GAZA (Arrahmah.id) – Mahkamah Agung “Israel” menolak petisi yang diajukan oleh media internasional untuk mengizinkan jurnalisnya memasuki Gaza, dan pengadilan tersebut mengutip alasan keamanan, sementara Asosiasi Pers Yerusalem menyatakan kekecewaannya.
Pengadilan menilai kondisi keamanan membenarkan pembatasan yang diberlakukan karena masuknya jurnalis secara independen dapat “membahayakan” tentara “Israel” yang memerangi perlawanan Palestina, yang dipimpin oleh Brigade Al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas).
Keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan pada Senin (8/1/2024) menyatakan bahwa mengizinkan jurnalis memasuki Gaza dapat mengakibatkan terungkapnya rincian operasi, termasuk lokasi pasukan dan anggotanya, dengan cara yang dapat “membuat mereka menghadapi bahaya nyata.”
Namun Asosiasi Pers Asing di Yerusalem, yang mengajukan petisi karena mewakili puluhan organisasi media internasional di “Israel” dan wilayah Palestina yang diduduki, menyatakan kekecewaannya atas keputusan tersebut.
Dikatakan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Selasa (9/1), “Larangan yang diberlakukan oleh “Israel” terhadap masuknya pers asing independen ke Gaza, selama jangka waktu 95 hari terus menerus, belum pernah terjadi sebelumnya.”
Dalam keputusannya, pengadilan mengatakan pihaknya berupaya menemukan keseimbangan antara keselamatan jurnalis dan tentara dan “kebebasan pers.”
Pengadilan menekankan bahwa jurnalis asing dan “Israel” diberi akses terbatas ke Gaza di bawah penjagaan tentara “Israel”.
Namun, asosiasi tersebut mengatakan bahwa penjagaan militer “terbatas pada media asing tertentu” dan mereka “dikenakan sensor ketat.”
Asosiasi tersebut menganggap bahwa kekhawatiran “Israel” mengenai pemberitaan lokasi pasukan tidak meyakinkan karena jurnalis Palestina terus bekerja di Gaza, dan menekankan bahwa pers asing harus diizinkan memasuki wilayah di Gaza di mana pasukan “Israel” tidak dikerahkan.
Sejak pecahnya agresi “Israel” di Gaza tiga bulan lalu, puluhan profesional media telah terbunuh, kebanyakan dari mereka adalah warga Palestina, menurut Komite Perlindungan Jurnalis yang berkantor pusat di New York.
Pada Ahad (7/1), Al Jazeera mengumumkan kematian dua jurnalisnya yang bekerja di Jalur Gaza dalam serangan “Israel” terhadap mobil yang mereka tumpangi. Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB pada Senin (8/1) menyatakan insiden ini merupakan “kejadian luar biasa” dan khawatir tentang jumlah korban yang bisa saja bertambah.
Pengeboman “Israel” di Jalur Gaza, disertai dengan serangan darat yang dimulai pada 27 Oktober, menyebabkan kematian lebih dari 23.000 orang dan melukai sekitar 60.000 lainnya, yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, menurut statistik terbaru dari Gaza. Kementerian Kesehatan pemerintah di Gaza. (zarahamala/arrahmah.id)