Oleh Subroto
(Arrahmah.com) – Akhir Perang Salib di Andalusia Spanyol 1494 begitu pilu. Dengan jatuhnya Granada ke tangan orang Kristen tahun 1494 M dari umat Islam, hilanglah toleransi beragama dan kedamaian dalam berniaga. Timbullah penindasan di luar kemanusiaan. Umat Islam dipaksa untuk pindah agama Kristen. Jika tidak mau murtad harus meninggalkan Spanyol, namun tidak boleh membawa putra-putrinya. Mereka yang tidak sanggup meninggalkan putra-putrinya, mereka memilih masuk Kristen. Apabila tidak mau pindah agama Kristen dibakar hidup-hidup. Selain itu juga dibangkitkan gerakan Anti Semitisme. Artinya Anti Islam dan Yahudi. Hal ini tidak pernah terjadi pada masa Islam.
Dengan kemenangan itu Portugis dan sekutunya, Spanyol merasa sebagai penguasa Dunia. Portugis dan Spanyol mulai bersaing untuk menemukan dan menguasai negeri-negeri di barat dan di Timur untuk dieksploitasi secara ekonomi sekaligus menyebarkan agama Katolik. Untuk menghindari konflik antara dua kekuatan maritim-raksasa ketika itu: Spanyol dan Portugis, Paus Alexander VI memprakarsai lahirnya Traktat Tordesillas (7 Juni 1494) yang “membagi” dunia menjadi dua bagian, separuh untuk Spanyol dan separuh lagi untuk Portugis.
Portugis yang mendapat bagian Timur kemudian bergerak ke negeri-negeri yang mereka sebut Timur Jauh, yakni Asia dengan semangat dan misi reconquita dores (penaklukan terhadap Muslim). Mereka mengejar dan memporak-porandakan negeri asal Muslim yang mereka benci, Afrika Utara. Setelah menghancurkan dan membantai di sana, mereka berusaha mencari orang-orang Moor (Muslim) di luar Afrika utara sambil mencari negeri asal rempah-rempah yang konon dari negeri di Timur yang dikuasai orang-orang Muslim.
Tahun 1488 Portugis sampai di Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Namun belum mengetahui jalan ke India maupun Asia Tenggara, sehingga mereka mencari pemandu dalam pelayaran mereka. Tahun 1498 tentara Portugis yang dipimpin Vasco da Gama tiba di India dengan dipandu oleh seorang navigator Muslim, Ahmad bin Abdul Majid. Menurut Sir R.F. Burton, Ahmad bin Abdul Majid adalah yang pertama menemukan kompas.
Portugis dengan cepat memiliki banyak basis penting di kawasan Timur: Malaka (1511)—pasar rempah-rempah utama, sebuah gerbang untuk masuk ke arah timur dari Eropa, Ambon (1537), Ternate (1530) dan Tidore (1578) dan Makau (1557) di Cina.
Di wilayah yang dilalui pelayaran Kerajaan Katolik Portugis terjadi bencana kemanusiaan. Hal itu terjadi karena motivasi pelayaran mereka bukan berniaga sebagaimana pelayaran yang sebelumnya lazim dilakukan di Asia dan Afrika. Tetapi motivasi mereka adalah reconquita dores (penaklukan terhadap Muslim). Ketika Portugis sampai di Goa India, mereka baru menyadari bahwa Negara sumber rempah-rempah yang selama ini dicari bukan India.
Dalam usaha mencari negeri asal rempah-rempah yang mereka buru karena harganya yang sangat mahal waktu itu, pelayaran Portugis kembali meminta bantuan pemandu Muslim. Nakoda Ismail, seorang pedagang Melayu yang punya banyak pengalaman pelayaran ke Maluku, diminta menjadi pemandu ekspedisi Portugis itu. Dia menggunakan jung Cina sebagai kapal pemandu, yang berlayar paling depan menuntun ketiga kapal Portugis pimpinan d’Abreau. Pelayaran ini merupakan pelayaran armada Eropa pertama di perairan Nusantara.
Sampai di Maluku Portugis diterima sebagai tamu dan mitra dagang yang sangat dihormati Kesultanan Ternate. Kedatangan mereka yang dilengkapi kapal dan senjata modern telah memunculkan harapan baru untuk memenangkan persaingan antar negeri di Kawasan Pulau Rempah-rempah yang selama ini bersaing ketat untuk mengontrol wilayah tersebut.
Dengan angan-angan Sultan Ternate yang muluk-muluk akhirnya semua permintaan tamunya tersebut dikabulkan. Hak monopoli perdagangan rempah-rempah pun diberikan pada Portugis karena awalnya Portugis mau membayar dengan harga yang lebih tinggi daripada yang dibayarkan para pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Cina selama ini. Di samping itu Ternate akan mempunyai daya saing yang lebih kuat karena mempunyai mitra asing. Untuk tujuan itu Portugis dibolehkan dan dibantu membangun benteng pertahanan di Ternate.
