“Kami seperti akar dari sebuah pohon. Kaum Zionis itu bisa saja menebang kami, namun kami tidak akan pernah mati. Kami tidak akan pernah pindah dari Yerusalem. Saya tidak akan meninggalkan rumah ini,” kata Maher Hanun dalam sebuah ruangan yang disesaki warga Palestina itu.
Hanun adalah seorang di antara 51 orang penduduk Syekh Jarrah di Yerusalem Timur yang menghuni dua unit perumahan dan terancam mengalami pengusiran oleh pemerintah keji Israel.
Suasana menegang sewaktu lebih dari 25 orang individu berduyun-duyun memasuki ruangan kecil di rumah Hanun untuk merencanakan bagaimana caranya berjuang melawan pengusiran Israel terhadap mereka. Penduduk Palestina, yang diorganisir oleh Komite Syekh Jarrah, mengundang para aktivis solidaritas Palestina untuk datang dan mendukung perjuangan mereka.
Beberapa organisasi internasional dari lebih dari 10 negara duduk di kursi dan di lantai sewaktu Hanun menceritakan kisahnya kepada mereka. Setelah Hanun menyelesaikan ceritanya, organisasi-organisasi itu membagi diri mereka sendiri ke dalam beberapa kelompok untuk menghadang dan membuat barikade di kedua unit perumahan yang diancam. Sedangkan para penduduk dan beberapa aktivis tetap tinggal dan bertahan di dalam rumah ketika polisi Israel tiba untuk melakukan pengusiran.
Orang-orang yang tinggal di unit perumahan milik keluarga al-Ghawe dan Hanun ini, akan disingkirkan secara paksa dari rumah mereka minggu-minggu ini. Pihak pengadilan Israel telah melegalkan pengusiran ini dengan dalih bahwa tanah tempat perumahan itu berdiri adalah tanah sengketa.
Sebetulnya perumahan tersebut dibangun di bawah proyek kerjasama konstruksi antara UNRWA dan pemerintah Yordania tahun 1956, 11 bulan sebelum Israel menduduki Yerusalem timur. Perumahan tersebut kemudian diberikan kepada keluarga al-Ghawe dan Hanun yang merupakan pengungsi tahun 1948 setelah sebelumnya orang-orang Palestina itu diusir dari tempat tinggal mereka yang disita Israel. Mereka menyebut bencana itu dengan istilah Nakba atau katastropi.
Sekarang keluarga-keluarga ini kembali diancam dengan Nakba serupa. Penduduk Israel yang pindah ke Syekh Jarrah telah memalsukan dokumen kepemilikan tanah. Keluarga Hanun dan al-Ghawe telah mengajukan dokumen sah mereka, namun hakim Israel tidak mengakui keabsahan surat-surat ini. Yang terjadi justru disahkannya pengusiran terhadap mereka dari tempat tinggal mereka sendiri seperti yang pernah mereka alami pada tahun 1948.
Baik keluarga Hanun maupun al-Ghawe pernah diusir secara paksa satu kali pada 2002, setelah itu mereka terpaksa tinggal di tenda selama empat bulan tanpa diizinkan sedikitpun menengok rumah mereka. Pengalaman traumatis ini sangat mempengaruhi kehidupan anak-anak dalam keluarga mereka. Sewaktu anak-anak mereka menghadapi pengusiran untu kedua kalinya, penderitaan dan kecemasannya semakin terlihat. Para anggota keluarga menghabiskan banyak malam dengan kondisi terjaga karena khawatir para polisi Zionis itu datang. Para perempuan di dalam keluarga al-Ghawe sering tiba-tiba menghitung kembali jumlah anak-anak mereka, karena mereka teringat pada pengusiran pertama, anak-anak kecil dilemparkan oleh para Zionis biadab itu dari jendela lantai dua.
Anggota Komite Syekh Jarrah memandang perjuangan mereka melawan pengusiran dari Zionis Israel sebagai bagian dari perjuangan yang lebih besar melawan pencabutan hak-hak penduduk Palestina terhadap Yerusalem Timur. Para pengungsi Palestina di Silwan, Beit Hanina dan Shufat pun hal yang sama dan bahkan lebih berat. Mereka harus menghadapi pembongkaran rumah dan pengusiran besar-besaran oleh Israel yang tidak tahu diri. Di wilayah al-Bustaan yang berdekatan dengan wilayah Silwan, 88 rumah disegel untuk pembongkaran. Penduduk Al-Bustaan telah mendirikan tenda protes seperti yang dilakukan di Syekh Jarrah. Dan sepertinya, model perlawanan semacam ini semakin menjalar di beberapa titik di Palestina yang dijadikan target pendudukan Israel.
Hingga saat ini, para keluarga dan aktivis menunggu kedatangan polisi Zionis tiap malamnya. Mereka membuat jadwal jaga secara bergantian. Beberapa anggota keluarga malah sudah ada yang telah memindahkan semua perabotan yang mereka miliki sebagai antisipasi adanya penyerangan, sehingga mereka hanya tidur di atas lantai.
Pesan mereka sudah begitu jelas: mereka tidak akan mau menyerah begitu saja menghadapi ketidakadilan yang mereka temui di tanah mereka sendiri, tanah suci milik umat Islam. (Althaf/arrahmah.com)