JAKARTA (Arrahmah.com) – Krisis finansial global dapat disebabkan oleh empat sebab, yakni ekonomi, politik sosial, perang, dan alam. Krisis seperti ini diperkirakan masih akan berlangsung lama. Bagi Bangsa Indonesia, tak hanya bergulat melawan krisis, kita juga menghadapi momentum krusial Pemilihan Umum (Pemilu).
Tapi masalah seperti krisis itu ada yang lebih mengkhawatirkan, yakni upaya Indonesia ke arah politik yang lebih “islami’ dalam kurun waktu 5 sampai 25 tahun mendatang. Itulah salah satu kekhawatiran pakar asing dari Northwestern University, Prof. Jeffrey A. Winters , dalam acara diskusi beberapa waktu lalu (22/4) dengan tema: “Krisis dan Pemilu: Upaya Mencari Jalan Keluar”, bertempat di Gedung Yustinus, Unika Atma Jaya, Jakarta.
Acara yang diselenggarakan Centre for Creative Economic Studies, Universitas Kristen Atma Jaya itu selain menghadirkan Prof. Jeffrey A. Winters, juga menghadirkan Dr. A.Prasetyantoko dari Centre for Creative Economic Studies Universitas Atma Jaya, dengan fokus ”Krisis finansial dalam perspektif ekonomi heterodoks”.
Secara umum Jeffrey menyebutkan, mentalitas bangsa Indonesia masih berpegang erat pada mentalitas 7 persen, yang merasa puas apabila tingkat GDP yang diperoleh dapat mencapai angka 7 persen. Padahal, menurut ia, angka 7 persen tersebut hanya cukup untuk mempertahankan status quo dan masih kurang untuk dapat memberikan ruang bagi upaya pertumbuhan dan perkembangan, yang setidaknya baru dapat dicapai apabila pemerintah berani menetapkan “double digit growth (DDG)” sebesar 10 persen.
Lebih lanjut diuraikannya, jika Indonesia masih mempertahankan mentalitas 7 persen, maka permanent poverty di Indonesia akan menjadi mimpi buruk yang menjadi kenyataan di bangsa ini.
Dilihat dari situasi politik di Indonesia yang saat ini tengah disibukkan oleh pemilu, baik legislatif maupun pilpres, Jeffrey berpendapat bahwa faktor uang dinilai masih merupakan faktor penting, dibandingkan aliansi dalam pemilu saat ini.
Winter menilai, perlu ada suatu gerakan bersama yang kuat untuk dapat menghadapi masalah. Menurut ia, gerakan saat ini yang jelas terlihat, dan bahkan mampu masuk ke grassroot, dalam upaya mencoba menjawab masalah yang ada di Indonesia, lebih bernuansa “islami”.
“Jika gerakan tersebut berhasil, maka justru akan mengancam pluralisme di Indonesia,” ujarnya.
Winters menuduh, ada yang ingin membuat Indonesia menjadi “negara Islam”. Fenomena inilah yang saat ini tengah terjadi di Indonesia.
Ia mengatakan bahwa dirinya mengatakan hal tersebut bukan mendasarkan pada pandangan agama, tetapi lebih kepada pluralisme, mengingat Indonesia merupakan negara majemuk.
Indonesia merupakan satu dari tiga negara di dunia, seperti India dan Amerika Serikat yang bereksperimen dengan pluralisme, baik dari agama, suku, dan budayanya. Terdapat masyarakat yang berbeda dalam satu negara. Pertanyaannya adalah, apakah masyarakat yang berbeda tersebut dapat tinggal bersama dalam satu negara.
Dalam akhir penuturannya, Winters menilai, Indonesia merupakan negara yang memiliki pengalaman yang hebat dalam hal kemajemukan penduduknya, dan berharap agar Indonesia dapat mempertahankan pluralisme yang ada di negara ini. (Althaf/hidayatullah/arrahmah.com)