JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harist Abu Ulya, mengatakan Cina komunis butuh proxy di Indonesia untuk menutupi kebiadaban terhadap Muslim Uighur
Menurut Harist, dari berbagai sumber berita yang kredibel menunjukkan realitas yang tidak terbantahkan soal tindakan biadab pemerintah China Komunis terhadap etnis Uighur (muslim Xinjiang secara umum) yang notabene mayoritas beragama Islam (muslim).
“Perlakuan diskriminatif, intimidasi, kekerasan fisik, penjara penjara besar yang di beri label kamp re-edukasi, bahkan regulasi yang melegitimasi kebijakan tidak humanis dibuat. Semua itu secara sistemik di alami umat muslim dari tangan besi pemerintah China Komunis. Muslim Uighur-Xinjiang menjadi korban dan sengaja dikorbankan,” jelasnya, dalam keterangan tertulis, Kamis (19/12/2019).
Muslim Uighur-Xinjiang yang bisa lolos dari “zona neraka” seperti itu menceritakan apa adanya.
Harist menilai, pemerintah Cina Komunis tentu tidak ingin “bangkai busuk” kebiadaban yang digelar atas muslim Uighur-Xinjiang terbongkar dihadapan mata dunia.
Jika kebongkar secara vulgar, lanjutnya, akan berpengaruh kepada interpendensi Cina dalam konstelasi Global dimana Cina berusaha membangun dominasi dengan beragam strateginya.
“Karena sisa saja isu pelanggaran HAM berat dimainkan oleh rival Cina untuk mencari keuntungan dan bisa merugikan kepentingan politik dan ekonomi Cina Komunis. Maka niscaya “proxy war” digelar oleh pemerintahan Cina di negara-negara dunia terutama negeri-negeri muslim dan Indonesia masuk dalam prioritas,” ujarnya.
Harist menjelaskan, pendekatan ekonomi melalui pinjaman (utang) atau Investasi Cina di Indonesia menjadi point yang bisa dimainkan untuk menjadikan penguasa Indonesia adalah boneka Cina Komunis.
“Investasi bisa dipakai sebagai amunisi untuk membungkam pejabat Indonesia agar tidak mengusik Cina terkait persoalan Uighur-Xinjiang,” terangnya.
Lebih jauh lagi, ujar Harist, iklim opini yang berkembang di publik perlu di kendalikan oleh Cina. Maka Cina perlu orang-orang yang bisa jadi “jubir” pemerintah Cina untuk membangun opini dan mengendalikan persepsi publik soal sikap pemerintah China terhadap Muslim yang ada di wilayah Xinjiang.
“Pendekatan yang lazim adalah dengan menfasilitasi kunjungan ormas-ormas tertentu ke negara China dengan desain tertentu. Atau pemberian donasi kepada ormas-ormas tertentu dan harapan dari ragam pendekatan itu adalah Cina punya “Proxy” yang bisa menutup kebiadaban yang terjadi,” ungkap Harist.
Harist menjelaskan, dalam “proxy war” suatu yang niscaya orang-orang opurtunis di Indonesia dengan jabatan atau posisi yang saat ini dimiliki ia menjadi “abdi dalem” kepentingan Cina Komunis.
“Pendekatan “cingcai” ke person atau kelompok tertentu masih menjadi alternatif yang dianggap efektif dilakukan oleh Cina Komunis untuk menjaga kepentingannya,” tutup Harist.
(ameera/arrahmah.com)