Semakin banyak orang Somalia yang kehilangan kepercayaan pada proses peradilan yang lambat di negara itu dan akhirnya membawa pengaduan mereka ke kelompok bersenjata.
Pada akhir Desember 2021, Halima (nama samaran) naik minibus dari terminal bus Zoobe di ibu kota Somalia, Mogadishu ke Ugunji, sebuah desa pertanian di luar kota yang dikendalikan oleh Asy Syabaab.
Tujuannya adalah mencari keadilan dari kelompok bersenjata tersebut setelah sebidang tanahnya diklaim oleh orang lain yang dilaporkan telah memalsukan dokumen untuk membantu kasusnya.
Sesampainya di sana setelah perjalanan dua jam yang melelahkan, Halima memesan kamar di hotel yang terbuat dari lumpur dan kayu. Setelah sarapan keesokan paginya, dia pergi ke sebuah rumah di tengah desa tempat kelompok itu mengadakan pengadilan, secara harfiah.
“Saya mengajukan litigasi melalui seorang pria yang memakai penutup kepala dengan memberikan semua dokumen untuk mendukung kasus saya, baik berupa kesaksian maupun kontak responden,” kata wanita berusia 50 tahun ini kepada Al Jazeera.
Setelah empat hari di pengadilan, kasus tersebut dimenangkan olehnya dan terdakwa menerima putusan tersebut sepenuhnya. Ini adalah pembenaran bagi Halima yang beralih ke kelompok bersenjata setelah kehilangan kepercayaan pada kemampuan lembaga peradilan negara karena “korupsi dan pilih kasih”, katanya.
Di antara orang Somalia, ada kepercayaan luas bahwa pemerintah federal dan regional telah gagal dalam menegakkan keadilan. Pengadilan regional Banadir di ibu kota yang memiliki yurisdiksi untuk menangani sengketa tanah, bukanlah pilihan bagi banyak orang, kata Aweys Sheikh Abdullahi, salah satu hakimnya antara 2016-2018.
“Orang-orang lebih memilih sistem Asy Syabaab untuk menghindari proses panjang yang bisa memakan waktu bertahun-tahun tanpa kepastian, backlog akibat kurangnya hakim yang cukup di pengadilan dan biaya hukum yang mahal adalah beberapa faktor yang saya saksikan membuat orang putus asa,” katanya kepada Al Jazeera.
Terkadang, menuntut satu kasus membutuhkan biaya lebih dari $5.000, imbuhnya.
Somalia terus-menerus berada di peringkat terbawah atau mendekati, Indeks Persepsi Korupsi Transparency International sejak 2006 dan hal ini telah mempengaruhi peradilan negara itu, kata penduduk dan beberapa pakar. Ada klaim bahwa hakim memanipulasi hukum demi mereka yang memiliki koneksi dalam struktur klan di negara itu.
Maka tidak heran, bahwa kelompok bersenjata telah masuk untuk mengisi kesenjangan ini.
Sebuah landasan moral yang tinggi
Asy Syabaab dibentuk pada 2006 untuk menggulingkan rezim Somalia dan menggantinya dengan penerapan hukum syariah Islam.
Selama bertahun-tahun, mereka telah menjalankan pengadilannya sendiri, terutama melayani penduduk di daerah yang dikuasainya. Tidak ada data pasti tentang jumlah orang yang terus mencari keadilan dari Asy Syabaab tetapi mereka diyakini berjumlah ribuan.
Dalam beberapa tahun terakhir, lebih banyak warga yang beralih ke pengadilan kelompok ini, termasuk mereka yang tinggal di daerah yang dikuasai pemerintah, karena kecepatannya dalam menangani kasus dan memberikan putusan, biasanya tanpa advokat untuk mewakili salah satu pihak.
Bahkan kadang-kadang membalikkan keputusan pengadilan resmi, menurut laporan lokal.
Sebuah laporan Juni 2022 oleh organisasi think-tank International Crisis Group mengungkapkan bahwa pengaruh Asy Syabaab berasal dari landasan moral tinggi yang mereka usung.
“Ada persepsi bahwa mereka tidak korup dan memberikan kedudukan yang sama kepada semua orang di hadapan hukum dibanding pengadilan pemerintah,” Omar Mahmood, peneliti senior di ICG yang menulis laporan itu, mengatakan kepada Al Jazeera.
Dalam kasus Halima, dia tidak bisa mendaftarkan pengaduannya ke pihak berwenang karena dia berasal dari klan kecil, tidak seperti tergugat.
“Tergugat mendapat dukungan dari klannya yang kuat dan dapat mempengaruhi lembaga-lembaga itu,” katanya. Dia direkomendasikan untuk membawa masalahnya ke Asy Syabaab oleh seseorang di ibu kota yang pernah berperkara seperti dia.
“Saya pikir Asy Syabaab telah berinvestasi secara signifikan dalam mengembangkan sistem peradilannya, seperti yang terlihat bahwa ini adalah kebutuhan kritis di Somalia, tetapi juga salah satu yang berguna untuk ambisi mereka,” kata Mahmood dari ICG.
