Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Beberapa pekan ini ramai diberitakan isu terkait kasus penculikan anak. Maraknya hal tersebut membuat khawatir para orang tua. Pasalnya, para penculik memiliki motif yang kejam, diantaranya: penyimpangan seksual pelaku, tergiur dengan penjualan organ tubuh, dan faktor utamanya yakni dorongan ekonomi.
Pada awal Januari, anak 11 tahun diculik dan dibunuh oleh dua orang remaja di Makassar. Motif mereka dalam melakukan penculikan akibat tergiur besaran uang jual beli ginjal. Beredar juga video seorang anak yang dimasukkan ke dalam karung oleh lelaki tak dikenal. Namun, menurut keterangan polisi video tersebut adalah hoaks.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) pada 2022, angka kasus penculikan anak mencapai 28 kejadian sepanjang tahun tersebut. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 15 kejadian. Menanggapi kasus ini, Putri Aisiyah Rachma Dewi mengatakan ada banyak faktor mengapa anak sering menjadi korban penculikan. Antara lain, anak merupakan kelompok yang rentan karena belum mampu melindungi diri dan menggunakan hak-haknya secara mandiri, juga lemahnya pengawasan orang tua dan dewasa. (tekno.tempo.co, 31 Januari 2023)
Menelisik realitas berkenaan dengan kasus penculikan yang menimpa anak-anak, dapat dikerucutkan bahwa berbagai motif yang menyertainya menjurus pada faktor kemiskinan. Di mana, kejadian di Makassar tergiur imbalan sebesar Rp1,2 milliar dari tawaran jual beli ginjal melalui media sosial. Pelaku menjalankan aksinya dengan mengajak korban yang tengah menjadi juru parkir di depan minimarket. Pelaku berdalih pada korban agar membersihkan rumahnya, dengan iming-iming uang Rp50 ribu.
Ajakan pelaku pun disambut dengan senang. Andaikan saja korban bukan dari keluarga tidak mampu, di usianya yang masih belia tak akan ia menjadi juru parkir. Namun apa hendak dikata, kemiskinan mewarnai hidupnya dan ia terpaksa hidup di jalanan yang rawan tindak kriminal.
Begitu juga dengan kasus penculikan lainnya yang berlatar kebutuhan ekonomi. Jika saja kebutuhan hidup terpenuhi, tak akan ada anak-anak yang menjadi korban kejahatan dan kebiadaban para pelaku yang menghalalkan segala cara. Asalkan tujuan memperoleh keuntungan tercapai, sekalipun merugikan orang lain hal tersebut akan dilakukannya.
Selain faktor kemiskinan, ketakwaan pada Allah yang telah hilang menjadi pemicu tindak kejahatan. Seandainya pelaku beriman dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, mereka tidak akan melakukan cara haram untuk mendapatkannya.
Akan tetapi, bagaimana bisa ketakwaan tumbuh pada diri mereka sedangkan mereka lahir di tengah sistem kehidupan sekuler? Sedari kecil mereka tidak mengenal agama secara utuh, dan jauh dari nilai-nilai Islam yang sempurna. Seperti, bahwa nyawa manusia lebih berharga dari dunia dan isinya, pembunuhan adalah kejahatan paling besar, wajib mencari nafkah dengan cara yang halal, dan lain sebagainya.
Kehidupan Sekuler sungguh telah menghasilkan berbagai tindak kriminal. Sebab, kebebasan tingkah laku merupakan hak yang diusung sistem rusak ini. Masyarakat merasa bebas melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Tak peduli membuat orang lain rugi atau tidak.
Ditambah sekaratnya jaminan keamanan dari negara terhadap masyarakat, termasuk anak-anak di dalamnya. Alih-alih memberikan perlindungan dan menyelesaikan masalah, justru yang ada memicu terjadinya tindak kejahatan. Baik secara langsung atau tidak. Seperti menetapkan sejumlah kebijakan yang nyatanya berbenturan terhadap penyelesaian tindak kriminal, termasuk penculikan anak.
Kebijakan terkait dengan perekonomian rakyat melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja. Misalnya, melegalkan perusahaan untuk mengupah murah pekerjanya bahkan memberhentikannya melalui PHK. Juga kebijakan terkait perlindungan anak. Payung hukum telah ada, hanya saja sanksinya tidak menjerakan. Dalam pasal UU 23/2022 tentang Perlindungan Anak menegaskan, bahwa pelaku penculikan anak diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit 3 tahun. Serta ancaman pidana berupa denda paling banyak Rp300 juta, dan paling sedikit Rp60 juta. Apakah sanksi ini membuat pelaku jera?
Belum lagi fakta di lapangan banyak menunjukkan jual beli hukum. Ketika uang berbicara, maka hukuman bisa diringankan bahkan pelaku bisa dibebaskan. Walhasil, tidak ada tindakan efektif dalam menyelesaikan kasus penculikan. Begitu juga tidak ada tindak pencegahan yang dilakukan negara. Masyarakat begitu mudah mengakses media sosial yang banyak mengajarkan kejahatan dan pornografi, memicu maraknya penculikan, dan pelecehan seksual.
Semua ini dampak diterapkannya sistem Kapitalisme Sekuler. Masyarakat hidup di bawah payung rusak yang menjauhkan agama dari kehidupan. Perlindungan negara terhadap rakyat kian hilang, bahkan terkesan abai. Buktinya, sanksi hukum yang diberikan pada pelaku tidak berdampak, justru yang ada pelaku kejahatan semakin bertambah banyak. Ketika negara abai, maka berbagai keburukan di tengah masyarakat akan terus terjadi.
Dalam Islam, peran negara menjadi sentral. Karena negara berperan sebagai perisai dan pengurus rakyat. Sebagai garda terdepan dalam melindungi, terlebih pada generasi sebab mereka adalah mutiara umat yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Negara akan menjaga mereka dari segala macam mara bahaya. Mereka akan dibina dan dididik dengan pemahaman akidah Islam. Baik di sekolah maupun di rumah.
Peran masyarakat juga akan mampu mencegah terjadinya tindak kejahatan penculikan. Dengan aktifnya kontrol masyarakat, akan membawa suasana aman bagi lingkungan.
Ketika ada tindak kriminal, negara akan memberikan sanksi menjerakan. Termasuk pada pelaku penculikan. Hukumannya adalah takzir, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh khalifah. Hukuman bagi pembunuhan ataupun perusakan tubuh adalah kisas, yakni hukuman balasan yang seimbang bagi pelakunya.
Selain melindungi, negara juga akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Juga menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya. Baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya dipenuhi negara dengan adil dan merata. Sebagaimana sabda Nabi saw.: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, kasus penculikan anak akan selesai dengan menerapkan syariat Islam. Sistem pemerintahan Islam akan bersungguh-sungguh dalam menciptakan kesejahteraan dan kehidupan yang aman tenteram. Tindak kejahatan pun akan minim, bahkan hilang. Masyarakat akan hidup dalam ketenangan.
Wallahua’lam bish shawab.