WINA (Arrahmah.com) – Pengadilan Konstitusional Austria pada Jumat(11/12/2020) membatalkan undang-undang yang melarang penggunaan jilbab di sekolah dasar, dengan mengatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional dan diskriminatif.
Dilansir Daily Sabah, pengadilan dalam pernyataannya mengatakan, “Undang-undang tersebut melanggar perinsip kesetaraan yang berkaitan dengan kebebasan beragama, berkeyakinan dan hati nurani.”
Undang-undang tersebut melarang anak di bawah 10 tahun mengenakan jilbab, dan telah ditantang oleh dua orang anak beserta orang tua mereka.
Undang-undang itu disahkan pada Mei 2019 oleh koalisi dari Partai Rakyat kanan-tengah (OeVP) dan Partai Kebebasan sayap kanan (FPOe), di mana beberapa hari kemudian pemerintahan mereka runtuh akibat skandal korupsi.
Kedua partai tersebut juga telah membuat retorika anti-imigrasi dan peringatan terhadap “masyarakat paralel” sebagai bagian penting dari pesan politik mereka, dengan juru bicara mereka menjelaskan bahwa undang-undang tersebut dibuat untuk menargetkan jilbab.
Untuk menghindari tuduhan diskriminasi, dalam undang-undang tersebut tertulis, “Melarang pakaian yang dipengaruhi ideologis atau agama yang dikaitkan dengan penutup kepala.”
Meskipun dalam teks undang-undang tersebut mereka berusaha menggunakan bahasa yang halus, namun pihak pengadilan mengatakan bahwa undang-undang tersebut hanya dapat dipahami sebagai pelarangan terhadap penutup kepala (jilbab) yang dikenakan wanita Muslim.
Pemerintah OeVp-FpOe sendiri telah mengatakan bahwa penutup kepala patka, yang dikenakan anak laki-laki beragama Sikh, atau kippah yang dikenakan oleh anak laki-laki beragama Yahudi tidak dilarang.
Dalam pernyataannya, pengadilan juga mengatakan bahwa larangan itu bisa mengarah pada diskriminasi karena beresiko mempersulit remaja Muslimah untuk mendapatkan pendidikan dan secara sosial dapat mengucilkan mereka.
IGGOe, badan yang secara resmi diakui mewakili komunitas Muslim di negara itu, menyambut baik putusan pengadilan tersebut dan mengatakan bahwa pengadilan telah mengakhiri “larangan politik dalam kerakyatan”.
Presiden IGGOe, Ümit Vural, mengatakan, ” Kami tidak akan memaafkan siapapun yang meremehkan wanita yang memutuskan untuk tidak memakai jilbab, tetapi kami juga tidak setuju dengan pembatasan kebebasan Muslimah yang meyakini bahwa jilbab merupakan bagian integral dari praktik keagamaan yang mereka jalani.”
IGGOe mengatakan saat undang-undang tersebut disahkan, bahwa dalam kasus apapun hanya sejumlah kecil anak perempuan yang akan terpengaruh. (rafa/arrahmah.com)