undang ini. kehadiran investor asing sejatinya tak berefek apa pun pada lapangan pekerjaan. Buktinya, tenaga kerja asing justru mengalir deras mendatangi Indonesia semenjak kran investasi dibuka selebar-lebarnya. Malah yang ada angka pengangguran terbuka makin meluas.
Omnibus Law adalah praktik nyata sistem kapitalisme neoliberal. Memberi keuntungan sebesar-besarnya bagi korporasi. Mengabaikan hak rakyat. Makin teguhlah rezim korporatokrasi itu berdiri. Negara berdiri bersama kapitalis, sementara rakyat diperlakukan bagai sapi perah.
Inilah fakta perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Negara hanya berperan sebagai regulator, penguasa sesungguhnya korporasi yang berlindung di balik pemerintah. Undang-undang dibuat hanya untuk memberi keleluasaan bagi pengusaha menguasai perekonomian negara. Dalam hal ini, peran negara mandul dan lemah.
Pembuatan Undang-Undang dalam Islam
Keleluasaan membuat undang-undang sesuai kepentingan elit tertentu, seperti para pengusaha tentu tidak dikenal dalam Islam. Islam menetapkan bahwa pembuatan undang-undang adalah untuk memudahkan negara dalam mewujudkan kemaslahatan umat sesuai dengan hukum syariat.
Cakupan syariat atas segenap pembuatan undang-undang yang berfungsi sebagai pengatur urusan negara meliputi aspek politik, ekonomi maupun sosial. Negara juga dimungkinkan untuk memberikan solusi atas berbagai peristiwa yang terus menerus mengalami pembaruan di setiap tempat dan zaman, dengan memberikan ruang ijtihad dan adanya hak bagi seorang kepala negara dalam mengadopsi dan melegislasi berbagai hukum dan menetapkan undang-undang.
Hanya kepala negara yang berhak menetapkan undang-undang dengan merujuk pada Al-Qu’ran dan Sunah. Tidak boleh ada satu penetapan undang-undang pun yang tidak merujuk pada Al-Qu’ran dan Sunah, atau mengambil undang-undang yang bukan berasal dari Islam.
Berdasar pada penetapan undang-undang tersebut, kepala negara menjalankan fungsinya sebagai khodim al ummah. Yakni pelayan umat, mengurusi kepentingan dan kemaslahatan umat. Negara bertugas memberi jaminan dan pelayanan. Menjamin penghidupan, kesejahteraan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat.
Sumber daya alam yang melimpah akan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara dilarang menyerahkan pengelolaan dan penguasaan SDA itu pada asing atau investor. Kehadiran investor dalam negara Islam tidak boleh dalam bidang strategis atau vital.
Investasi asing tidak boleh dalam bidang yang membahayakan, kepemilikan umum, sektor nonriil, dan juga dalam kategori muhariban fi’lan. Investasi asing hanya boleh dalam bidang halal dan bukan dalam penguasaan kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dalam mengatasi pengangguran, negara akan memberdayakan iklim usaha yang sehat. Membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat. Yang tidak punya modal, diberi modal oleh negara agar ia bekerja.
Yang tidak punya keterampilan bekerja, juga akan diberi pelatihan agar ia memiliki kemampuan dan skill yang mumpuni. Sebab dalam Islam, pengangguran dan bermalas-malasan itu dilarang. Setiap kepala keluarga wajib mencari nafkah.
Sebagaiman sabda Nabi saw., “Cukuplah seorang muslim berdosa jika tidak mencurahkan kekuatan menafkahi tanggungannya.” (HR. Muslim)
Dalam hal ini, negara akan membuka lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga laki-laki.
Dengan memaksimalkan serta mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki, negara berdiri secara mandiri tanpa bergantung pada investasi dan utang luar negeri. Negara seperti ini hanya bisa terwujud dengan penerapan syariah Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh: Yanyan Supiyanti, A.Md, Pendidik Generasi Khoiru Ummah, Member AMK
(ameera/arrahmah.com)