JAKARTA (Arrahmah.com) – Ada yang berbeda dari serangan bom untuk Ulil Abshar Abdallah dibanding kasus teror sebelumnya. Target sebenarnya adalah memojokkan citra Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, sedangkan Ulil hanya merupakan pengalih perhatian semata.
Demikian analisa Mustofa B. Nahrawardaya, pengamat dari Indonesian Crime Analys Forum. Analisa disampaikan kepada Kantor Berita detikcom melalui surat elektronik, Selasa (15/3/2011) kemarin. “Tujuan aksi ini, agar masyarakat mewaspadai gerakan aksi bom oleh kelompok yang diidentifikasikan sebagai kelompok pengikut Abu Bakar Baasyir,” ujar Mustofa.
Menurut Mustafa, pelaku sengaja menujukan paket bom kepada Ulil Abshar terkait dengan aktivitasnya dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) yang cenderung mendukung Jemaah Ahmadiyah. Melalui buku yang berjudul ‘Mereka Harus Dibunuh Karena Dosa-dosa Mereka Terhadap Islam dan Kaum Muslim’, pelaku menitip pesan bahwa bom ini adalah untuk membalas dendam pada perusak Islam.
Waktu kejadian yang bersamaan dengan masa sidang Abu Bakar Baasyir, adalah faktor yang menghubungkannya secara tidak langsung. Pemilihan Kantor JIL dan Ulil hanya untuk mengalihkan perhatian dari misi utama menciptakan suasana psikis ketakutan masyarakat.
“Sedikit kreasi target, menyesuaikan isu pergesekan Islam pengikut Muhammad dengan Islam Ahmadiyah dan mengirimkannya ke Ulil, pembuatnya ingin menitip pesan bahwa bom ini adalah untuk membalas dendam pada perusak Islam dan tidak terdeteksi misi utamanya, yakni memojokkan Abu Bakar Baasyir,” papar dia.
Lantas siapa pihak yang bisa melakukan aksi sedemikian rumit itu?
“Bom ini saya yakini dibuat oleh intelijen hitam yang ingin menciptakan suasana tidak kondusif di tengah kontroversi sidang Abu Bakar Baasyir,” jawab Mustafa.
Sebelumnya, Ba’asyir mengadukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Komisi Yudisial (KY). Majelis dilaporkan karena dianggap tidak netral karena telah mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum (JPU) untuk melakukan pemeriksaan saksi melalui teleconference.
“Kami menilai majelis tidak netral karena lebih banyak memihak JPU,” kata kuasa hukum Ba’asyir, Wirawan Adnan di Gedung KY, Jakarta.
Menurut Wirawan, seharusnya majelis menolak permohonan itu karena urgensinya tidak ada. “Kepentingan hukum tidak kena, melainkan melindungi saksi karena merasa takut terhadap terdakwa,” tambahnya.
Wirawan keberatan dengan argumentasi majelis hakim yang langsung menerjemahkan UU dan PP tentang Terorisme mengenai bukti elektronik yang boleh diterapkan serta pemeriksaan tatap muka. “Pengadilan langsung menerjemahkan menjadi teleconference,” terangnya.
Padahal, tidak ada alasan bahwa saksi boleh diperiksa dalam keadaan tatap muka. Sebab saksi yang ingin dihadirkan tidak dalam keadaan sakit, meninggal dunia, atau menjalani hukuman penjara. “Saksi harus tetap diperiksa di persidangan,” jelasnya.
Untuk itu, kuasa hukum Ba’asyir meminta agar majelis hakim yang menangani perkara Ba’asyir diganti. “Kami juga berharap majelis hakim diganti saja,” terangnya. Dia pun mengancam, jika tidak permintaannya tidak dipenuhi maka tidak akan menghadiri persidangan. “Kami tidak akan hadir di sidang sampai ada keputusan pergantian majelis hakim,” pungkasnya. (SM/arrahmah.com)