(Arrahmah.id) – Hari Ahad 8 Desember 2024 menjadi hari penting dalam sejarah Suriah. Umat Islam di luar Suriah turut bergembira, terlebih Palestina wabil-khusus Gaza. Hari itu rezim Assad tumbang setelah menindas rakyat Suriah selama 50 tahun lebih. Masjid jami’ Al-Umawy di Damaskus kembali ke pangkuan Ahlussunnah setelah sekian lama dibajak oleh kelompok Syiah yang merusak kesucian masjid.
Sebagian orang menganggap peristiwa ini bersifat internal Suriah sebab pemicu konflik adalah unjuk rasa rakyat terhadap kezaliman Bashar al-Assad pada 2011. Tidak mau diganggu demo, rezim Assad memberangus para demonstran dengan brutal. Respon ini menyulut kemarahan rakyat, lalu berkembang menjadi perlawanan bersenjata. Lahirlah kelompok-kelompok bersenjata dan seluruh Suriah terbakar api konflik.
Adanya dukungan kekuatan udara Rusia dan kekuatan darat jejaring Syiah Iran membuat kelompok perlawanan berhasil dipukul mundur. Hingga mereka terkonsentrasi di Idlib dan api konflik padam pada 2017. Tiba-tiba 27 November 2024 kemarin kelompok-kelompok yang berkoalisi dalam Hai’at Tahrir Asy-Syam (HTS) menyalakan kembali api peperangan.
Serangan dimulai dengan mentarget Aleppo. Dengan cepat Aleppo jatuh. Menyusul Hama lalu Homs. Hanya dalam waktu 12 hari, tanggal 8 Desember ibukota Damaskus jatuh dan rezim Assad tumbang. Tak disangka kali ini rezim kedodoran karena ditinggal dua sekutu setianya; Rusia dan Iran. Perjuangan selama 13 tahun yang penuh penderitaan kini terbayar. Para tahanan di seluruh penjara dibebaskan dan seluruh rakyat Suriah bersuka-cita menyambut kemenangan ini.
Meski tumbangnya rezim penguasa oleh rakyatnya bisa dipandang sebagai masalah internal suatu negara, namun tetap saja akan memberi dampak signifikan terhadap konstelasi Timur Tengah. Suriah terletak di tengah-tengah kawasan yang terus bergolak. Suriah dikelilingi negara-negara “panas” seperti Turki, Iraq, Lebanon dan “Israel”. Perubahan di Suriah akan merubah peta kawasan.
Gaza Sendirian
“Israel” mengurung Gaza sejak puluhan tahun yang lalu. Didukung AS, Eropa dan jaringan penguasa globalnya. Mesir tidak bisa (atau tidak berani atau tidak mau – entah yang mana) menyelamatkan Gaza. Yordania juga tersandera. Suriah apalagi, rezim Bashar Assad sibuk membantai rakyatnya sendiri. Lebanon terlalu lemah, dijarah oleh Hizbullah yang Syiah. Saudi sibuk dengan visi 2030 nya, tidak peduli dengan nasib Gaza. Iran sibuk mengekspor Syiah ke berbagai penjuru.
Dalam kesendiriannya, Gaza tak mau menyerah, meski yang dihadapi kekuatan “Israel” yang sangat digdaya karena didukung AS dan sekutunya. Pada 7 Oktober 2023 Gaza menyulut perang terbuka dengan “Israel”, dan dibalas dengan brutal hingga kini (16 Des 2024 saat artikel ini ditulis) – sudah lebih dari setahun. Kehancuran dan kematian tak terperikan.
Tak ada pilihan lain buat Gaza kecuali melawan. Sebab mengambil pilihan diam juga lambat laun akan digilas perluasan wilayah “Israel”. Dari pada menunggu wilayah Gaza makin mengecil, lebih baik sekarang melawan. Apalagi memang “Israel” tidak bisa dihadapi dengan diplomasi. Nafsunya tak bisa dibendung, “Israel” raya sudah menjadi harga mati, yang meliputi Palestina, Mesir, Sudan, Lebanon, Suriah, setengah Saudi dan sebagian kecil Turki. Gaza hanya kerikil kecil dari ambisi “Israel” raya yang sangat luas tersebut.
Gaza seperti memasuki lorong gelap tanpa ujung. Berjalan sendirian tanpa teman. Jika perang tak juga berhenti, dikhawatirkan seluruh bangunan di Gaza akan rata dengan tanah. Dan mungkin saja seluruh penduduknya akan punah. Hanya Allah yang tahu akhir dari peperangan ini.
