JAKARTA (Arrahmah.com) – Aparat penegak hukum cenderung melakukan abuse of power (penyalahgunaan wewenang kekuasaan) dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.
“Hanya dengn asumsi terorisme sebagai tindakan extra ordinary crime maka terkesan memberi lampu hijau kepada aparat kepolisian untuk melakukan apa saja termasuk tindakan yang berlebihan,” kata Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA) ustadz Haris Abu Ulya seperti dilansir itoday, Jumat (5/10).
Menurut ustadz Haris, yang terjadi di lapangan aparat kepolisian yang menangani terorisme banyak menabrak banyak kaidah-kaidah penegakan hukum. “Kejahatan jenis terorisme sekalipun tidak boleh kemudian menghilangkan asas praduga tak bersalah. Dan yang terjadi justru praduga bersalah sering dipertotonkan oleh Densus 88,” ungkapnya.
Kata Haris, status seseorang terkait tindak pidana terorisme itu juga sering gegabah. Buktinya beberapa orang yang ditangkap setelah babak belur baru dilepas setelah aparat benar-benar tidak bisa menemukan delik terorisme.
“Ada tindakan yang tidak profesional dan umat Islam menyaksikan ketidakadilan dari aparat terkait isu terorisme,” paparnya.
Ia meminta membandingkan dengan kasus korupsi yang juga termasuk extra ordinary crime. “Para koruptor tidak seorangpun dari mereka mendapatkan perlakukan seperti halnya orang yang tertuduh teroris. Ini kedzaliman dan justru saya lihat bisa memicu balas dendam dan teror. Secara tidak sadar, aparat menjadi produsen tindak kekerasan dan teror dikemudian hari,” pungkas ustadz Haris. (bilal/arrahmah.com)