TEHERAN (Arrahmah.id) — Seorang penasihat senior untuk pemimpin tertinggi Syiah Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengklaim bahwa Iran secara teknis mampu untuk membuat sebuah bom nuklir, namun belum memutuskan apakah akan membuatnya.
Seperti dilansir Reuters (18/7/2022), klaim itu disampaikan oleh Kamal Kharrazi yang merupakan penasihat senior Khamenei kepada televisi Al Jazeera pada Ahad (17/7) waktu setempat.
Kharrazi menyampaikan pernyataannya itu sehari setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengakhiri kunjungan selama empat hari ke Israel dan Arab Saudi, bersumpah untuk mencegah Iran ‘mendapatkan senjata nuklir’.
Pernyataan Kharrazi itu menjadi indikasi langka bahwa Iran mungkin memiliki kepentingan untuk senjata nuklir, yang telah sejak lama disangkalnya.
“Dalam beberapa hari, kami mampu memperkaya uranium hingga 60 persen dan kami bisa dengan mudah memproduksi uranium yang diperkaya 90 persen … Iran memiliki sarana teknis untuk memproduksi sebuah bom nuklir, tapi belum ada keputusan oleh Iran untuk membangunnya,” ucap Kharrazi.
Iran diketahui telah melakukan pengayaan hingga 60 persen, jauh di atas batasan 3,67 persen yang diatur dalam kesepakatan nuklir tahun 2015 antara Teheran dengan negara-negara kekuatan dunia, termasuk AS. Uranium yang diperkaya hingga 90 persen cocok untuk bom nuklir.
Tahun 2018 lalu, mantan Presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan nuklir itu. Merespons keputusan AS, Teheran pun mulai melanggar pembatasan-pembatasan nuklir yang diatur dalam kesepakatan itu.
Tahun lalu, Menteri Intelijen Iran menegaskan bahwa tekanan Barat bisa saja mendorong Teheran untuk memproduksi senjata nuklir, yang pengembangannya dilarang oleh Khamenei dalam fatwa yang dirilis awal tahun 2000-an.
Iran mengatakan pihaknya memperkaya uranium hanya untuk penggunaan energi sipil, dan menyebut pelanggaran yang dilakukannya bisa dibalikkan jika AS mencabut sanksi-sanksi dan kembali bergabung dalam kesepakatan itu.
Garis besar kesepakatan yang dihidupkan kembali pada dasarnya disepakati pada Maret lalu setelah pembicaraan tidak langsung dilakukan oleh Teheran dan pemerintahan Biden di Wina, Austria.
Namun pembicaraan itu terhenti akibat hambatan baru, termasuk tuntutan Iran agar AS menjamin bahwa tidak akan ada Presiden AS yang meninggalkan kesepakatan nuklir itu, seperti yang dilakukan Trump.
Biden menyatakan tidak bisa menjanjikan hal itu, dengan alasan kesepakatan nuklir merupakan pemahaman politik tidak mengikat, bukan perjanjian yang mengikat secara hukum.
“Amerika Serikat belum memberikan jaminan untuk menjaga kesepakatan nuklir dan hal ini merusak kemungkinan untuk perjanjian apapun,” ucap Kharrazi.
Israel yang tidak diakui oleh Iran, telah mengancam akan menyerang lokasi-lokasi nuklir Iran jika diplomasi gagal menahan ambisi nuklir Teheran.
Kharrazi pun menegaskan bahwa Iran tidak akan pernah merundingkan program rudal balistiknya dan kebijakan regionalnya, seperti yang dituntut negara-negara Barat dan sekutu mereka di Timur Tengah.
“Setiap tindakan menargetkan keamanan kami dari negara-negara tetangga akan berhadapan dengan respons langsung pada negara-negara ini dan Israel,” tegasnya. (hanoum/arrahmah.id)