Lambat laun Portugis menampakkan sifat aslinya sebagai penjajah, bukan mitra dagang atau sekutu bagi Ternate. Sebagai pemilik hak monopoli perdagangan rempah-rempah, mereka menentukan harga semau mereka sendiri, bahkan di bawah harga pasar yang selama ini berlaku untuk mengeruk keuntungan yang besar. Selain itu petani Ternate juga dikenai pajak penjualan yang tinggi dan petani dipaksa untuk menjual dan menyerahkan hasil panennya hanya kepada Portugis.
Di bidang politik Portugis juga mulai berani mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan mereka campur tangan dalam suksesi kepemimpinan Sultan Ternate untuk menjamin bahwa Sultan Ternate selanjutnya tidak menentang Portugis untuk melanggengkan posisi mereka di Ternate. Untuk memuluskan tujuan itu, Portugis mewajibkan para putra Sultan untuk dididik di dilingkungan orang-orang Portugis di dalam Benteng Portugis sampai menginjak dewasa. Intrik-intrik dan persekongkolan pun terjadi. Pangeran atau pejabat Kesultanan yang tidak disukai atau dianggap sebagai ancaman Portugis akan disingkirkan dengan berbagai cara. Mulai dari diracuni, dibuang, dipenjara atau dibunuh dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Portugis juga berlaku sangat kejam. Siapa saja yang menentang kemauan gurbenur Portugis akan ditangkap, disiksa dan bahkan dieksekusi dengan cara yang sangat keji, walaupun kesalahannya sangat sepele.
Misi penginjilan pun segera dijalankan. Para penyebar agama didatangkan untuk mengonversi agama rakyat Ternate yang mayoritas Muslim menjadi Kristen Katolik. Para pejabat dan bangsawan pun tidak luput dari sasaran Kristenisasi. Banyak rakyat, pejabat dan keluarga Kerajaan Ternate yang kemudian dimurtadkan.
Sultan Khairun yang sejak kecil mengenyam pendidikan dan hidup bersama orang Portugis awalnya mendukung segala program Portugis termasuk Kristenisasi. Bahkan tak jarang Sultan memfasilitasi dan mengawal misi penginjilan di berbagai pulau sekitar Ternate. Namun pada akhirnya Khairun menyadari kesalahannya. Anggapan bahwa Portugis baik mulai sirna dari hatinya. Kekejaman dan ketidak adilan Portugis yang selama ini diberlakukan pada rakyatnya kini sudah tidak bisa tolerir lagi ketika kekejaman dan ketidak adilan itu dia alami sendiri. Khairun tidak setuju dengan rencana Portugis yang akan menaikkan lagi pajak penjualan yang selama ini sudah memberatkan rakyat.
Khairun mulai membangun kekuatan militernya. Anaknya yang tertua sekaligus sebagai putra mahkota diangkat sebagai Kapita Laut (panglima perang) Kerajaan Ternate.
Sikap Khairun yang mulai berubah dirasakan Portugis, dan dianggap sebagai pembangkangan kepada Gubernur Portugis yang berpotensi sebagai ancaman terhadap keberlangsungan misi Portugis. Gubernur kemudian merencanakan untuk menyingkirkan Khairun. Tipu muslihat pun dijalankan, dan rencana licik gubernur berjalan lancar. Khairun ditikam oleh orang suruhan Gubernur ketika diundang ke dalam benteng untuk berunding. Setelah dibunuh jasad Khairun dimutilasi dan dibuang ke laut.
Kejahatan Portugis terakhir semakin memuncakkan kemarahan rakyat dan keluarga Kerajaan Ternate. Baabullah kemudian diangkat menjadi Sultan Pengganti Khairun dan menyerukan jihad pada seluruh rakyat Ternate dan negeri-negeri di sekitarnya untuk menghancurkan dan mengusir Portugis dari Maluku.
Rakyat dan negeri-negeri sekitar Ternate menyambut seruan jihad Sultan Baabullah. Serangan terhadap Portugis dilakukan secara serentak dengan dukungan tersebut. Dimulai dengan markasnya di Ambon untuk mencegah bala bantuan masuk. Dilanjutkan dengan membersihkan seluruh Kepulauan Maluku dari orang-orang Portugis. Markas Portugis di Benteng Gamalama pun mulai dikepung. Orang-orang Portugis yang menyerah semua dimasukkan ke dalam benteng tersebut. Pengepungan berlangsung sampai lima tahun tanpa aksi militer. Pasokan bahan makanan yang semakin lama semakin dibatasi membuat orang-orang Portugis seakan di dalam Penjara yang besar.
Pada tahun kelima tepatnya 28 Desember 1575, bertepatan dengan Saint Stephen’s Day (Hari Suci Santo Stefanus), Portugis menyerah tanpa syarat setelah diultimatum oleh Sultan Baabullah. Gubernur dan Pasukan Portugis keluar dari benteng dengan menunduk dan dengan kondisi tubuh yang kurus kering dan sangat lemah karena kekurangan gizi dan serangan penyakit. Dari semula 900 orang yang terkepung dalam Benteng tinggal 400 orang saja yang keluar saat menyerah pada Sultan Baabullah. Portugis menyerah dan keluar dari Maluku dengan hina setelah berkuasa dan berjaya mengeruk keuntungan dengan zalim di Maluku selama 53 tahun (1522-1575).
Executive Summary Laporan Khusus Lembaga Kajian Syamina Edisi 10 / Juli 2016
(*/arrahmah.com)