JAKARTA (Arrahmah.com) – Peneliti “terorisme” Mustofa B. Nahrawardaya berpendapat ada upaya terstruktur agar kelompok Islam terus menerus digebuki dengan mengambil alasan isu proyek terorisme dan radikalisme.
“Terorisme dan radikalisme dijadikan akses dan alasan untuk mencapainya. Seolah hanya terorisme dan radikalisme yang menjadi biang kerusakan bangsa ini. Seolah hanya kelompok Islam yang harus menanggung akibat dari rusaknya bangsa ini. Jika kondisi seperti ini terus menerus berlangsung, jelas berpotensi melahirkan pendendam baru. Bahkan melahirkan radikalis baru dan ujung-ujungnya akan melahirkan teroris baru,” jelasnya secara tertulis kepada para wartawan Sabtu (25/4/2015).
Kata Mustofa, belum sembuh rasa sakit kelompok Islam atas perlakuan brutal BNPT dan Kominfo yang memblokir media Islam online tanpa kompromi dan tanpa aturan, kini giliran Densus melakukan tindakan keji terhadap Ustadz Basri hanya karena dituduh punya bendera “mirip” bendera yang sering digunakan ISIS. Kini Ustadz Basri hilang.
“Memperlakukan ulama yang belum jelas duduk persoalannya bagaikan hewan. Hanya berdasar dugaan, lalu menindak ulama tanpa pertimbangan.
Jika cara seperti ini tidak bisa dikurangi, imbuh Mustofa, maka wacana pemberantasan terorisme jelas percuma. “Bukannya teroris berkurang, tapi justru akan menambah jumlah,” ujarnya.
Selain itu, ada kesan juga dalam beberapa tahun terakhir muncul phobia pemerintah terhadap hal-hal berbau Arab. Terbukti, kata dia, tindakan-tindakan liar terhadap apapun yang berbau Arab, selama ini dilakukan dengan perencanaan dan kesengajaan.
“Penyitaan Al Qur’an dan buku tafsir Al Qur’an serta buku agama Islam dengan alibi barang bukti terorisme, bukan lagi hal tabu. Pendzaliman terhadap Ulama dan pesantren juga sudah biasa terjadi,” katanya.
Kata Mustofa, pada saat bersamaan perusakan moral secara struktural dilakukan oleh pihak swasta. Ide lokalisasi miras, perjudian dan pelacuran, bahkan justru digagas oleh Kepala Daerah.
“Ada kesan, degradasi moral dan pembungkaman terhadap kelompok penjaga moral seperti pesantren justru dijadikan agenda terselubung. Terbukti, gerakan berbasis liberal, maupun kelompok-kelompok yang dianggap mengganggu masyarakat mayoritas dan pesantren, baik itu apa yang menamakan dirinya Islam liberal, atau Syiah, tidak pernah sekalipun ditindak,” urai aktivis Muhammadiyah ini.
Ketidakseimbangan Pemerintah dalam menindak mereka, terang Mustofa, akhirnya memunculkan banyak dugaan miring.
Dia mengkhawatirkan fenomena ini. Di satu sisi pemerintah ingin memberantas terorisme dan radikalisme, namun di sisi lain justru menumbuhkan bibitnya.
“Akhirnya, nanti ada yang menyimpulkan bahwa pemberantasan terorisme, ternyata omong kosong belaka,” pungkasnya. (azmuttaqin/arrahmah.com)