Seberkas Cahaya dari Damaskus
Tiba-tiba kezaliman di Suriah padam. Berganti menjadi cahaya iman dan keadilan. Para pejuang yang mengobarkan perlawanan terhadap rezim Assad sejak 13 tahun yang lalu, mendapat momentum tak terduga. Mereka melakukan serangan kilat dan sang tiran tumbang. Para pejuang tak menyangka singgasana Assad serapuh itu.
Perkembangan ini membuat Gaza tak lagi sendirian dalam melawan “Israel”. Gaza kini punya teman. Meski masih sangat awal dan lemah. Masih perlu waktu untuk menggeliat dan menjadi kuat.
Harapan Suriah menjadi teman bagi Gaza cukup beralasan. Suriah dibebaskan bukan dengan diplomasi, tapi dengan penaklukan oleh para mujahidin. Mereka berani mati melawan kezaliman rezim, tentu pada saatnya juga akan berani mati melawan kezaliman “Israel”. Apalagi Suriah juga punya “dendam” masa lalu dengan “Israel”, yang mencaplok wilayahnya yang sah yaitu dataran tinggi Golan.
Suriah kini juga punya alasan lain untuk ikut menemani Gaza dalam konflik melawan “Israel”. Bagaimana tidak, “Israel” menunjukkan sikap yang culas terhadap Suriah. Saat para pejuang sibuk mengatur transisi kekuasaan, “Israel” membombardir gudang senjata dan merangsek masuk menganeksasi perbatasan. Karena itu, jika kelak pejuang Suriah sudah menata diri dan kuat, pasti akan ikut masuk gelanggang bersama Gaza dalam melawan “Israel”. Jika itu terjadi, dunia tak bisa menyalahkan Suriah, sebab alasannya sudah sangat jelas.
Suriah pasca runtuhnya Assad menjadi harapan yang realistis bagi Gaza dan Palestina meski masih perlu waktu, menunggu urusan domestik selesai dan momentumnya tiba. Harapan ini lebih realistis dibanding Mesir, Saudi, Yordania, Lebanon dan negara-negara yang berdekatan dengan Gaza yang masih dicengkeram rezim otoriter boneka penjajah. Selama rezim-rezim otoriter di negara-negara tersebut belum tumbang, rasanya masih gelap gulita.
Cara Allah Memberi Harapan untuk Gaza
Suriah yang dikendalikan oleh para pejuang Ahlussunnah pasca tumbangnya Assad membuka pintu harapan bagi Gaza dan Palestina. Inilah cara Allah untuk memberi jalan solusi, atau kemudahan yang menyertai kesulitan.
وَٱلَّذِینَ جَٰهَدُوا۟ فِینَا لَنَهۡدِیَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِینَ
“Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat ihsan (terbaik)”. (QS.Al-‘Ankabut: 69).
Al-Baghawy memberikan tafsir seperti ini: “Orang-orang yang berjihad melawan kaum musyrikin untuk menolong agama Kami, sungguh Kami akan menguatkan jalan perjuangan mereka”. Kata jahadu dalam ayat tersebut ditafsiri olehnya sebagai jihad dalam makna yang hakiki, yaitu perang melawan kaum kafir.
Mufassir lain memberi makna yang lebih umum, bukan hanya jihad bersenjata, tapi semua bentuk kesungguhan di jalan Allah, seperti tholabul ‘ilmi, mencari rizki yang halal demi nafkah keluarga, berpayah-payah dalam hijrah, atau berlelah-lelah dalam dakwah. Alasannya, karena ayat ini turun sebelum turunnya ayat yang perang, sehingga harus diberi makna yang lebih umum.
Hal yang pasti, memakai versi tafsiran manapun – baik spesifik maupun umum – jihad di jalan Allah (perang) masuk dalam salah satu makna, bahkan makna utama. Sebab, jika thalabul ‘ilmi membutuhkan kesungguhan, maka kesungguhan yang dikeluarkan oleh mujahid jauh melampaui kesungguhan thalabul ‘ilmi. Kesungguhan tertinggi yang dikenal manusia adalah perang, sebab manusia mengerahkan segenap tenaga, keberanian, persenjataan tercanggih, pasukan terlatih dan biaya tak terhingga demi meraih kemenangan.
Penduduk Gaza melakukan jihad di jalan Allah melawan “Israel”, maka berhak mendapat apa yang Allah janjikan pada ayat ini, yaitu terbukanya jalan-jalan lain untuk mengalahkan musuhnya. Ayat ini hanya memberi dua syarat untuk mendapatkan reward berupa terbukanya jalan-jalan lain, yaitu jahadu (bersungguh-sungguh atau berjihad) dan kedua fiinaa (di jalan Kami, bukan di jalan ambisi pribadi, atau jalan fanatisme golongan atau jalan keuntungan duniawi).
