JAKARTA (Arrahmah.com) – Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan sejumlah pejabat kabinet Presiden Jokowi diduga terlibat dalam bisnis tes PCR di Indonesia.
PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang menjadi perusahaan penyedia tes Covid di RI itu disebut didirikan Luhut dan 8 pemegang saham lainnya.
Juru Bicara Menko Marves, Jodi Mahardi mengakui memang sebelumnya ada sejumlah pengusaha yang berniat membantu penanganan pandemi pada awal 2020.
Para pengusaha tersebut, lanjutnya, mengajak Luhut mendirikan PT GSI yang fokus melayani tes Covid-19.
Namun, kata Jodi, PT GSI tidak pernah membagikan deviden, termasuk untuk Luhut. Keuntungan digunakan untuk menggelar tes Covid-19 gratis secara massal.
Sementara itu, Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan apa yang telah terlihat itu menunjukkan memang ada peran Luhut dalam bisnis PCR.
“Luhut penerima manfaat yang lebih kecil, poinnya adalah terindikasi tidak jujur, meski [sahamnya di PT GSI] hanya 10 persen,” ujar Asfinawati, Senin lansir CNN Indonesia
Asfinawati mengungkapkan, sejumlah pejabat pemilik manfaat itu meski memiliki persentase saham yang kecil, tak menutup kemungkinan hal tersebut bisa berpengaruh pada bisnis PCR di Indonesia selama ini.
Dia mengatakan, keterlibatan Luhut bisa dibuktikan dengan kepemilikan saham 10 persen tersebut.
Dengan bukti itu, lanjutnya, baik Luhut dan menteri lainnya yang terlibat bisa disangkakan melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
“Baik Perpres beneficial ownership dan UU tentang pemerintahan yang bersih dari KKN semangatnya membuktikan dan larangan. Jadi nepotisme itu tidak harus membuktikan ada korupsi,” jelas Asfinawati.
Perpres Beneficial Ownership yang dimaksud Asfinawati itu adalah Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Namun, lanjutnya, dalam perpres itu pemilik manfaat diatur memiliki saham lebih dari 25 persen, hak suara lebih 25 persen, menerima keuntungan lebih dari 25 persen dari laba per tahun, serta memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris.
Meskipun persentase saham terbilang kecil, Asfinawati menilai ada jalan untuk mencari dugaan pelanggaran perpres tersebut.
“Bisa banget disangkakan melanggar Perpres Beneficial Ownership,” tandasnya.
Perpres itu menjelaskan pemilik manfaat sebagai orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi, memiliki kemampuan atau mengendalikan korporasi, berhak dan atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, Asfinawati juga ikut mengkritik sejumlah menteri pemerintahan Presiden Jokowi yang diduga terlibat bisnis PCR selain Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, di antaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Asfinawati menjelaskan larangan berbisnis bagi pegawai negeri atau ASN dikarenakan kekhawatiran akan konflik kepentingan dalam bisnis tersebut.
Menurutnya, pemerintah dalam hal ini Jokowi selaku presiden harus turun tangan sekaligus menyelesaikan masalah tersebut sesuai hukum.
“Dugaan konflik kepentingan ini perlu ditanggapi serius oleh pemerintah, mengingat jabatan-jabatan menteri tersebut,” lanjutnya.
Sebelumnya pendahulu Asfinawati, eks Direktur YLBHI Agustinus Edy Kristianto menyebut sejumlah menteri pemerintahan Jokowi terlibat bisnis tes PCR.
Para menteri itu terafiliasi dengan PT GSI, penyedia tes Covid-19 di Indonesia.
Di samping itu, dugaan kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan di tengah pandemi Covid-19 juga digaungkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan.
Koalisi juga mendesak pemerintah bersikap transparan tentang besaran harga PCR di Indonesia.
(ameera/arrahmah.com)