Oleh Irfan S Awwas
(Arrahmah.com) – Akhir kehidupan manusia, adalah warisan dari paham atau kebiasaan masa lalunya. Siapa pun yang meyakini suatu ideologi, dan tradisi kebiasaan niscaya dia akan mati di atas kebiasaan tersebut. Dan siapa yang mati di atas suatu kondisi, maka akan dibangkitkan di akhirat kelak di atas kondisi itu.
Apakah seseorang akan memilih jalan hidup yang benar atau sesat, membela al-haq atau al-bathil, memperjuangkan tegaknya syari’at Islam atau demokrasi, sekularisme, komunisme dan semacamnya, adalah pilihan bukan paksaan. Semua itu, kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt, dan menjadi barometer di akhirat, apakah seseorang akan bernasib baik dan masuk surga ataukah sebaliknya menjadi mangsa api neraka.
Allah Rabbul Alamin berfirman:
“Kamilah yang menghidupkan yang mati. Kamilah yang mencatat setiap perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia dan pengaruh baik atau buruk dari perbuatan itu sepeninggalnya. Semuanya itu Kami catat dengan teliti pada buku catatan amal yang mudah dibaca oleh pelakunya kelak di akhirat.” (Qs. Yasin [36]:12)
Begitulah, suratan takdir Ilahy tak bisa diprediksi. Adalah seorang mujahid, putra dari seorang mujahid, bernama Ridwan Abdul Hayyie, lahir pada tanggal 16 Juni 1993. Setahun setelah menamatkan pelajarannya di Pesantren Tahfidzul Qur’an ‘Isykarima’ Karangpandan, Solo, dia berangkat ke medan jihad Suriah sebagai relawan kemanusiaan Majelis Mujahidin.
Bersama 9 orang temannya, pada pertengahan Juli 2014, Ridwan menginjakkan kaki di Bumi Jihad Syam. Selama di sana, hari-hari jihad dilalui bersama pengungsi di Idlib, di saat lain mereka ribath dan bertempur melawan pasukan tentara rezim Syi’ah Nushairiyah pimpinan Bashar Asad.
Sudah menjadi sunatullah, bahwa orang yang berjuang membela agama Allah, ada kalanya mati sebelum berhasil meraih cita-citanya. Sedang sebagian lainnya dapat menikmati hasil perjuangannya dengan kemenangan Islam. Di antara mereka ada yang diuji dengan penjara, bahkan hidupnya berakhir di atas tiang gantungan atau di tembak peluru tajam. Ada pula yang gugur sebagai syuhada, ada yang masih bertempur, dan ada pula yang masih hidup meneruskan jihadnya.
Keadaan mereka digambarkan dalam firman Allah Swt:
“Ada sejumlah orang mukmin yang benar-benar jujur dalam berjanji kepada Allah. Di antara mereka ada yang mati di medan perang dan ada yang menantikan kematian dalam berperang. Orang-orang mukmin itu tidak mau melanggar janjinya kepada Allah sedikit pun.
Allah akan memberikan pahala besar kepada orang-orang yang memenuhi janji mereka dengan benar. Allah akan menyiksa orang-orang munafik sesuai kehendak-Nya atau Allah akan mengampuni mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya”. (Qs. Al-Ahzab [33]:23-24)
Maka pada hari Kamis, 26 Maret 2015, dalam suatu pertempuran dengan tentara Bashar Asad di Provinsi Idlib, Suriah Timur. Di bawah hujan peluru, para mujahid dengan perkasa terus maju melawan dengan senjata dan bom, membunuh atau terbunuh. Salah seorang mujahid di garis terdepan, terlihat pantang mundur, sambil melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dia mengarahkan senjatanya pada musuh.
Nampaknya, dialah Ridwan Abdul Hayyie, putera kesayangan Abu Muhammad Jibril Abdurrahman telah memenuhi janjinya, menghibahkan hidupnya, mengorbankan nyawanya melawan tentara kafir. Tembakan tank mengenai tubuhnya, dan gugur sebagai syuhada. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Komunikasi terakhir dengan adiknya, setengah bulan lalu. “Kapankah perang berkobar lagi?” tanya adiknya. “Perang tak perlu diundang, akan datang pada saatnya. Seperti kematian, tak pernah diundang, dia akan datang saat takdir Allah menentukan,” jawab Ridwan melalui facebooknya.
Kematian Ridwan, dan juga mujahid lainnya, pastilah tidak sia-sia. Dalam salah satu hadits shahih, Rasulullah Saw menjanjikan dua keutamaan bagi para mujahid yang syahid di medan perang. Pertama, seorang muslim yang syahid di tempat yang jauh dari kampung kelahirannya, maka dia mendapatkan pengampunan dari Allah sejauh jarak perjalanan dari kampungnya ke tempat meninggalnya.
Artinya, jika dosa-dosa diletakkan sepanjang perjalanan itu antara kota kelahiran dan tempat meninggalnya, seluruhnya akan diampuni oleh Allah Swt.
Kedua, sebanyak 70 orang dari anggota keluarganya yang muslim ikut masuk syurga bersamanya.
Keadaan seperti itu berlaku hingga hari kiamat, sebagaimana firman Allah Swt: “Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, di akhirat kelak ia akan bersama-sama dengan para nabi, orang-orang yang jujur dalam beriman, orang yang mati syahid dan orang-orang shalih yang telah Allah beri nikmat. Mereka itu adalah teman-teman yang sangat baik bagi orang-orang mukmin. Demikian itu adalah rahmat dari Allah. Cukuplah Allah yang mengetahui perbuatan mereka”. (Qs. An-Nisa’ [4]:69-70)
Bagi para mujahid, kematian bukanlah perkara besar, sekarang ataukah nanti, mati di medan juang atau di atas pembaringan, merupakan takdir Ilahy. Tapi, apakah akhir kehidupannya husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik) atau sebaliknya su’ul khatimah (akhir kehidupan yang buruk), itulah yang menjadi perkara besar.
Ya Allah, terimalah amal jihad saudara kami di Bumi Syam, dan berilah balasan sebagaimana telah Engkau janjikan melalui lisan Rasul-Mu. Amin!
(*/arrahmah.com)