Oleh Rina Nurawani
Pendidik Sekolah Madania, Parung Bogor
(Arrahmah.com) – Kampanye untuk mencegah pernikahan muda terus dilakukan oleh berbagai pihak. Para remaja muda Indonesia didorong untuk tidak melakukan pernikahan di bawah 16 tahun dengan alasan apapun. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal baru baru ini mengatakan bahwa institusinya bekerja sama dengan Eagle Institute menyelenggarakan Eagle Junior Documentary Camp. Kegiatan itu adalah berupa kompetisi pembuatan film dokumenter untuk remaja usia 15 tahun sampai 19 tahun dengan tema Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).Kompetisi film itu, adalah ajakan agar remaja tidak menikah pada usia dini, baik karena kebiasaan budaya daerah maupun akibat punya anak sebelum nikah. Senada dengan Fasli Jalal, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin juga sepakat dengan permintaan perubahan batas usia pernikahan lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Menag menilai, kematangan usia pasangan akan lebih menjamin kedewasaan dalam menjalani hubungan berkeluarga.
Kemudian, Direktur Institut Kapal Perempuan Misiyah, saat menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 7 ayat 1 dan 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanmengatakan bahwa negaradiminta untuk tidak mengizinkan perempuan berusia 16 tahun menikah. Pelarangan tersebut harus dilakukan demi terpenuhinya hak kaum perempuan atas pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945. Karena itu Ketua Dewan Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin pun menilai bahwa aturan batas minimal usia menikah itu melanggar konstitusi sehingga memang harus dibawa ke MK.
Yang kemudian menjadi pertanyaannya adalah apakah UU nomor 1 tahun 1974 itu memang harus direfisidan harus ditinjau ulang? Mengapa? Apakah PUP ini merupakan solusi dari permasalahan yang dihadapi masyarakat kita?
Gugatan usia perkawinan dalam UU perkawinan
Ada tiga provinsi dengan angka tertinggi untuk pernikahan di bawah umur. Pertama, Kalimantan selatan, yakni 53,71 persen. Kedua, Jawa Timur pada angka 52,8 persen. Terakhir, Jawa Barat sebanyak 52,26 persen.
Yang menjadi alasan dari gugatan usia perkawinan dalam UU Perkawinan ini adalah kenyataan bahwa pernikahan dibawah 16 tahun itu sarat akan masalah. Dari aspek sosial, banyak orang tua menikahkan anak perempuannya sebagai jalan agar mereka lepas dari tanggung jawab memberi nafkah. Untuk mereka yang berstrata ekonomi rendah, kemiskinan merupakan alasan utama orang tua bersegera menikahkan anaknya. Alasan kedua yang jumlahnya kian banyak adalah alasan hamil diluar nikah. Dengan alasan ini, orang tua terpaksa menikahkan anaknya untuk menutup malu agar anak yang dilahirkan nanti mempunyai ayah. Tanpa mempertimbangkan apakah calon pengantin sudah mempunyai kesiapan mental, dan spiritual pernikahan itu akhirnya dilakukan.
Setelah pernikahan tersebut, sudah diduga bahwa banyak masalah lain yang kemudian muncul. Pernikahan membuat kedua belah pihak baik laki-laki dan perempuan putus sekolah. Rendahnya pendidikan membuat pasangan muda tersebut tidak mempunyai akses pekerjaan yang layak. Kondisi ekonomi yang buruk mengakibatkan keresahan, stress, bahkan memicu kekerasan di dalam rumah tangga. Sulitnya laki-laki mendapatkan pekerjaan membuat para wanita sibuk pula mencari nafkah. Persoalan lain yang muncul kemudian adalah terabaikannya masalah pengasuhan dan pendidikan anak. Sampai kemudianterdapat dua kemungkinan, yaitu meningkatnya angka kriminalitas, dan meningkatnya angka perceraian.
Dengan alasan seperti di atas,banyak tokoh masyarakat mendukung perubahan batas usia perkawinan dalam UU Perkawinan tersebut. Warga masyarakat dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) mengajukan permohonan uji materi pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No 1/1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa usia minimal perempuan diubah menjadi 18 tahun.Menag Lukman Hakim Saifudin juga menekankan bahwa dirubahnya usia minimal pernikahan disebabkan belum siapnya secara psikologis dan mental calon pengantin sebelum menjalani hubungan rumah tangga. Tokoh agama pun mendukung uji materi ini. Dalam kesaksian di MK, Selasa (18/11), cendikawan Muslim Prof Quraish Shihab mengungkapkan, anak 16 tahun belum cukup menikah karena belum dapat bermusyawarah dengan suaminya. Sedangkan, tuturnya, tujuan menikah dalam Alquran dan sunah nabi adalah lahirnya keluarga sakinah, yakni wujud kerja sama suami dan istri.
Kenyataan sekarang ini memang menunjukan bahwa anak-anak kita tumbuh besar dengan mengabaikanpendewasaan. Dengan kehidupan kapitalis sekular ini anak-anak kita dididik untuk terus memisahkan antara agama dari kehidupan publik. Dengan demikian wajar bila pertumbuhan biologis anak-anak tidak sesuai dengan pertumbuhan mentalnya. Mental seorang muslim yang harusnya berisi tanggung jawab dia dalam beribadah kepada Allah Sang Pencipta menjadi berisi mental seorang hedonis yang menekankan pada aspek fisik dan kesenangan belaka. Sejak kecil anak-anak kita sudah dididik untuk hanya dapat memenuhi kebutuhan jasmaninya, menekankan pada aspek fisik dan kesenangan semata. Ditambah lagi dengan keadaan sosial masyarakat kita dimana jurang pemisah antara si kaya dan si miskin menganga lebar.Kemiskinan mendorongpara orang tua untuk menikahkan anaknya sebagai salah satu jalan melepaskan keluarga dari himpitan ekonomi. Tanpa mempertimbangkan apakah mempelai mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami dan istri, pernikahan usia muda terus berlangsung baik di kota maupun di desa.