Pengadilan paralel juga mendapatkan momentum karena sifat lemah lembaga negara setelah putusan dijatuhkan, kata Abdirahman Turyare, mantan direktur Badan Intelijen dan Keamanan Nasional Somalia.
“Mereka yang kalah di pengadilan terkadang berpaling kepada mereka, tetapi salah satu tantangan paling membuat frustrasi yang dihadapi sistem peradilan adalah kurangnya penegakan hukum,” katanya kepada Al Jazeera.
Bagaimana sistem peradilan paralel bekerja
Kelompok ini mengadakan sidang pengadilan di daerah yang dikuasainya di Somalia selatan dan tengah dan memiliki pengadilan keliling di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh pemerintah. Sidang hanya dihadiri oleh pelapor, terdakwa, saksi dan pemohon lain yang hadir pada saat sidang.
Beberapa dari mereka yang datang kepada Asy Syabaab dan berbicara kepada Al Jazeera secara anonim mengatakan bahwa mereka tidak membayar biaya untuk mengajukan kasus, kelompok tersebut biasanya menghasilkan pendapatan dari zakat mal yang diberikan oleh pemilik bisnis dan properti.
Menurut laporan-laporan ini, kasus-kasus didengar dan ditentukan oleh dua hingga tiga anggota kelompok yang mempelajari argumen kedua belah pihak, bukti yang diajukan, dan pernyataan saksi. Anggota Asy Syabaab kemudian memberikan putusan berdasarkan pemahaman mereka tentang hukum Islam.
Hukuman berkisar dari beberapa ratus cambukan tongkat untuk perzinahan, hingga hukuman mati dalam kasus-kasus seperti pembunuhan. Dalam kasus dimana penggugat atau tergugat tidak puas dengan keputusan yang dibuat, mereka memiliki hak untuk mengajukan banding.
Bahkan mereka yang berada di diaspora Somalia kini beralih ke kelompok tersebut.
Pada akhir 2019, Mohamed (bukan nama sebenarnya), melakukan perjalanan dari Swedia untuk mengajukan kasus di Mogadishu atas properti yang diwarisi dari keluarganya yang diperebutkan oleh beberapa kerabatnya.
Dia menarik kasusnya dari pengadilan regional di Mogadishu dan memilih untuk mengajukannya di sistem peradilan Asy Syabaab di desa Tortorow di wilayah Shabelle Bawah.
“Saya melakukannya ketika menyadari bahwa tergugat menyuap dan mempengaruhi hakim untuk memenangkan kasusnya,” kata pria berusia 30 tahun itu kepada Al Jazeera. “Kasus ini berlangsung selama lebih dari enam bulan, setelah menghabiskan waktu dan sumber daya, saya datang kepada Asy Syabaab. Terdakwa dipanggil untuk hadir dan setelah dia setuju, kasus itu diselesaikan hanya dalam waktu 18 hari.”
Mohamed mengatakan dia telah bertemu ratusan orang yang tengah mengantri untuk mengajukan kasus mereka di desa yang sama.
Tidak ada yurisdiksi
Pada bulan Agustus, tidak lama setelah presiden baru dilantik, menteri dalam negeri baru, Ahmed Moalim Fiqi mengatakan pihak berwenang bertekad untuk menutup pengadilan Asy Syabaab di daerah Shabelle Bawah dan Mogadishu dalam dua tahun ke depan.
Menteri Kehakiman, Hassan Ma’lim mengakui bahwa sistem peradilan negara itu telah menyimpang akan tetapi kelompok bersenjata itu tidak memiliki otoritas sebagaimana klaim mereka.
“Saya tidak akan mengomentari kasus tertentu, tapi bisa kami katakan bahwa Asy Syabaab mengambil keuntungan dari kelemahan perang saudara di negara ini,” kata Ma’lim kepada Al Jazeera. “Mereka tidak memiliki yurisdiksi untuk melakukan pekerjaan administratif seperti itu, tetapi sebaliknya mereka harus bertanggung jawab atas kekejaman yang telah mereka lakukan. Mereka menggunakan ketakutan, intimidasi, propaganda, dan pemerasan.”
Ma’lim mengatakan pemerintah sedang melaksanakan reformasi peradilan untuk mengatasi beberapa masalah, termasuk mendirikan unit polisi khusus untuk peradilan guna menegakkan semua putusan pengadilan.
Tetapi tidak ada tanda-tanda akan segera membaik, kata para ahli.
“Mereka sedang berupaya meningkatkan kualitas peradilan pemerintah, tetapi sepertinya berjalan lambat,” kata Mahmood dari ICG. “Saat ini, Asy Syabaab memiliki lebih banyak kepercayaan ketika menangani berbagai jenis kasus dan akan membutuhkan waktu untuk membalikkannya.”
Hal itu benar bagi Halima, Mohamed dan banyak rekan senegaranya yang menganggap pengadilan Asy Syabaab adalah intervensi yang disambut baik di negara yang mencari stabilitas yang ironisnya dari kelompok yang lebih dikenal dengan gerakan bersenjatanya. (zarahamala/arrahmah.id)