Oleh : Ummu Ghiyas Faris*
Pemerintah dan DPR dalam sidang paripurnanya akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) menjad UU PT meski sejumlah pasal masih menuai kontroversi. Banyak kalangan yang menolak keras RUU PT ini disahkan, mulai dari mahasiswa, Perguruan tinggi negeri dan swasta, hingga akademisi. Bukti penolakan ini terlihat jelas dari sejumlah pihak yang dengan tegas langsung menyatakan segera mengajukan permohonan undang-undang atau Judical review kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Draf RUU PT yang disahkan terdiri dari 12 bab dan 100 pasal dengan pokok pengaturan substansi penting, seperti ketentuan umum, dasar, asas, fungsi, dan tujuan pendidikan tinggi. Selain itu draf tersebut juga membuat penyelenggaraan pendidikan tinggi, kerjasama internasional, penjaminan mutu, otonomi perguruan tinggi, serta pendanaan dan pembiayaan pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia demi peradaban manusia. Secara pragmatis ekonomis, pendidikan tinggi akan mengembangkan masyarakat terdidik, terampil, berbudaya, untuk daya saing bangsa. Wakil Ketua Komisi X DPR Syamsul Bachri mengungkapkan pada Okezone (13 Juli 2012), terdapat beberapa pokok-pokok pikiran DPR dalam pembentukan UU PT. Pertama, UUD 45 pasal 31 yang mengamanatkan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional (sisdiknas).
UU PT kepentingan untuk siapa ?
Kebijakan UU PT ini menuai kontroversi dalam berbagai hal, di antaranya :
Pertama, penyelenggaran otonomi perguruan tinggi, sejumlah kalangan menilai konsep otonomi perguruan tinggi yang diatur dalam UU PT berpotensi melahirkan komersialisasi pendidikan. Setiap perguruan tinggi terutama Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diberi keleluasaan mematok plafon biaya pendidikan. Artinya, biaya masuk di lembaga tersebut boleh ditetapkan sesuka hati, implikasinya sangat serius karena biaya pendidikan yang sejauh ini sudah dikeluhkan mahal, tidak menutup kemungkinan akan bertambah mahal. Bayangkan jika mahasiswa yang berada dari kalangan yang tingkat ekonominya menengah ke bawah, akan sulit menikmati pendidikan hanya karena biaya pendidikan yang mahal. Akhirnya akan berujung pada si kaya dan si miskin. Hanya si kaya yang tingkat ekonominya mampu yang bisa menikmati pendidikan.
Menurut Komnas Pendidikan kepada Tempo (Rabu,11 Juli 2012), penyelenggaraan otonomi masih mengusung semangat privatisasi dan masih ada kastanisasi penggolongan perguruan tinggi, Komnas Pendidikan juga menilai masih terdapat aturan yang mengadopsi badan hukum pendidikan.
Kedua, masalah Internasionalisasi, berlakunya UU PT ini menjadi tanda bagi perguruan tinggi asing untuk beroperasi secara resmi di negeri ini. Meskipun tidak mudah dan tentunya ada persyaratan yang harus dipenuhi, yakni akreditasi dari negeri asal dan kewajiban bekerjasama dengan lembaga pendidikan di dalam negeri, tetap saja semua itu tidak mampu memupus kehawatiran bahwa kehadiran kampus asing itu akan mengancam eksistensi Perguruan Tinggi domestik. Belum lagi kurikulum yang diterapkan, dikhawatirkan sebagai upaya sekulerisasi-liberalisasi besar-besaran melalui pendidikan resmi.
Internasionalisasi ini bisa saja terjadi seperti UU Migas, akan ada alih teknologi (metode) pendidikan tapi akhirnya pihak asing malah mencengkram. Mahasiswa kita malah menjadi kuli terdidik.
Ada apa dengan pendidikan kini ?
Melihat luas dan kerasnya reaksi dari berbagai kalangan tentang penolakan UU PT, ini menunjukkan betapa Kemendikbud dan DPR sangat tidak sensitif terhadap aspirasi publik. Isu tentang otonomi yang di protes publik pada UU PT itu sudah digugat masyarakat ketika aturan itu masih tercantum dalam Undang-Undang Badan Hukum pendidikan (BHP).
