JAKARTA (Arrahmah.com) – Isu politik dinasti mencuat terakhir ini lewat Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah. Hal ini mendorong banyak kalangan melihat politik dinasti yang dibangun elit politik lainnya. Meski dinasti Ratu Atut dibangun melalui kejawaraan ayahnya, Tubagus Hasan Shohib yang wafat beberapa tahun lalu, “hasilnya” bisa dilihat masyarakat.
Terbukti pada 200 sertifikat tanah di berbagai lokasi top dan 11 mobil mewah yang tersimpan di garasi di jalan Denpasar Kuningan rumah Tubagus Chaery Wardhana, adik Atut yang kini menjadi tersangka korupsi. Bahkan tersebarnya kekayaan Ratu Atut di beberapa tempat, termasuk di Bandung
Sementara itu korupsi kolusi dan nepotisme dapat dipatahkan oleh sikap jujur dari seorang Muslim. Hal ini dikemukakan oleh pengamat ekonomi politik Ichsanudin Noorsy.
“Pada saat ajaran Islam datang, kolusi dan nepotisme dipatahkan oleh kejujuran, sikap baik atas keinginan menegakkan ajaran, keterampilan, kecerdasan, dan perilaku tegas dan tangguh terhadap musuh. Jadi, walaupun seorang anak memperoleh keuntungan dan menjadi kaya karena berbisnis, namun jika dilakukan dengan cara yang tidak baik, maka keuntungan atau kekayaan itu wajib dikembalikan kepada masyarakat,” tulis Noorsy di Tribunews Rabu (16/10/2013).
Keteladan dari para Khalifah juga menjadi pioner dalam menegakkan hukum-hukum positif dan adab. Ichsan menyebut, “Itulah yang terjadi antara Umar bin Khattab dengan anaknya. Sebagai khalifah, Umar bin Khattab memerintahkan anaknya mengembalikan keuntungan yang diraih anaknya dari perniagaan hanya disebabkan pembeli mengetahui bahwa penjual adalah anak khalifah walau sang anak tidak menyebutkan siapa dirinya,” tambahnya.
Kritik Barat
Pada saat bersamaan Ichsanuddin juga mengkritik peradaban Barat yang sekuler, serakah akan materi lagi penuh dengan ketidakjujuran.
“Di peradaban Barat, yang lebih diutamakan adalah kekuatan, kecerdasan dan keterampilan. Ini disebabkan hampir semua model berpikir gaya Barat dengan individualismenya menyisakan masalah informasi asimetri demi memenuhi hasrat serakah akan materi. Dalam kajian epistemologi spiritualisme, informasi asimetri dekat sekali dengan ketidak jujuran.”
Kemudian dia menyebut bahwa peradaban Barat yang gagal dalam menata hubungan sosial ekonomi politik masyarakat.
“Hingga kini model Barat gagal mengatasi korupsi, terutama dalam konteks ketidak jujuran dan keserakahan. Demikian juga dengan peradaban lain karena kata kuncinya terletak pada kejujuran, kebersahajaan dan keteguhan hati memegang janji serta keteduhan hati berperilaku,” tulis Noorsy.
Di akhir tulisannya dia mengkritik demokrasi yang jelas gagal dari awal, dari sejak penggagasnya dalam bahasa Ichsanuddin. Yang tersisa tinggal kemunafikan.
“Maka demokrasi yang menjanjikan kesetaraan, kesamaan, dan keseimbangan kekuasaan berdasarkan jumlah suara terbanyak tak akan terpenuhi karena memang sudah gagal sejak dari penggagasnya sendiri. Itulah kemunafikan tertinggi, mengingkari nilai-nilai yang dijanjikannya sendiri. Kita sedang menuju ke sana, kemunafikan dalam berbagai tingkatan,” pungkasnya.
(azmuttaqin/arrahmah.com)