(Arrahmah.com) – Pekan lalu, CBS News dan New York Times menyatakan dalam sebuah survei gabungan bahwa 69 % warga Amerika Serikat (AS) menentang perang di Afghanistan, dan dalam beberapa bulan terakhir, kemarahan terhadap perang ini meningkat dengan cepat.
Sebelumnya, seorang pejabat militer AS kolonel Denial Davis telah menulis dalam artikelnya bahwa para pejabat Amerika menipu kedua bangsa dan kongres mereka mengenai perang Afghan. Dia mengatakan, “kenyataan lapangan tidak seperti yang digambarkan oleh para Jenderal Pentagon kepada para anggota Kongres dan Senator dan ini telah sangat merusak gengsi Amerika di seluruh dunia.”
Dia adalah pejabat Pentagon, yang telah menjabat di militer Amerika selama 17 tahun, mengatakan bahwa dia telah dikirim ke Afghanistan empat kali selama tugas militer dan telah melakukan perjalanan sepanjang 15000 km. Dia mengatakan bahwa setelah perjalanan dan pengalaman panjang di Afghanistan, dia telah mencapai kesimpulan bahwa perang Afghan tidak dapat dimenangkan dan dia tidak mengerti berapa lama lagi perang ini akan berlangsung, yang belum ada akhirnya.
Demikian pula beberapa bulan lalu, dalam sebuah analisis Intelijen Nasional Amerika, yang terdiri dari 100 halaman, yang mengakui bahwa perang Afghan adalah jalan buntu.
Semua dari mereka (musuh) berpikir bahwa perjuangan militer Amerika tengah berada dalam kesia-siaan di Afghanistan dan tidak memiliki hasil yang bermanfaat. Alasan yang diungkapkan mereka bahwa Amerika tidak dapat mendirikan sebuah pemerintahan yang sukses di Kabul tidak juga militer yang kuat. Pemerintahan Kabul sangat terlibat dalam korupsi dan manajemen puncaknya secara langsung terlibat dalam penyelundupan atau memiliki hubungan rahasia dengan para penyelundup. Anehnya, para pembuat keputusan Amerika mengalihkan mata buta mereka kepada realita yang terjadi ini dengan tampil dalam persnya sendiri.
Hari-hari sebelumnya, Sekretaris Pertahanan AS Leon Panetta mengatakan bahwa perang ini dilancarkan atas dasar strategi daripada berdasarkan opini publik. Disisi lain, mereka menyebut diri mereka sendiri dengan sangat memalukan, juara Demokrasi itu menyatakan bahwa “Demokrasi adalah Pemerintahan dari Rakyat, Untuk Rakyat dan oleh Rakyat”.
Tetapi ketika 69 persen rakyatnya mengatakan bahwa “Kami tidak menginginkan perang di Afghanistan”, mereka melupakan Demokrasi (yang mereka katakan) dan mengatakan bahwa opini publik tidak dapat memutuskan kebijakan perang. Para penerima manfaatnya (dari perang Afghan –red) hanyalah segelintir kecil dari kalangan investor, kontraktor, produsen senjata dan organisasi intelijen. Kenyataannya, para penjajah Amerika telah kehilangan gengsi internasional mereka dengan menginvasi Afghansitan dan masyarakat dunia telah menyadari bahwa ada perbedaan banyak sekali antara kata-kata dan perbuatan.
Kami sekali lagi menyeru kepada para pembuat keputusan di Gedung Putih dan Pentagon bahwa perang Afghan (yang mereka lancarkan –red) adalah perang yang tanpa tujuan bahkan sejak dari awal. Sekarang, masyarakat internasional dan rakyat kalian sendiri telah menyadari bahwa perang ini dilancarkan untuk tujuan kolonialisme dan tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut “TERORISME”.
Orang-orang yang berperang melawan kalian, adalah orang-orang yang berjuang dan berkorban untuk sebuah tujuah yang sah. Mereka memiliki hak untuk menikmati hidup berdasarkan keyakinan mereka sendiri, budaya dan tradisi yang dimiliki oleh bangsa-bangsa merdeka lainnya. Oleh karena itu, sebelum kehilangan militer, ekonomi, dan reputasi politik kalian di masyarakat internasional. Sebaiknya kalian meninggalkan tanah Afghan ini untuk rakyat Afghan sendiri dan menyingkir dari kuburan para kerajaan dunia ini.
Imarah Islam Afghanistan
(siraaj/arrahmah.com)