Oleh: Rina Yulistina
Meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi merupakan cita-cita hampir seluruh pemuda/pemudi Indonesia, orang tua akan berjuang demi masa depan anaknya, terlihat senyum bangga ketika anaknya mengenakan toga tanda telah berhasil menamatkan jenjang pendidikannya.
Namun cita-cita tersebut tak semuanya berjalan mulus, sangat banyak siswa yang tak melanjutkan ke perguruan tinggi, berdasarkan data dari Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Dan Moderasi Beragama, Kemenko PMK Prof Dr R Agus Sartono, MBA mengatakan, setiap tahun ada sekitar 3,7 juta pelajar lulus SMA, MA dan SMK. Namun tak semua pelajar lulusan setingkat SMA tersebut bisa meneruskan ke bangku kuliah. Dari data Kemenko PMK hanya sebanyak 1,8 juta lulusan SMA bisa meneruskan kuliah ke perguruam tinggi (detik.com, 29/06/2021). Hal ini diakibatkan biaya pendidikan yang mencekik dan kondisi keluarga yang tak memungkinkan, mereka lebih memilih untuk bekerja dan menunda atau bahkan mengubur cita-citanya.
Bukan menjadi rahasia umum lagi jika biaya kuliah di negeri ini masih sangat mahal, biaya UKT dan SPI bisa menembus belasan hingga puluhan juta, belum lagi jika di universitas dan jurusan favorit bisa tembus hingga ratusan juta . Maka slogan orang miskin dilarang sekolah memang benar adanya. Berbagai bantuan pendidikan yang dilayangkan oleh pemerintah berupa beasiswa Bidik Misi, Kartu Indonesia Pintar nyatanya tak mampu untuk menjaring semua masyarakat miskin.
Mahalnya biaya kuliah sejatinya akan menjadi bumerang negara kita, apalagi Indonesia sedang mengalami bonus demografi dimana jumlah pemuda/pemudi jauh lebih banyak, seharusnya kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memberikan pendidikan gratis yang berkualitas agar negara kita mampu bersaing dikancah revolusi industri 4.0, hasil IPM ditahun 2020 yang seharusnya menjadi pembelajaran dimana Indonesia berada diposisi ke 107 dari 189 negara tertinggal jauh dari negara tetangga Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand (cnbcindonesia.com, 16/12/2020).
Biaya Kuliah Selangit Dampak Liberalisasi Pendidikan
“Jika ingin pendidikan berkualitas maka harus meronggoh kocek yang dalam” slogan yang menjadi pembenaran dan pemakluman kuliah mahal itu gak papa, wajar kok.
Konsultan Pendidikan dan Karier Ina Liem menyampaikan, hal senada “Sejak sebelum pandemi, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang didorong untuk berbadan hukum supaya bisa menerima dana dari masyarakat, agar bisa lebih berkembang,” ujar Ina saat dihubungi Kompas.com, Selasa (21/7/2020).
Bisa kita runut sejak tahun 2000 melalui kebijakam BHMN pembiayaan kampus bukan lagi menjadi tanggungjawab negara, berdasarkan UU PT tahun 2012, pembiayaan PT adalah tanggungjawab masyarakat, industri, dan negara. Untuk mengafdolkan kebijakan tersrbut di tahun 2016 BHMN berganti baju dengam nafas yang sama menjadi PTN BH merupakan Perguruan Tinggi Negeri yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai badan hukum publik otonomi. Itu artinya negara bukan lagi menjadi garda terdepan dalam pembiayaan kampus, dengan seperti itu otonomi kampus menjadi kuncinya. Kampus dipaksa untuk sekreatif mungkin mencari dana secara mandiri melalui masyarakat dan industri dengan cara mematok biaya kuliah semahal mungkin, membuka banyak jalur masuk, dan membuka prodi prodi baru.
Selain itu Indonesia juga menandatangani perjanjian internasional General Agreement on Trade In Service (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, akuntan, pendidikan dan jasa lainnya. Perpaduan yang sangat pas PTN BH bertemu dengan GATS, menghasilkan kurikulum PT yang berbasis pada keuntungam materi, sebelumnya diterpakan Kurikulum Berbasis Ekonomi (KBE), berubah lagi menjadi kurikulum merdeka belajar. Perubahan kurikulum adalah salah satu konsekuensi dimana pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan industri, sebaliknya industri dengan bebasnya bisa memasukan kurikulum pesanan sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Pada akhirnya pendidikan bukan lagi untuk menimba ilmu agar output yang dihasilkan sebagai seorang ahli dalam bidangnya, namun pendidikan dijadikan output yang siap memenuhi permintaan industri.