Faktor lain yang sangat penting adalah ketidakmampuan pemerintah dalam melihat secara jeli akar masalah dari merebaknya perkawinan dini ini. Dengan demikian, solusi yang ditawarkannya pun hanya bersifat parsial saja. Pemerintah menganggap Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah solusi tuntas untuk mengatasi masalah sosial-ekonomi akibat perkawinan dini ini. Sebagian dari mereka juga masih berfikir bahwa merevisi Undang-Undang tersebut juga berarti melindungi hak hak anak. Padahal merefisi Undang-Undang Perkawinan bukanlah solusi tuntas dari masalah yang kita hadapai. Lalu apa yang menjadi akar masalahnya dan apa solusinya?
Bagaimana Islam memandang pendewasaan usia perkawinan (PUP)
Pernikahan adalah suatu bentuk ibadah yang disakralkan dalam Islam. Pernikahan bukan hanya sekedar legalisasi hubungan seksual semata. Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan (ithmi’nân/thuma’nînah) bagi setiap manusia. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh setiap Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng.
Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (QS ar-Rum [30]: 21).
Di dalam Islam tidak ada penetapan usia minimal pernikahan. Selama tujuan dari pernikahan itu tercapai, tidak ada batasan usia dimana seorang laki-laki dan wanita dapat menikah. Pernikahan juga bukanlah perampasan hak anak. Pernikahan adalah perpindahan perwalian dari seorang ayah kepada seorang suami. Ayah menyerahkan tanggung jawab mengasihi, menafkahi, melindungi, mendidik, dan memenuhi semua hak anak perempuannya kepada laki-laki yang ia percayai mampu memikul tanggung jawab tersebut. Islam membolehkan menikahkan anak yang sudah baligh atau belum baligh tapi sudah tamyiz (sudah bisa menyatakan keinginannya). Seorang anak yang memasuki pernikahan sesuai dengan syariat Islam tetap terpenuhi hak-haknya. Anak yang belum baligh belum dituntut tapi dipersiapkan untuk mampu melaksanakan semua kewajibannya sebagai seorang istri. Sementara yang sudah balighmendapatkan hak sekaligus sudah harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami/istri.
Yang perlu dikritisi dari Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah tidak adanya usaha yang menyeluruh untuk menghindari pengaruh dan efek dari pernikahan dini ini. Tidak ada usaha yang simultan dan komprehensif dari pemerintah dan pihak yang berwewenang seperti misalnya menutup keran perzinahan, memberangus dan memberi sangsi kepada pelaku, pengedar dan penikmat tayangan porno. Tidak adanya upaya hukum yang tegas dan berefek jera bagi penzina dan orang yang terlibat dalam industri zina. Tidak ada upaya pendidikan yang benar tentang tanggung jawab menjadi seorang muslim sejati dengan konsep pahala dan dosa. Tidak ada upaya menghilangkan sistim kapitalis, koorporasi yang merajalela yang menjadi biang semakin menganganya kemiskinan, yang memaksa mereka untuk menikah muda. Tidak ada upaya untuk membuka selebar-lebarnya lapangan kerja agar semua rakyat dapat bekerja.
Secara fakta Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) ini tidak dibarengi dengan upaya-upaya tersebut yang menjadi akar masalahnya. PUP ini bisa dianggap sebagai semata-mata pengendalian jumlah penduduk saja. Program PUP ini dibarengi dengan kampanye penggunaan alat kontrasepsi dalam jangka waktu yang lama sehingga membuat para pemuda terlena yang akhirnya mengabaikan tujuan dari pernikahan itu sendiri. Kampanye ini juga seakan mengajak para pemuda untuk menunda pernikahan, namun tetap membuka keran perzinahan.
Padahal Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan memperbanyak jumlah anak.Islam melarang kita untuk membatasi jumlah anak karena takut kelaparan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita -dengan sabdanya- untuk menikah dan mencari keturunan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu anhu:
“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani.”
Allah -Azza wa Jalla- berfirman saat mengingatkan kepada kita tentang nikmat anak keturunan agar kita mensyukurinya, bukan mengingkarinya,
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepada kalian. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS. An-Israa’ : 31)
Memang benar, kenyataannya secara mental pasangan muda yang menikah di bawah umur belum matang secara moril. Namun merevisi Undang-Undang perkawinan , kemudian melarang dan mengkriminalisasi pernikahan “dibawah umur” bukanlah solusi untuk menghindari akibat yang ditimbulkan dari pernikahan dini tersebut. Kaum muslimin hendaknya waspada dengan kampanye-kampanye penundaan perkawinan dalam upaya pengendalikan jumlah penduduk. Jumlah penduduk muslim yang besar tampaknya menjadi momok menakutkan bagi musuh musuh Islam.
Saatnya kita melihat bahwa akar masalah dari masalah-masalah yang timbul di atas adalah diabaikannya aturan Allah dalam mengatur kehidupan. Saatnya kita menggunakan solusi kehidupan yang komprehensif dan menyeluruh, yaitu dengan syariat Islam. Syariat Islam yang lengkap akan mampu menyentuh seluruh aspek kehidupan baik secara ekonomi, sosial dan budaya yang ditimbulkan dari perkawinan dini tersebut. Islam akan menyentuh setiap persoalan manusia baik secara individu, masyarakat maupun negara. Saatnya kita beralih kepada syariat Islam buatan Sang Pencipta, bukan dengan merefisi Undang-Undang perkawinan buatan manusia. Wallahualam bi shahwab. (*/arrahmah.com)