JAKARTA (Arrahmah.com) – Banyak yang terperanjat mengapa Aksi Damai Bela Islam III pada Jum’at (2/12/2016) di Lapangan Monumen Nasional (Monas) justru lebih banyak menarik massa dibandingkan aksi serupa sebelumnya. Meski sebelum aksi digelar, banyak intimidasi, pelarangan dan serangkaian penggembosan, namun justru banyak ummat Islam menghadiri acara yang diinisiasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI ini.
Di sisi lain, secara mengejutkan aksi yang dihadiri jutaan orang (berdasakan Google Eart, ada yang menaksir acara Aksi Bela islam III ini dihadiri lebih dari 5 juta orang) ini justru dipandang sebelah mata banyak media mainstream (arus utama).
Aksi doa yang menuntut penegak hukum memenjarakan penista agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ini justru ditutupi media massa arus utama, seolah-olah hanya acara doa dan dzikir untuk kedamaian Indonesia. Bahkan ada media yang justru mengangkat kehadiran Presiden Joko Widodo kurang dari 3 menit menemui peserta aksi sebagai laporan utama.
Sementara tuntutan utama “memenjarakan Ahok” yang disuarakan sejak Aksi Bela Islam I, II dan III hilang dari peliputan koran dan televisi Indonesia. Apa yang terjadi?
Islamic News Agency (INA), jaringan berita yang diinisiasi Jurnalis Islam Bersatu (JITU), mewawancari pengamat komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo, Mohammad Nur Hidayat menyoroti hilangnya tuntutan utama GNPF MUI yang ingin penista agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok segera dipenjara.
“Mereka membelokkan isu aksi damai hanya sekedar doa untuk negeri sehingga agenda setting memutarbalikkan opini sangat jelas terlihat. Bahkan bisa dibilang sangat vulgar. Malah ada media arus utama yang tetap menghubungkan Aksi Super Damai ini dengan isu makar,” demikian disampaikan dosen ilmu komunikasi ini kepada INA, Ahad (5/12).
Menurut penulis buku Kapita Selekta Jurnalisme ini ada beberapa alasan mengapa sejak awal media arus utama dinilai tidak bisa cukup adil melihat aksi gerakan Bela Islam sejak edisi I sampai III ini.
Setidaknya, lima alasan mengapa media arus utama “melindungi” Ahok:
Pertama, media umum membuat framing (membingkai peristiwa) Aksi Bela Islam III sebagai aksi doa dan kehebatan Jokowi.
“Mau tidak mau media mainstream tetap harus memberitakan aksi jutaan orang ini, meski terpaksa memberitakan menurut versi mereka. Mereka hilangkan tuntutan utama ummat untuk memenjarakan Ahok menjadi hanya aksi berdoa dan kehebatan Jokowi datang beberapa menit yang tidak mengatakan apapun terkait Ahok,” ujarnya.
Meski tetap memberitakan, tapi bingkainya membelokkan isu ini hanya doa untuk negeri.
“Sehingga agenda setting memutarbalikkan opini sangat terlihat. Bahkan bisa dibilang vulgar. Malah ada media mainstream yang tetap menghubungkan Aksi Super Damai ini dengan isu makar. Bahkan ada media asing mengait-mengaitkan makar dengan berhubungan ISIS lagi. Mereka sangat paksakan diri untuk menghubung-hubungkan. Istilah Jawa ini otak atik gathuk.”
Kedua, media arus utama di Indonesia saat ini dalam posisi sulit.
Di satu sisi seolah tidak ingin gerakan Aksi Damai sebagai berita besar. Meski gerakan ini sudah mendapat tempat di hati banyak ummat Islam, faktanya, mereka sengaja tetap membingkai agar ini gerakan kecil. Sementara di saat yang sama, semua mata umat fokus pada gerakan ini, jadinya harus tetap menjadikan sebagai berita utama.
“Mau tidak mau media mainstream harus memberitakannya sebagai berita utama. Sebab jika tidak, mereka terancam kehilangan pasar. Aneh saja, aksi lebih 2 juta orang tidak jadi perhatian, sementara aksi Kebhhinekaan hanya segelintir orang saja dimuat?,” ujarnya.
Di sisi lain, mereka seolah masih berat hati jika menjadikan Ahok sebagai orang yang tersudut. Ibarat makan buah simalakama. Diberitakan ada peluang Ahok makin tersudut, tidak diberitakan, ummat Islam yang menjadi konsumen mereka ditakutkan akan lari.”
