JAKARTA (Arrahmah.com) – Beberapa negara memberikan pernyataan dan penolakan tegas atas penindasan yang dilakukan pemerintah komunis Cina terhadap Muslim Uighur. Bagaimana dengan pemerintah Indonesia?
Pemerintah Indonesia, yang berpenduduk mayoris Muslim, dinilai tidak vokal bahkan cenderung diam melihat persekusi yang dialami Muslim Uighur di bawah kekuasaan pemerintah komunis Cina.
Pengamat menilai, ketergantungan ekonomi dan investasi yang tinggi Indonesia terhadap Cina disebut menjadi salah satu alasan pemerintah Indonesia tak bisa berbuat banyak untuk menekan Cina.
“Ketergantungan ekonomi yang tinggi atas Cina di bidang perdagangan dan investasi, dalam konteks bilateral dan CAFTA, memaksa RI berpikir amat panjang dan mendalam sebelum membuat sebuah kebijakan atas praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang,” ucap pengamat politik internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, Selasa (18/12), lansir CNNIndonesia.
Selain ketergantungan ekonomi, Indonesia juga telah menyepakati perjanjian kemitraan komperhensif strategis bersama Cina pada 2008 lalu.
Menurut Teuku, perjanjian itu mensyaratkan hubungan bilateral di berbagai bidang harus terpelihara dan tidak boleh terganggu akibat peristiwa baru di masa depan yang mengganjal kedua negara, termasuk kasus dugaan pelanggaran HAM ini.
Jika Indonesia menyinggung Cina terkait hal ini dengan cara yang tidak tepat, dosen jurusan hubungan internasional itu khawatir langkah pemerintah RI tak hanya mempengaruhi hubungan bilateral, tetapi juga merusak prospek kerja sama ASEAN-China.
“RI tidak memiliki kapabilitas untuk menekan Cina di level regional karena China yang tersudutkan berpotensi merusak kerja sama dengan ASEAN dan ASEAN centrality melalui tiga negara yang amat tergantung pada bantuan pembangunan Beijing yakni, Kamboja, Laos, Myanmar,” jelas Teuku.
(ameera/arrahmah.com)