Dalam pengamatan kita, mujahidin Gaza sudah memenuhi dua syarat tersebut. Pertama, mereka berjihad (berperang) melawan kaum kafir yang gamblang kekafirannya. Mereka juga melakukannya dengan totalitas tenaga, pikiran dan biaya bahkan rela mengorbankan apapun yang mereka punya – termasuk nyawa. Kedua, mereka melakukannya karena melaksanakan perintah Allah dan membela kaum yang tertindas, bukan karena ambisi pribadi atau motif duniawi lain.
Dengan demikian, terbukanya jalan lain secara geografis untuk menusuk “Israel” dari arah Damaskus jelas bagian dari pembuktian janji Allah tersebut. Sebelumnya Allah sudah bukakan jalan lain dari arah Lebanon selatan melalui Hizbullat. Juga jalan lain dari arah Yaman melalui kelompok Houtsi.
Jalan lain dari arah Damaskus ini lebih layak menjadi harapan dibanding dari arah Lebanon dan Yaman. Sebab jalan dari arah Damaskus diisi para pejuang yang aqidahnya lurus yaitu Ahlussunnah, sementara dua jalan lain beraliran Syiah yang sesat. Jalan yang dibangun kelompok Syiah untuk menusuk “Israel” dipandang sebagai bagian dari propaganda dan pencitraan agar dagangan Syiah lebih laku di pasar Timur Tengah dan dunia Islam secara luas. Sementara jalan yang dibangun Ahlussunnah lebih tulus ingin membebaskan Gaza dari penindasan dan membebaskan Masjidil Aqsha dari telapak kaki “Israel” yang najis. Kaki Syiah dan kaki “Israel” sama najisnya bagi Masjidil Aqsha, karenanya tak bisa disebut membebaskan.
Secara kauniyah, rasanya mustahil Gaza bisa bebas dari cengkeraman “Israel” jika jalan untuk menusuknya hanya dari arah Gaza. Apalagi dia sendirian tak ada teman. “Israel” terlalu kuat, harus mendapat banyak tusukan sekaligus untuk menumbangkannya.
Kekuatan antara keduanya terlalu timpang. Gaza yang kecil, lemah dan sendirian berhadapan dengan Israel yang lebih luas, senjata lebih canggih, pasukan lebih banyak, dana nyaris tak terbatas, tidak sendirian tapi mendapat dukungan totalitas dari negara terkuat di bumi – Amerika – dan negara-negara besar Eropa.
Tumbangnya Assad dan kemenangan mujahidin di Suriah menjadi kejutan buat kawan maupun lawan. Menjadi kemurungan bagi kaum kafir dan kegembiraan bagi umat Islam. Kejadian ini sungguh ajaib, ibaratnya pejuang Gaza menembak burung ke arah depan, tapi yang jatuh burung yang di belakangnya. Sungguh makar Allah yang sangat halus.
Bertemunya Momentum dan Kesiapan
Media sudah lama tidak meliput Suriah karena sudah sepi dan tidak lagi menarik diberitakan. Kita sudah lupa dengan bara konflik Suriah yang begitu membara pada kurun 2011 hingga 2016. Narasi akhir zaman yang dikaitkan dengan kota Damaskus ikut laris manis di pasaran pada masa itu. Ketika konflik mereda, narasinya ikut sepi. Tak diduga, begitu menyala kembali, rezim langsung tumbang dalam tempo singkat.
Selama periode meredanya konflik Suriah, para pejuang rupanya tidak berpangku tangan. Mereka diam-diam aktif membangun kekuatan agar mencapai kesiapan yang memadai jika peluang tiba. Rencana untuk meluncurkan operasi “hancurkan kejahatan” ( ردع العدوان ) terhadap rezim Assad sudah mereka siapkan sejak dua tahun yang lalu.
Rupanya Allah juga tidak diam, tapi terus melaksanakan rencana-Nya yang begitu halus tak disadari manusia. Allah menyiapkan momentum untuk kesuksesan operasi yang mereka siapkan. Dimulai dengan operasi Thufanul Aqsha dari Gaza pada 7 Oktober 2024. Proxy Iran yaitu Hizbullat di Lebanon terpancing ikut menyerang. Juga Houtsi dari Yaman. Akhirnya “Israel” murka dan membalas dengan keras terhadap Hizbullat. Bahkan konflik tak hanya melibatkan proxy-nya, tapi antara “Israel” lawan Iran secara langsung.
