Seorang pengemudi taksi di AS dan seorang pekerja paruh waktu di toko roti di Inggris. Kini mereka kembali ke tanah air mereka, Somalia untuk berperang melawan “musuh-musuh Allah”.
“Hei brother, ada apa? ujar Abu Muslim, berbicara dalam bahasa Inggris sehari-hari di telepon dengan lawan bicaranya, Abu Dujanah.
Keduanya sama-sama dilatih di Selatan Lower Jubba untuk menjadi bagian dari kelompok Al-Shabab, sebuah kelompok jihad yang terhubung dengan Al-Qaeda dan bertekad mengusir tentara asing di Somalia juga menurunkan tahta presiden munafik Somalia.
Mereka menjadi satu bagian dan tumbuh bersama sebagai tentara Allah yang kini kembali ke Somalia untuk bertempur melawan musuh-musuh Allah.
Abu Muslim, dia meninggalkan pekerjaannya di sebuah universitas dan bekerja sebagai pekerja paruh waktu di sebuah toko roti di Inggris.
“Aku tidak datang ke sini untuk mencari-cari kebahagiaan (dunia), sebenarnya aku dipersiapkan untuk mati demi keyakinanku,” ujarnya seperti yang dilansir AFP selama wawancara di Mogadishu.
Seorang yang sporty, berjanggut tidak terlalu tebal, menggunakan kacamata tipis dan sorban putih. Ia katakan kembali ke Somalia pada akhir 2006 untuk memerangi tentara pendudukan Ethiopia dan menyatakan kekagumannya kepada Usamah bin Ladin.
“Aku tidak percaya bahwa negeri-negeri lain telah memasukkannya ke dalam daftar orang yang paling dicari. Dia adalah seorang Muslim pemberani pada abad ini dan mereka menggunakan namanya untuk membenarkan invasi-invasi yang mereka lakukan,” ujar tentara berumur 28 tahun ini.
Dia masih memiliki kartu-kartu kredit di dalam dompetnya namun ia lebih menyukai kehidupan barunya sebagai seorang pejuang, tidur bersama-sama saudara muslim lainnya dengan memegang senjata di sepanjang pantai-pantai Somalia.
Sebuah video terbaru yang disebarkan di internet memperlihatkan seorang kulit putih asli Amerika, Abu Mansur al-Amriki yang menghimbau seluruh saudara-saudara muslimnya dimanapun mereka berada untuk datang dan hidup sebagai mujahid.
“Banyak orang berfikir akan menghadapi sebuah proses yang sulit datang ke Somalia untuk berjihad namun sebenarnya sangat sederhana karena banyak para pemuda dari berbagai negeri telah tiba baru-baru ini,” ujar temannya, Abu Dujanah, berkata kepada AFP melalui telepon dari Selatan Somalia.
“Aku telah berada di Somalia selama satu setengah tahun dan bertempur dengan musuh-musuh Allah,” ujar Muhammad, mujahid berusia 23 tahun dalam bahasa Inggris.
Abu Dujanah meninggalkan Somalia pada tahun 1994, tiga tahun setelah memulai peperangan melawan Presiden Mohammed Siad Barre. Bersama keluarganya ia tinggal di AS.
Ia masuk ke sekolah menengah namun gagal memasuki universitas.
“Aku dulu terbiasa pergi ke tempat-tempat hiburan bersama teman-temanku, kehidupan di AS penuh dengan kesenangan, tetapi itu bukanlah gaya hidup islami,” kenangnya.
Di bawah tekanan keluarga untuk mengubah cara hidup dan mendapatkan pekerjaan, ia menjadi seorang supir taksi namun ia segera tersadar dan menjadi seorang mujahid yang menyakiti hati AS di Irak dan Afghanistan.
“Aku tidak bisa lagi berdiam diri dengan apa yang menimpa saudara-saudaraku di sana…dan aku bertekad untuk membantu mereka walau banyak sekali perbatasan yang harus aku sebrangi,” lanjutnya.
“Mimpiku menjadi kenyataan setelah bergabung dengan para mujahidin di tanah kelahiranku,” ia berujar bahagia.
Abu Dujanah mengatakan, mungkin suatu hari ia akan kembali ke AS untuk menemui orangtuanya, namun sebenarnya ia tidak terlalu merindukan rumah, terlalu banyak kegembiraan yang ia dapatkan dalam jihad di Somalia.
“Kami tidak berasal dari satu tempat yang sama, di sini banyak sekali pemuda seperti aku, dari Amerika dan negara lainnya di Eropa yang bergabung dalam perang untuk memerangi musuh-musuh Allah dan aku berharap akan banyak lagi gelombang bantuan yang segera tiba.” (haninmazaya/arrahmah.com)