Proses yang panjang akhirnya disahkan oleh pemerintah dalam bentuk UKT (Uang Kuliah Tunggal) sebagai pengganti SPP. Sekilas UKT sangat ramah dikantong, wali murid mahasiswa tak perlu pusing memikirkan biaya kuliah karena biaya kuliah sudah disesuaikan dengan gaji masing-masing orangtua wali. Tapi teorinya tak seindah kenyataan di lapangan, orangtua wali sangat banyak yang mengeluhkan kebijakan ini, UKT memiliki konsep biaya silang dimana orang yang kaya mau tidak mau harus masuk UKT golongan 3-6, golongan yang dianggab kaya ini bukan hanya menanggung beban UKT golongan 1-2 yang kurang mampu, namun juga harus menanggung biaya gedung, biaya pengembangan pendidikan, biaya laboratorium dan biaya lainnya. Inilah kesenkuensi yang harus diambil ketika pendidikan bukan lagi menjadi tanggungjawab negara.
Pendidikan mahal dan kurikulum yang materialistik mengakibatkan output yang dihasilkan tak jauh beda yaitu intelektual yang individualis materialistik, ilmu yang didapat hanya semata-mata untuk meraih pundi-pundi uang dan jabatan. Ketika terjun ke tengah-tengah masyarakat solusi-solusi yang diberikan hanya ala kadarnya, prakmatis dan menguntungkan pemilik modal.
Pendidikan di dalam Islam
Islam sangat mengagungkan ilmu, di dalam Hadist Rasulullah SAW menyatakan bahwa:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)
Sejarah Islam menoreh tinta emas dalam ilmu pengetahuan seperti pada masa kekhilafahan Abbasiyah, Islam menjadi mecusuar peradaban, peletak dasar ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita pun tak asing dengan nama Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Ibnu Khaldun, Imam Al Ghozali dan sebagainya. Tak ketinggalan Universitas Islam tertua di dunia yang hingga kini masih aktif seperti Universitas Al-Mustansiriyah yang berdiri di kota Baghdad, Irak. Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ada juga Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko.
Tak cukup disitu saja, penulis barat Lane-Poole memggambarkan Cordoba, Spanyol dibawah kekuasaan Islam yaitu Khalifah Abdurrahman III di masa Khilafah Umayyah sebagai the wonders of the world yaitu sebagai the greatest centre of learning di Eropa ketika negara-negara Eropa lainnya diselimuti masa kegelapan atau the drak age. Cordoba bagai bunga yang menebar harum di Eropa pada abad pertengahan. Khalifah bukan hanya mendirikan sekolah, dan perpustakaan saja namun juga mendirikan Universitas Cordoba dimana mahasiswanya berasal dari berbagai negara dengan latar belakang agama yang bermacam-macam. Masyarakat kurang mampu pun dapat menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya dengan biaya gratis.
Diatas hanya sekelumit gambaran tentang luar biasanya keseriusan Islam dalam dunia pendidikan karena pendidikan merupakan jantung peradaban. Pendidikan dan peradaban dua hal yang tak bisa dipisahkan. Maka Islam sangat melarang adanya pelepasan tanggungjawab negara terhadap pendidikan mulai dari pembiayaan hingga kurikulum. Sistem pendidikan harus ditopang dengan sistem yang lain seperti ekonomi dan politik. Pembiayaan pendidikam di dalam Islam dibiayai penuh oleh Baitul Mal dimana sumber utamanya berasal dari SDA bukan hutamg dan pajang. Alokasi dana pendidikan menjadi prioritas bagi negara, mulai dari dana pendidikam sekolah PAUD hingga PT, perpustakaan, laboratorium, penelitian dan sebagainya. Semua itu harus gratia ditanggung negara tanpa melibatkan masyarakat apalagi industri. Pendidikan gratis diperuntukan untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu muslim atau nonmuslim, kaya maupun miskin semua punya hak yang sama.
Untuk kurikulum Islam juga mengatur, Islam melarang kurikulum dibisniskan,disesuaikan dengan kepentingan pasar dan industri. Dengan tegas kurikulum di dalam Islam harus berbasis aqidah Islam, sehingga output yang dihasilakan selain ahli dalam keilmuan, sekaligus mempunyai ketakwaan yang tinggi terhadapa Allah SWT. Ketika mereka terjun ketengah-tengah masyarakat mereka akan mengamalkan ilmunya sebagai bekal di akhirat.