GAZA (Arrahmah.id) – Bagi keluarga yang membutuhkan di daerah kantong pesisir yang terkepung dan miskin di Jalur Gaza, musim dingin adalah gerbang baru bagi penderitaan mereka yang tak berkesudahan karena mereka kekurangan penghangat dan makanan.
Baru-baru ini, Jalur Gaza dilanda hujan lebat selama berhari-hari dan banjir. Akibatnya, banyak rumah milik keluarga miskin yang terkena dampak negatif cuaca karena puluhan jalan dan dataran rendah tergenang air.
“Situasi seperti itu dapat menghentikan hidup kami sepenuhnya,” Samaher al-Haj Ali, seorang wanita yang bertinggal di Gaza, berbicara kepada The New Arab. “Tidak ada anggota keluarga kami yang bisa keluar rumah dan tidak ada yang bisa tinggal di tempat yang hangat, yang artinya kami harus menghadapi masalah kami sendirian.”
Wanita berusia 42 tahun itu tinggal bersama delapan anggota keluarganya di sebuah rumah kecil yang dibangun dengan dinding besi, yang memiliki banyak lubang yang memungkinkan air hujan masuk.
“Musim dingin tiga bulan menambah beban kami, bukan hanya karena rumah saya ‘tidak sehat’ tetapi juga karena suami saya mungkin kehilangan pekerjaannya di pasar selama hujan lebat,” katanya.
“Kami tidak memiliki sarana yang akan membantu kami melewati musim ini dan otoritas lokal tidak peduli dengan penderitaan kami atau bahkan mencoba membantu kami melindungi rumah kami sebelum hujan tiba dengan memperbaiki tembok kami dan menyediakan makanan untuk anak-anak kami.” tambahnya.
Situasinya tidak lebih baik bagi Mohammed al-Aqqad, yang tinggal di Dir al-Balah, yang mendapati dirinya bersama delapan anggota keluarganya terjebak di tengah banjir akibat hujan dan tidak dapat meninggalkan rumahnya selama berjam-jam.
“Selama lebih dari 15 tahun, kami terpaksa menyaksikan situasi tragis di musim dingin, karena pendudukan “Israel” biasa membuka feri dan saluran air hujan yang jatuh di tanah pedalaman menuju Jalur Gaza,” ujar pria berusia 55 tahun ini kepada TNA.
“Kami hidup dalam bencana nyata di Gaza karena kami harus menantang semua hambatan dan beban hidup sendirian tanpa bantuan dari siapa pun,” tegasnya. “Semua pejabat Palestina, di Gaza dan Tepi Barat, harus memikul tanggung jawab mereka terhadap kami (keluarga yang membutuhkan).”
Al-Aqqad adalah salah satu dari puluhan keluarga yang terkena air yang sangat deras yang menumbangkan rumah mereka dan menyapu semua yang ada di jalan.
Sekitar 64 persen populasi di Gaza berada dalam kemiskinan, dengan 33 persen populasi dalam kemiskinan ekstrim dan 57 persen mengalami kerawanan pangan, menurut statistik resmi yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS).
Sejak 2007, warga Palestina di Gaza mengalami kondisi hidup yang sangat sulit akibat blokade “Israel” di daerah kantong pantai setelah Hamas, yang memenangkan pemilihan legislatif, merebut wilayah itu dari Fatah.
Selain itu, tentara “Israel” melancarkan lima perang skala besar dan sejumlah serangan militer singkat terhadap warga Palestina di Gaza, yang menyebabkan ribuan orang tewas dan menghancurkan ribuan bangunan perumahan, industri, dan pemerintah.
Zuhdi al-Ghuriz, kepala komite darurat pemerintah yang dikelola Hamas di Gaza, mengatakan kepada TNA bahwa “perang “Israel” membuat kantong pantai itu sangat menderita karena kerusakan besar melanda sebagian besar bangunan dan infrastruktur.”
Akibatnya, katanya, pemerintah kota memerlukan mekanisme dan proyek khusus untuk mengimbangi perubahan iklim yang dihadapi seluruh dunia.
“Gaza berada di bawah blokade ketat, yang menyebabkan penghentian proyek infrastruktur yang sejalan dengan pengembangan pengumpulan air hujan dan metode drainase,” jelasnya, menyerukan agar Jalur Gaza segera disuplai dengan peralatan yang diperlukan untuk menghadapi serangan perubahan iklim yang melanda dunia. (zarahamala/arrahmah.id)