JAKARTA (Arrahmah.id) – Sejumlah lembaga menyoroti potensi korupsi program makan siang gratis, yang baru akan dikerjakan pemerintah mulai tahun anggaran 2025. Perlu transparansi tinggi, dan pelibatan masyarakat untuk mengawasi program itu.
Diketahui, program itu diusung calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka peserta Pilpres 2024. Namun, pemerintahan yang kini masih dipegang Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah memasukkan program itu dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan, potensi korupsi yang perlu diawasi terletak pada proses pengadaan programnya, hingga penunjukkan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya dan pendistribusiannya.
“Ini harus difikirkan tata kelolanya, bagaimana hingga ke level masyarakat yang jumlahnya 200 juta lebih,” kata Agus, dilansir dari CNBC Indonesia, Rabu (28/2/2024).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menyoroti hal serupa. Menurutnya proses pengadaan barang dan jasa di pemerintah saat ini masih rentan dikorupsi, apalagi terhadap program baru yang dikebut dengan skala masif.
“Maka, di situ dalam program makan siang gratis, khawatir yang Rp 15.000 per anak itu sampai ke bawah memang angkanya tidak segitu. Jadi pengawasan soal korupsi ini juga penting untuk dimonitor,” tegas Bhima.
Menurutnya, untuk mencegah tindak pidana korupsi itu, maka pemerintah harus menyediakan layanan pengaduan langsung dari masyarakat, supaya penyalurannya dapat sesuai dengan patokan menu sesuai rencana biaya, yakni Rp 15.000 per anak.
“Nah apakah bisa dari masyarakat ketika menemukan pengaduan ada makan siang yang tidak sesuai dengan budget,” ujar Bhima.
Selain korupsi, potensi kolusi juga menurutnya menjadi rentan terjadi dalam program ini. Maka, proses penunjukkan penyedia makan siang siang gratisnya harus transparan dan dapat ditelusuri latar belakangnya, apakah memiliki kedekatan dengan pemerintah baik di pusat maupun daerah, ataupun dinas dan instansi pelaksana.
“Ini kan masalah klasik, tapi dengan anggaran sebesar itu, ini kalau sisi tata kelola dan pengawasannya tidak siap khawatir ini akan dinikmati mereka yang punya kedekatan saja,” ujar Bhima.
“Sehingga tidak benar mengalir ke pelaku UMKM, jadi betul bisa jadi ladang korupsi baru, makanya benar-benar ini harus dari awal untuk progran makan siang gratis tidak bernafsu dilakukan secara level nasional,” lanjutnya.
Bhima menyarankan, untuk meredam risiko korupsi dan kolusi itu, pemerintah seharusnya melaksanakan program ini secara bertahap, di mulai dari tingkat kabupaten dengan indikator angka stunting atau gizi buruk yang tinggi.
“Di situ kemudian dilakukan evaluasi, termasuk soal pengawasan, transparansi anggarannya, dan efektif tidaknya program itu menurunkan angka gizi buruk misalnya,” tegasnya.
Pentahapan ini juga bisa meredam potensi pelebaran defisit yang makin besar. Sebab, saat pembahasan RKP dan Kerangka Ekonomi Makro serta Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 yang turut memasukkan program makan siang gratis dalam sidang kabinet paripurna awal pekan ini, defisit APBN 2025 ditarget melebar 2,48%-2,8% dari tahun ini 2,29%.
“Anggaran yang besar tanpa pengawasan yang memadai akan jadi masalah tersendiri. Bisa anggarannya kurang efektif, anggaran mengambil dari pos belanja lainnya, dan di lapangan dampaknya akan terlalu variatif,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)