Publik ketika itu pun menolak konsep otonomi yang sama dan mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan itu dikabulkan dan UU BHP dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 31 Maret 2010. Sungguh tidak masuk akal bagaimana mungkin konsep yang sudah dibatalkan MK dimasukkan kembali oleh pemerintah dan disepakati DPR menjadi UU PT yang baru.
Banyaknya judicial review yang diajukan publik di bidang pendidikan juga menunjukkan ketidakpedulian pemerintah, khususnya Kementrian dan Kebudayaan (Kemendikbud). Misalnya soal ujian nasional (UN) MK sudah memerintahkan pemerintah untuk menghentikkan pelaksanaan UN, tetapi pemerintah tidak peduli. UN tetap jalan terus. Wajar kekhawatiran ada, bisa jadi hal yang sama juga akan terjadi terkait dengan soal rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) yang tengah menunggu putusan MK atas judical review yang diajukan beberapa elemen masyarakat.
Kini UU PT telah disahkan, suka atau tidak semua pihak harus menerima implikasi atas pemberlakuan UU tersebut sampai kemudian MK memutuskan lain. Begitulah jika negara dikelola dengan cara-cara kapitalis. Dunia pendidikan pun makin liberal dan komersil. Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) ini adalah penegasan atau cap stempel penguatan liberalisasi di bidang pendidikan melalui perundang-undangan.
Syariah Islam solusinya
Melihat kondisi dunia pendidikan yang seperti ini, seharusnya negara tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan hanya untuk segolongan tertentu. Karena itu banyak pihak yang beranggapan, sudah selayaknya pemerintah bertanggung jawab atas biaya dan fasilitas pendidikan, setidaknya ini mencegah terjadinya privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi sehingga calon mahasiswa dari keluarga yang tidak mampu/miskin tidak menjadi terpinggirkan.
Wahai kaum muslimin, apakah sistem pendidikan sekuler yang rusak dan bobrok saat ini akan terus kita pertahankan? Apakah sistem pendidikan akan terus di lestarikan, sementara faktanya yang terjadi tidak sedikitpun berpihak pada masyarakat? hanya golongan orang-orang tertentu yang bisa mngenyam pendidikan bermutu.
Pendidikan berdasarkan Syariah Islam adalah solusi satu-satunya. Jangan dipikir bahwa dengan mempelajari Islam atau pendidikan sesuai Syariah Islam akan membuat kita bodoh teknologi. Sejarah membuktikan, bahwa kaum Muslimin adalah orang-orang yang pertama pandai atau melek teknologi/sains sebelum orang-orang kafir Barat, banyak ilmuwan Islam yang menjadi penemu dalam hal sains dan teknologi, hanya saja kemudian Barat mengklaim mereka yang lebih dahulu menemukannya.
Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan segala aspek kehidupan, maka seharusnya Al-Qur’an menjadi dasar utama dalam pendidikan, kemudian As-Sunnah. Buktinya saja banyak ahli sains yang kemudian masuk Islam setelah mengetahui kebenaran dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Marilah kita bergegas membangun sistem pendidikan Islam, Dunia pendidikan yang sarat masalah saat ini hanya bisa dituntaskan dengan meninggalkan sistem kapitalis sekuler dan menerapkan syariah Islam secara total. Hanya dengan penerapan Syariah Islam secara total kesejahteraan pendidikan akan kita raih bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak ada lagi kesenjangan sosial si kaya dan si miskin dalam mengenyam pendidikan. Dalam pandangan Islam, proyek kapitalisasi pendidikan jelas bermasalah. Dikotomi antara si kaya dan si miskin dalam pendidikan sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah SAW pernah bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
(mencari ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim” (HR Ibnu Majjah).
Berdasarkan hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, bukan hanya bagi orang yang memiliki harta melimpah saja. Wallâhu a’lam bish-shawâb.
————————————————————
*Penulis: Henny (Ummu Ghiyas Faris ), email: [email protected], [email protected], website: www.ummughiyas.blogspot.com
(arrahmah.com)