WINA (Arrahmah.conm) – Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECtHR) memutuskan pada Kamis (25/10/2018) bahwa hukuman kriminal dan denda terhadap seorang wanita Austria atas pernyataannya yang menuduh Nabi Muhammad pedofilia tidak melanggar haknya atas kebebasan berbicara.
Keputusan yang dikeluarkan oleh panel yang terdiri dari tujuh hakim tersebut datang saat seorang warga Austria yang diidentifikasi sebagai E.S. telah menghina Nabi Muhammad dalam sebuah seminar tentang Islam pada tahun 2008 dan 2009 yang diadakan oleh Freedom Party.
Dalam seminar tersebut, dia membahas perkawinan nabi dengan istrinya Aisya, yang saat itu masih di bawah umur, dan menyamakannya dengan seorang pedofil.
Pengadilan Austria menghukumnya karena dinilai menghina ajaran agama pada tahun 2011 dan mendendanya sebesar 480 euro (548 dolar). Hukuman itu juga diperkuat oleh dua pengadilan tinggi.
Namun E.S. melanjutkan kasus itu ke Pengadilan HAM Eropa.
ECtHR yang berbasis di Strasbourg, Prancis itu menyatakan bahwa pengadilan telah menemukan bahwa “pernyataan pemohon telah cenderung membangkitkan kemarahan yang dibenarkan dalam umat Islam” dan “sama dengan mengeneralisasi tanpa dasar faktual”.
ECtHR juga mengatakan bahwa komentar wanita itu tidak bisa ditutupi dengan dalih kebebasan berekspresi.
Pengadilan itu mengungkapkan, pihaknya secara khusus menemukan bahwa pengadilan domestik secara komprehensif menilai konteks yang lebih luas dari pernyataan pemohon dan dengan hati-hati menyeimbangkan antara haknya untuk kebebasan berekspresi dengan hak orang lain untuk dilindungi perasaan keagamaan mereka, serta untuk menjaga kedamaian agama yang ada di Austria.
Pengadilan Austria telah membuat perbedaan antara pedofilia dan pernikahan anak, yang juga merupakan praktik umum secara historis di keluarga penguasa Eropa.
ECtHR juga menekankan bahwa pihaknya telah mengklasifikasikan pernyataan E.S sebagai serangan kasar terhadap Nabinya orang Islam, yang mampu memicu prasangka dan mengancam perdamaian agama.
Menurut ECtHR, Keyakinan agama harus bisa menerima kritik dan penolakan, tetapi ketika pernyataan tentang agama melampaui penolakan kritis dan cenderung memicu intoleransi agama, negara dapat mengambil tindakan pembatasan yang proporsional.
Austria, sebuah negara dengan 8,8 juta orang, memiliki sekitar 600.000 penduduk Muslim. Akhir-akhir ini, Austria telah muncul sebagai negara yang paling banyak terjadi Islamophobia dibandingkan negara-negara Eropa lainnya.
Pemerintah koalisi yang berkuasa – yang merupakan aliansi konservatif dan ekstrim kanan – tak lama setelah krisis migrasi Eropa berjanji untuk mencegah masuknya pendatang dan membatasi santunan bagi imigran baru dan pengungsi.
Pada bulan April, Kanselir sayap kanan Austria Sebastian Kurz mengancam akan menutup salah satu masjid terbesar di Wina dan mendesak pemerintah kota itu untuk lebih ketat mengenai subsidi negara bagi organisasi Muslim di kota itu.
(ameera/arrahmah.com)