Milisi Syiah Hizbullat yang selama ini diandalkan untuk melindungi rezim Assad di darat, akhirnya melemah akibat pukulan “Israel” tersebut. Tak lagi siap untuk dikerahkan ke Suriah. Pasukan Garda Revolusi Iran juga tidak siap mengantisipasinya karena berlangsung mendadak. Akibatnya, tatkala mujahidin Suriah bergerak menyerang rezim Assad, tentara rezim Assad sudah kehilangan moral bertempur. Dengan mudah mereka ditekuk oleh mujahidin.
Allah juga menyiapkan momentum dari arah lain. Armada udara Rusia yang selama konflik all out membantu rezim Asad, juga tak siap. Rusia sedang sibuk dengan Ukraina. Rusia sudah kelelahan berperang selama tiga tahun. Karenanya, ketika mujahidin bergerak tak ada kekuatan udara yang mendukung tentara rezim Assad. Mujahidin bisa leluasa merangsek maju.
Jadilah momentum bertemu kesiapan. Peluang ini dimanfaatkan dengan cerdik oleh para mujahidin dengan pertolongan Allah. Dan yang merancang ini semua adalah Allah Yang Maha Kuasa, Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Kalau Memilih Kafir Gak Usah Berkonflik Melawan Kafir, Nanti Rugi Sendiri
Hal yang menarik, mengapa Iran tidak konsisten dengan jatidirinya yang lebih loyal terhadap kekafiran dibanding Islam? Bukankah Iran mengusung ideologi dendam dan kebencian terhadap kebenaran – Ahlussunnah? Mereka dengan sadar memilih sekte Syiah Rafidhah dan menempatkan diri sebagai musuh dalam selimut bagi umat Islam. Mereka tak kenal lelah berusaha meninggikan kalimat Syiah Rafidhah dan merendahkan kalimat Allah. Secara kategori loyalitas, mereka lebih cocok dimasukkan dalam klasifikasi kekafiran dibanding keislaman. Mengapa tiba-tiba tergoda untuk berkonflik melawan “Israel” yang kafir?
Ketidak-konsistenan Iran dengan jatidiri kekufurannya sendiri terjadi setelah Gaza menyulut api Thufanul Aqsha. Dengan alasan solidaritas terhadap Gaza, proxy Iran di Lebanon – Hizbullat – ikut menyerang “Israel”. Eskalasi kian membesar, hingga Iran ikut langsung berkonflik melawan “Israel”. Padahal maksudnya untuk menyindir rezim-rezim Sunni di kawasan, yang hanya diam tak berbuat apa-apa. Agar citra diri Iran membaik di mata umat Islam Timur Tengah dan dunia. Ujung-ujungnya agar agenda menjual Syiah Rafidhah laku di pasaran.
Siapa yang menggerakkan pikiran rezim Iran untuk ikut terlibat dalam solidaritas terhadap Gaza? Jawabannya, Allah. Padahal jika saja Iran diam tak ikut terlibat, Iran masih bisa menjaga asetnya di Suriah. Tapi akibat keisengan itu Iran harus menelan pil pahit. Milisi Hizbullat yang selama ini diandalkan untuk mem-back up rezim Assad, sudah rusak parah. Karenanya ketika Abu Muhammad Al-Jaulani bersama kelompoknya merangsek, Suriah seperti rumah kosong yang ditinggalkan satpamnya.
Pesan moralnya, jika Anda memilih kekafiran maka konsistenlah dengan pilihan itu. Hukum alam mengatakan, jika kafir berkonflik melawan kafir, maka Islam akan mendapat keuntungan. Sebaliknya, jika Anda memilih Islam konsistenlah dengan pilihan itu. Jangan berkonflik sesama Islam, sebab akan memberi keuntungan buat kekafiran. Loyalitas hendaknya dibangun atas dasar kesamaan ideologi, sebagaimana permusuhan didasarkan pada perbedaan ideologi.
Tugas Kita Berusaha dan Berdoa, Biarkan Allah Mengabulkan Dengan Cara-Nya
Pada konflik sebelumnya, mujahidin Suriah sadar bahwa faktor kekalahan mereka dari rezim Assad adalah dukungan totalitas dari Rusia dan Iran. Agar bisa dikalahkan, dukungan dua negara ini harus dihentikan dan kelengketannya harus dipisahkan. Tapi bagaimana caranya? Akal mereka tak sanggup menemukan caranya. Buntu. Mereka hanya bisa berdoa sambil menyusun kesiapan.