Ketiga, kekuaatan media sosial (Medsos). Menurut Nurhidayat, media arus utama lupa saat ini ummat Islam lebih cenderung mengandalkan jaringan media sosial (Medsos) akibat bertahun-tahun sering diplintir dalam pemberitaannya oleh media arus utama.
Ia melihat sejak Aksi Bela Islam I sampai Aksi Bela Islam II (Jum’at, 4 November 2016), kalangan warga terdidik justru lebih mengandalkan jaringan Medsos dan grup-grup di WhatsApp untuk berkampanye karena rasa kecewanya pada televisi dan media umum.
“Jikalau tidak bisa ikut aksi secara fisik, banyak yang merasa terpanggil ‘jihad’ dengan hanya ikut menyebarluaskan aksi via medsos. Terutama WA, Facebook dan Twitter. Ini justru besar pengaruhnya.”
Karena itu, menurutnya, jika media masih tetap tidak adil, mainkan media sosial. Jika media arus utama tetap bermain dengan cara seperti itu kepada kelompok Islam, menurut Nurhidayat, media-media ini akan digilas media sosial.
Keempat, gagal menerapkan teori kuno
Media arus utama gagal menerapkaan Teori Goebbels dalam Aksi Bela Islam. Teori ini diambil dari Paul Joseph Goebbels atau dikenal teknik Big Lie (kebohongan besar), dimana menyebarluaskan berita bohong sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran.
Menurutnya, media arus utama percaya Ahok simbol kebhinekaan dan toleransi, padahal bagi ummat Islam ia justru lebih berbahaya Jyllands Posten yang melecehkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Media seolah menutupi semua perilaku buruk (terutama lisan) Ahok setiap hari di media massa.
Usaha media besar ‘menyelamatkan Ahok’ dan mempraktikkan Teori Goebbels rupanya gagal total. Sebab, diam-diam ummat percaya komando ulama non formal (dalam hal ini di MUI dan GNPF-MUI). Semakin MUI dibully dan dinistakan, rupanya ummat semakin kuat. Ini yang tidak bisa dibaca dengan hati nurani media arus utama
“Semakin ulama dilecehkan, maka sama artinya dengan nabi yang dilecehkan. Pantaslah banyak ummat yang ikut mendemo beliau. Banyak umat meninggalkan baju ormas, meski pimpinan mereka melarang. sebab ini sudah harga diri ulama.”
Media dinilai lupa ketika kasus tahun 2000 dimana Banser ‘menyerbu’ Kantor Jawapos di Surabaya karena dinilai salah memberitakan seorang ulama NU tentang kasus korupsi. Akibatnya, koran itu tidak bisa terbit lebih dari 2 hari.
Kelima, mayoritas media arus utama membela kaum pemodal dan kepentingan asing
Terakhir, media arus utama di Indonesia Indonesia sudah dikuasai kelompok pemodal dan asing yang punya kepentingan ‘menyelamatkan Ahok’. Akibatnya, susah mencari media besar di Indonesia bisa jujur melihat perasaan ummat Islam di Indonesia terkait kasus ini.
“Ada yang ingin menaikkan citra Ahok, bahwa ada seorang non-Muslim bisa jadi pemimpin di negara berpenduduk Muslim terbesar,” ujarnya.
“Memang owner-nya secara resmi orang Indonesia, tapi dibalik itu ada kepentingan asing. Ada konglomerat dan raja-raja media seperti George Soros, Rupert Murdoch, bahkan Donald Trump yang sangat anti-Islam juga ada. Maka tidak heran Ahok menjadi representasi kelompok kaum liberalis meski sia gampang melecehkan agama dan melukai ummat Islam.”
Menurut Nurhidayat, meski tindakan media yang tidak adil ini dinilai mengecewakan ummat Islam, tidak seharusnya umat berhenti berbuat sesuatu. Baginya, masih ada harapan umat melawan aksi dengan cara simpatik.
Dua hal yang masih bisa dilakukan adalah; tinggalkan membaca dan menonton media arus utama yang tidak adil pada Islam dan memulai alternatif lain. Ia menyarankan menggunakan media sosial dan berlangganan membaca media-media Islam yang reputasinya dipercaya umat.
“Umat Islam juga bisa melakukan perlawanan atas ketidakadilan media seperti ini. Boikot media terebut, jangan beli korannya, jangan tonton TV nya, jangan akses dot.com nya. Bahkan lebih manjur lagi boikot produk-produk yang diiklankan media tsb. Beralihkan kepada media Islam dan kita terus dorong mereka menulis lebih baik agar umat punya informasi yang membela mereka, ” ujarnya. (*/arrahmah.com)