Oleh: Fazel J. Haitamy
(Arrahmah.com) – Pengantar Redaksi: Salah satu rencana Amerika Serikat mengobrak-abrik dunia Islam tertuang dalam dokumen Rand Corporation, sebuah lembaga yang dibiayai oleh Gedung Putih. Rand Corporation merinci langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menggempur kalangan yang mereka kelompokkan sebagai fundamentalis yakni dengan mendukung kelompok modernis, mendukung kaum tradisionalis dalam menentang kaum fundamentalis, mengkonfrontir dan menentang kaum fundamentalis, dan mendukung kaum sekuler secara selektif. Dokumen Rand Corp menunjukkan, politik adu domba sebagai jalan untuk melemahkan Islam. Politik pecah belah dilaksanakan oleh media massa yang punya link dengan Amerika baik secara langsung maupun tidak. Di sinilah jahatnya media.
Provinsi Aceh yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah sejak turun temurun telah sangat identik dengan peran penting masjid dalam kehidupan masyarakatnya. Pada saat kesultanan Aceh berada di puncak kejayaannya (1590-1636 M), masjid memiliki peran penting dalam membangun peradaban dan tata kelola masyarakat. Para uleebalang, panglima sagoe, kepala mukim, geuchiek, dan para imam senantiasa bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat melalui masjid-masjid yang tersebar di seantero Aceh.
Pada saat Belanda datang untuk menjajah Aceh, masjid kembali memainkan peranan yang amat penting dalam perjuangan bangsa Aceh memerangi Belanda. Masjid menjadi basis dan tempat di mana para pejuang bersama para ulama membahas strategi perang dan hukum-hukum syariat untuk menjadi panduan perjuangan. Di atas mimbar-mimbar masjid, para ulama membakar semangat para pemuda Aceh untuk bangkit berjihad mengusir penjajah Belanda. Itulah mengapa pada 10 April 1873, tatkala Belanda mampu menguasai Kutaraja (Banda Aceh), Belanda langsung membumihanguskan Masjid Raya Baiturrahman yang merupakan simbol perjuangan seluruh masyarakat Islam Aceh.
Namun hari ini, setelah Aceh terbebas dari belenggu penjajahan, masjid-masjid di Aceh berubah menjadi objek musuh-musuh Islam untuk memecah belah persatuan dan ukhuwah Islamiyah yang telah terjaga ketat di Aceh selama berabad-abad lamanya. Bagaimana tidak, agen-agen pemecah belah umat berhasil menghasut masyarakat untuk saling membenci dan memusuhi hanya karena terdapat perbedaan tata laksana ibadah di beberapa masjid yang ada di Aceh. Padahal, perbedaan tata laksana ibadah yang ada di tengah masyarakat merupakan persoalan khilafiyah furu’iyah yang telah berabad-abad lamanya dibahas dalam kitab-kitab fiqih para ulama.
Selama beberapa tahun terakhir, para agen pemecah belah umat telah berhasil menghasut masyarakat awam untuk merebut paksa masjid-masjid yang dituding memilki tata cara pelaksanaan ibadah yang berbeda. Aksi-aksi perebutan sepihak tersebut seringkali diwarnai tindakan anarkis dan perlakuan tak layak atas sesama kaum muslimin. Kata-kata makian, umpatan kasar hingga kekerasan fisik kerap terjadi ketika sekelompok masyarakat yang telah dihasut datang mengepung untuk merebut paksa kepengurusan masjid-masjid tersebut.
Tidak terhitung lagi betapa banyak masjid-masjid yang di mana hamba-hamba Allah senantiasa ruku’, sujud dan berzikir telah ternodai dengan aksi-aksi keji dan zhalim. Betapa banyak ibadah shalat berjama’ah yang terganggu karena aksi penyerbuan, dan betapa banyak khutbah Jum’at yang terhenti karena aksi perebutan. Seakan-akan masjid kini telah berubah menjadi gelanggang pertarungan antar kaum Muslimin!
Baru-baru ini Masjid Al-Izzah di Aceh Utara juga mengalami nasib yang serupa. Hanya karena masjid tersebut dikelola dan dimakmurkan oleh jama’ah shalat yang notabene Sunnah, maka kelompok pemecah belah umat berusaha merebut kepengurusan masjid dengan cara melakukan lobi ke penguasa setempat. Mereka berhasil menunggangi Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib untuk membekukan SK kepengurusan lama untuk diganti dengan pengurus baru. Kesewenang-wenangan Bupati Aceh Utara dengan oknum pemecah belah umat ini lantas sangat meresahkan jama’ah tetap dan masyarakat sekitar masjid Al-Izzah.
