STRASBOURG (Arrahmah.com) – Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) pada Kamis (20/2/2020) mendesak Bulgaria untuk menahan diri dari memulangkan warga Uighur kembali ke Tiongkok, dengan mengatakan bahwa hal itu akan menempatkan mereka pada risiko penganiayaan dan merupakan pelanggaran terhadap kewajibannya sebagai anggota Uni Eropa.
Memulangkan secara paksa warga Uighur ke Cina, atau mengirim mereka ke negara ketiga yang tidak dapat menjamin mereka sebagai tempat tinggal yang aman, akan melanggar hak mereka untuk hidup dan menempatkan mereka dalam risiko penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat bertentangan dengan Pasal 2 dan 3 Konvensi UE tentang Hak Asasi Manusia, ungkap pengadilan, yang berbasis di Strasbourg, Perancis, dalam keputusannya.
ECHR mengutip keluhan dari warga Uighur bahwa jika mereka kembali ke Tiongkok mereka akan menghadapi “penganiayaan, perlakuan buruk, dan penahanan sewenang-wenang serta kemungkinan eksekusi”.
Otoritas di Daerah Otonomi Xinjiang Uyghur Tiongkok barat laut (XUAR) diyakini telah menahan sekitar 1,8 juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di jaringan kamp penampungan yang luas sejak April 2017.
Sementara Beijing awalnya menyangkal keberadaan kamp-kamp itu, Cina tahun lalu mengubah taktik dan mulai menggambarkan fasilitas sebagai “sekolah asrama” yang menyediakan pelatihan kejuruan bagi warga Uighur, mencegah radikalisasi, dan membantu melindungi negara dari terorisme.
Tetapi pelaporan oleh kantor berita RFA dan media lainnya menunjukkan bahwa mereka yang berada di kamp ditahan atas kehendak pihak berwenang dan menjadi sasaran indoktrinasi politik. Para tahanan juga secara rutin menghadapi perlakuan kasar di tangan pengawas, dan menjalani kehidupan yang buruk serta kondisi yang tidak higienis di kamp yang penuh sesak.
Putusan Uni Eropa pada Kamis (20/2) ditujukan untuk lima orang pencari suaka dari Uighur yang melarikan diri dari Xinjiang ke Turki antara tahun 2013 dan 2015, dan pindah ke Bulgaria pada Juli 2017, di mana mereka mengajukan permohonan suaka tetapi ditolak oleh Badan Pengungsi Amerika dalam keputusan yang ditegakkan oleh Pengadilan Administratif Haskovo pada Januari 2018.
ECHR mencatat dalam putusannya bahwa kelompok pengasingan Kongres Uighur Dunia (WUC) dan Yayasan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Internasional Uighur, serta kelompok hak asasi yang berbasis di London Amnesty International dan beberapa anggota Parlemen Eropa, telah meminta Bulgaria untuk tidak mengusir mereka saat kasus mereka masih dalam proses peninjauan.
Dua dari lima pencari suaka telah meninggalkan Bulgaria, dan putusan pada Kamis (20/2) tidak berlaku untuk mereka.
Berbicara kepada kantor berita RFA pada Kamis (20/2), Presiden WUC Dolkun Isa menyambut keputusan ECHR dengn gembira, ia mencatat bahwa ia telah bertemu dengan para pencari suaka pada Februari tahun lalu dan bertemu dengan kuasa hukum setempat yang bekerja untuk membantu mereka.
“Kami khawatir tentang potensi deportasi mereka ke Cina, tetapi sekarang saya cukup senang mengetahui bahwa ECHR membuat keputusan terakhirnya yang melarang Bulgaria mendeportasi mereka,” katanya.
“Ini adalah keputusan yang benar oleh pengadilan independen di Eropa, yang menetapkan bahwa warga Uighur yang dikirim kembali ke Tiongkok akan menghadapi penganiayaan. Keputusan ini adalah kemenangan bagi rakyat Uighur,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)