Kombinasi usaha dan doa itu rupanya diijabah oleh Allah, dengan cara yang ajaib. Rusia dilepas dari Suriah dengan cara kafir melawan kafir. Iran dilepas dari Suriah juga dengan cara yang sama. Tanpa campur tangan mujahidin. Tampak sekali posisi Allah sebagai “sutradara” yang mengatur ini semua.
Operasi jihad bertajuk Thufanul Aqsha yang disulut oleh para mujahidin Gaza, membuat Iran tanpa sadar terpancing, dan pada akhirnya Suriah menjadi bebas. Ada efek domino di sana. Pada babak ini, Gaza seolah memberi hadiah untuk Suriah. Karenanya, sudah pasti pada babak berikutnya nanti akan berbalik, Suriah yang memberi hadiah untuk Gaza. Pada saatnya nanti Suriah akan menusuk “Israel” sebagai hadiah balasan untuk Gaza dan Palestina.
Sunnah Sejarah: Penaklukan Baitul Maqdis Selalu Setelah Penaklukan Damaskus
Pada zaman Sahabat radhiyallahu ‘anhum, Madinah terlebih dahulu menaklukkan Damaskus. Dua tahun kemudian barulah terjadi penaklukan Baitul Maqdis. Pada zaman Solahuddin Al-Ayyubi juga demikian, Damaskus duluan baru Baitul Maqdis. Maknanya, jika mengacu pada pakem sejarah, pembebasan Baitul Maqdis terjadi setelah penaklukan Damaskus.
Baitul Maqdis adalah ibukota religi. Sementara Damaskus adalah ibukota politik. Baitul Maqdis berada di lantai teratas sebuah gedung, sementara Damaskus ada di lantai yang mengoperasikan seluruh gedung. Tidak mungkin orang bisa menaklukkan puncak gedung kecuali menaklukkan lantai yang paling berpengaruh di gedung itu. Selain Damaskus, ada lantai lain yang tak kalah penting, dan harus dilalui sebelum mencapai puncak. Ada Kairo di Mesir. Ada Amman di Yordania. Ada Beirut di Lebanon. Ada Riyadh di Arab Saudi. Suplai listrik dan logistik dari luar gedung, ada di Washington, London, Berlin dan lain-lain.
Penaklukan Baitul Maqdis akan menjadi seremoni simbolik dari kekalahan pemegang hegemoni dunia. Pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, takluknya Baitul Maqdis oleh Persia dari tangan Romawi (Byzantium) dijadikan penanda puncak kekalahan Romawi atas Persia. Baitul Maqdis takluk pada 615 M, dan kembali ke pangkuan Romawi pada 622 M.
غُلِبَتِ ٱلرُّومُ ٢ فِیۤ أَدۡنَى ٱلۡأَرۡضِ وَهُم مِّنۢ بَعۡدِ غَلَبِهِمۡ سَیَغۡلِبُونَ ٣ فِی بِضۡعِ سِنِینَۗ لِلَّهِ ٱلۡأَمۡرُ مِن قَبۡلُ وَمِنۢ بَعۡدُۚ وَیَوۡمَئِذࣲ یَفۡرَحُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٤ بِنَصۡرِ ٱللَّهِۚ یَنصُرُ مَن یَشَاۤءُۖ وَهُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلرَّحِیمُ ٥
“2. (Imperium) Romawi telah dikalahkan, 3. di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan mengalahkan lagi 4. dalam beberapa tahun (lagi). Milik Allah-lah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Pada hari (kemenangan imperium Romawi) itu bergembiralah orang-orang mukmin 5. karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Mahaperkasa lagi Maha Penyayang”. (QS.Ar-Rum: 2-5)
Romawi disebut kalah dari Persia adalah pada saat Baitul Maqdis berhasil direbut. Demikian pula disebut menang adalah saat berhasil merebut kembali. Baitul Maqdis menjadi puncak gunung yang diperebutkan. Karena itu, merebut Baitul Maqdis hanya dari arah Gaza jelas tidak mungkin. Merebut puncak gunung harus terlebih dulu menaklukkan seluruh area yang menjadi kaki gunung.
Damaskus berhasil dibebaskan dari rezim Assad. Ini baru satu sisi kaki gunung. Masih banyak sisi lain yang belum bebas. Karenanya, kisah pembebasan Baitul Maqdis masihlah panjang. Jangan terlalu euforia seolah masa itu sudah begitu dekat. Realistislah, sebab peperangan ini bukan peperangan Gaza yang kecil, atau kawasan Timur Tengah yang lebih luas, tapi peperangan dua peradaban, yaitu peradaban hakiki dan keadilan (al-haqq) melawan peradaban sihir dan kezaliman (al-batil).
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – 16/12/2024