Apa yang telah dilakukan oleh Bupati Aceh Utara sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Pengurus masjid Al-Izzah bersama jama’ah jelas menolak keputusan sepihak bupati, namun di sisi lain kelompok perebut masjid juga merasa telah memiliki kuasa dan landasan hukum untuk mengambil alih masjid. Jika ini dibiarkan, maka bentrokan fisik hingga pertumpahan darah sangat mungkin untuk terjadi. Kesucian dan kemuliaan masjid akan ternodai dengan konflik yang sangat sarat kepentingan ini.
Padahal masjid adalah tempat yang dijamin keamanan dan kedamaiannya oleh syariat. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam telah bersabda:
“Barangsiapa yang masuk ke dalam Masjid, maka ia aman (selamat)” (Muttafaqun Alaih)
Masjid adalah milik Allah, maka tidak berhak siapapun dari hambaNya mengklaim hak untuk menguasai suatu masjid:
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah sesuatu apapun di dalamnya di samping (menyembah) Allah” QS. Al-Jin: 18
Aksi propaganda perebutan masjid di Aceh merupakan bentuk nyata usaha musuh Islam untuk melemahkan dan memecah belah umat Islam di Aceh. Kesolidan dan persatuan yang teguh umat Islam di Aceh selama berabad-abad kini terancam hancur akibat hasutan dan provokasi pihak-pihak tak bertanggung jawab. Para pemecah belah umat berusaha menunggangi isu khilafiyah untuk menghasut sebagian masyarakat untuk saling membenci dan memusuhi antar kelompok masyarakat.
Dan lebih menyedihkannya lagi, para penguasa juga kerap ikut terlibat dalam kedhaliman berkedok agama ini. Para penguasa malah ikut turut serta dalam upaya korporasi perebutan masjid dengan cara melegalkan aksi tersebut dengan mencabut SK kepengurusan yang lama dan menetapkan SK yang baru bagi para perebut. Pemerintah yang seharusnya hadir memberikan perlindungan bagi masyarakat kini malah turut serta dalam konflik horizontal yang menindas dan mendhalimi sebagian masyarakat. Bahkan para penguasa kerap memanfaatkan konflik ini dengan membuat deal politik untuk mendulang suara dalam pemilu dengan membela kelompok mayoritas.
Aksi provokasi dan upaya memecah belah umat yang sedang terjadi di Aceh sangat serupa dengan strategi pelemahan kebangkitan umat Islam yang dicanangkan oleh lembaga penelitian Rand Corporation di Amerika. Menurut, laporan Rand Corporation, untuk memerangi kebangkitan Islam, tiga partner potensial Amerika harus bisa digunakan. Mereka adalah kelompok sekuler, kelompok muslim liberal dan kelompok moderat tradisionalis. Kelompok terakhir ini, didefinisikan oleh Rand Corporation sebagai kelompok yang menentang gerakan Salafi dan Wahabi, yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tradisi dan keyakinan kelompok tradisional.
Kelompok tradisional moderat akan dipancing dengan adu domba oleh musuh-musuh Islam, membuat propaganda tentang bahaya kelompok Wahabi dan memunculkan kembali pertentangan soal-soal khilafiyah yang bersifat furu’. Selain itu, juga dengan membuat beragam stigmatisasi, seperti mengampanyekan bahaya “Wahabisasi global”, “ideologi trans-nasional”, dan lain sebagainya. Upaya ini bertujuan untuk membenturkan sesama kaum muslimin untuk melemahkan dan menghentikan kebangkitan umat Islam.
Sudah saatnya umat Islam di Aceh sadar dan berfikir dengan jernih agar tidak terhasut provokasi agen-agen pemecah belah umat. Umat Islam di Aceh telah mampu membuktikan selama berabad-abad lamanya hidup dalam persatuan dan Ukhuwah Islamiyah, walaupun terdapat khilafiyah dalam tata laksana ibadah antara mereka. Umat Islam di Aceh juga sangat solid dalam jihad melawan Belanda, mereka bersatu padu dalam satu barisan dengan rapat walaupun terdapat ikhtifah fiqih di antara mereka. Segala perbedaan dan ikhtilaf yang ada tidak menyurutkan semangat umat Islam di Aceh untuk bersatu padu di masa lalu. Mari kita bangkitkan kembali semangat persatuan ini, agar keutuhan dan kedamaian di tengah umat Islam Aceh kembali terjaga.
Mari bersama kita renungkan firman Allah:
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjidNya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat” (QS. AL-Baqarah: 114)
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa upaya merusak dan mengganggu masjid merupakan dosa yang sangat besar dan sangat keji. Pelaku perusakan masjid dianggap sebagai orang paling zhalim dan paling jahat. Para ulama telah menjelaskan bahwa kata “perusakan” yang dimaksudkan dalam ayat diatas adalah; merobohkan, dan melarang atau menghalangi manusia untuk melaksanakan ibadah di dalamnya.
Wallahu a’lam bis shawab.
(*/arrahmah.com)