XINJIANG (Arrahmah.com) – Petani Muslim Uighur di selatan Cina wilayah Xinjiang berjuang mencari penghidupan setelah pemerintah anti-Islam itu memberlakukan pelarangan yang mendeskriminasikan etnis Uighur.
Banyak dari keluarga petani Uighur tidak dapat mengolah lahan pertaniannya semnejak penahanan pria Uighur berusia produktif besar-besaran oleh pemerintah komunis itu. Hal itu terjadi pasca insiden di Yarkand, bahkan warga Uighur dilarang meninggalkan kampungnya dan mencari pekerjaan di tempat lain, sebagaimana dikatakan seorang petugas keamanan di Hangdi kepada RFA layanan Uighur, Selasa (18/8/2015).
“Tugas saya adalah menolong para petani, dan kebnayakan dari mereka datang kepada kami dengan berlinang air mata, memohon bantuan dari kami,” ujar petugas itu, dengan syarat anonimitas.
Ia mencontohkan, “Sebuah keluarga dengan anggota 5 orang, termasuk 3 anak-anak.”
“Dan jika ketiga anaknya laki-laki, pasti sudah diciduk oleh aparat, dan itu berarti keluarga tersebut akan kehilangan tenaga yang membantu pertanian mereka.”
“Sehingga keluarga semacam ini akan menemukan banyak kesulitan, karena mereka sudah tua tentu tidak mampu melakukan pekerjaan fisik,” ujarnya.
Kerusuhan 28 Juli 2014 di Yarkand (bahasa Cinanya, Shache) county Xinjiang, merupakan bentrokan terhebat pasca kerusuhan berdarah di ibukota Urumqi di tahun 2009. Saat itu pihak mayoritas Han Cina bentrok dengan bangsa Uighur, sekitar 200 warga tewas, berdasarkan data resmi.
Sementara pemerintah kominis itu mengatakan hanya ada 96 orang yang meninggal di Yarkand. Hitungan itu tidak termasuk hasil pendataan pemimpin Uighur Rebiya Kadeer yang mengatakan bahwa jumlahnya lebih besar dari itu, dan menuduh pemerintah menutupi “pembantaian” Cina Han terhadap warga sipil, Muslimin Uighur.
“Saat ini, terdapat pos penjagaan dimana-mana dan di setiap jalanan,” sumber RFA mengatakan, menambahkan bahwa keluarga-keluarga Uighur mencari pekerjaan di luar daerahnya, tetapi itu juga tidak bisa dilakukan, “karena tidak diperbolehkan bepergian keluar kampung mereka.”
Aparat bersenjata juga sekarang ditugaskan di kota Elishku, sebuah lokasi saksi insiden berdarah tahun lalu.
“Tetapi secara umum, tentara-tentara itu tidak akan keluar berpatroli atau melakukan pemeriksaan keamanan,” ujarnya.
“Pekerjaan itu dilakukan petugas keamanan masyarakat, polisi, dan polisi satuan khusus. Personel kami akan pergi ke Elishku untuk memeriksa, dan personil mereka akan melakukan pemeriksaan di kota kita.”
Pelarangan bepergian
Berbicara secara terpisah, seorang petani di Elishku menonfirmasikan bahwa penduduk lokal telah dilarang bepergian keluar kampunguntuk mencari pekerjaan.
“Kami tidak boleh pergi ke luar kota dan bekerja,” katanya, menambahkan “Jika kami daftar meminta perijinan, mereka tidak akan memberikan ijin.”
“Mereka pikir kami akan menciptakan masalah jika kami keluar dari kota ini,” ujarnya.
Meski Sekjen Partai Komunis Cina dari Xinjiang, Zhang Chunxian, berkunjung ke Elishku, Issikkol, dan Tagharchi pada 6 dan 7 Agustus untuk berbicara dengan pejabat daerah, pemimpin agama, dan para perwakilan petani, tetapi penduduk lokal tidak boleh ada yang mendekat, jelas petani lain di Elishku.
“Kami tidak diijinkan melihatnya,” ujar petani itu.
“Ya, dia berkeliling melihat lokasi insiden itu, tetapi kami para petani tidak diperbolehkan mengungkapkan pendapat kami.”
Xinjiang, rumah dari bangsa Uighur berbahasa Turki, telah mengalami penindasan oleh pemerintah komunis sejak 2012 dan kehilangan ratusan korban jiwa. Sementara pemerintah Cina menyalahkan itu sebagai aksi terorisme dan menuduh pejuang Muslim menginginkan berdirinya negara Islam di Uighur.
Namun kelompok sayap kanan menuduh pemerintah Cina di Xinjiang telah menerapkan kebijakan yang represif terhadap bangsa Uighur, termasuk melakukan penyergapan rumah-rumah Uighur dengan penuh kekerasan oleh polisinya, pelarangan Muslimin melaksanakan ibadah, dan mengebiri budaya dan bahasa bangsa Uighur. (adibahasan/arrahmah.com)