Awalnya, isi postingan Facebook Mehmet Biber seperti halnya pada pemuda Australia lainnya:
“Pergi ke acara daa footy show, tonton saya di ch 9 malam ini” demikian ia memposting pada bulan April, 2010.
Akan tetapi secara bertahap pemuda Turki–Australia ini menampakkan perubahan. Pada Maret tahun lalu, ia berbagi rincian dari sebuah seminar di Granville yang bertajuk ”Suriah Kami Mendengar Tangisanmu” sebagaimana dirilis oleh The Sydney Morning Herald (7/12/2013).
Beberapa bulan kemudian, ia memposting ceramah seorang ulama yang bernama Anwar al -Awlaki, yang syahid, in syaa Allah dalam serangan pengecut pesawat tak berawak AS pada tahun 2011, serta gambar anak-anak berdarah di Suriah.
“Oh, Muslim, bangunlah dari khayalan dunia yang sementara ini,” tulisnya pada bulan Oktober .” Bangun dan lihatlah kenyataan bahwa saudara Anda sedang dibunuh dan diperkosa di depan anak-anak dan suami mereka, anak-anak yang diledakkan oleh jet dan helikopter, pria dipermalukan seperti anjing, kemudian disembelih seperti ternak. Apa yang akan menjadi jawaban kami bagi Allah pada hari itu?’
Kemudian, antara bulan Juni dan Juli tahun ini, Biber diduga melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok pejuang Islam untuk melawan rezim Presiden Bashar al-Assad.
Polisi menuduh bahwa ia merupakan salah satu dari enam warga Sydney yang dikirim ke medan pertempuran oleh Hamdi Alqudsi (39) yang ditangkap pada hari Selasa (3/12).
Biber bukan keturunan Suriah, dan tidak memiliki hubungan keluarga dengan Suriah. Demikian juga dengan Alqudsi atau lima orang lain yang diduga dikirim ke garis depan. Dia adalah campuran Somalia, Anglo-Saxon, Libanon dan Turki-Australia.
Kasus mereka telah menjadi tren di kalangan pemuda Muslim Australia. Pemuda Muslim Australia menjadi begitu bersemangat. Mereka merasa terdorong untuk melakukan sesuatu terhadap konflik Suriah meskipun mereka tidak memiliki koneksi ke sana.
“Sangat sedikit dari orang-orang yang terlibat dalam konflik Suriah benar-benar memiliki hubungan pribadi atau keluarga dengan negara itu,” kata Asisten Komisaris Peter Dein dari NSW Counter Terrorism Squad.
Sejak konflik dimulai, sekitar 100 warga Australia, sebagian besar warga negara ganda Lebanon-Australia, telah melakukan perjalanan untuk bergabung dalam perjuangan melawan rezim Suriah.
Walaupun ada beberapa yang tewas, itu hanya semakin memperkuat tekad pemuda Muslim yang lain.
“Anda bangun di suatu pagi dan secangkir kopi tidak lagi rasanya seperti kopi. Rasanya seperti telah bercampur dengan darah, ” kata pemuda Zaky Mallah (29), warga Australia–Lebanon, yang melakukan perjalanan dari Parramatta ke Suriah tahun lalu untuk ikut dalam program bantuan kemanusiaan untuk Suriah.
”Bila Anda ingin makan, Anda tidak lagi memikirkan seberapa baik makanan itu. Anda bekerja, tapi Anda tidak merasakan pekerjaan itu lagi. Anda telah mencapai titik di mana Anda hanya ingin memesan penerbangan dan pergi ke sana (Suriah).”
Mallah baru saja bepergian ke luar negeri ketika ia menjual mobilnya, membeli tiket ke Turki dan bertemu dengan beberapa pejuang Tentara Pembebasan Suriah (FSA) secara kebetulan di sebuah hotel.
Malam itu, ia menyeberangi perbatasan dengan mereka dan menghabiskan tiga minggu di garis depan dengan hanya menonton, tetapi tidak berpartisipasi dalam pertempuran.
”Duduk di dalam rumah dan melihat sejumlah orang yang dibunuh oleh rezim Assad biadab, melihat para pengungsi yang terlantar, melihat kekejaman, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya merasa bahwa saya bukan manusia, dan saya merasa bahwa saya bukan seorang Muslim yang baik.”
Libanon dan Suriah memiliki sejarah permusuhan. Bagi pemuda Australia keturunan Libanon itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk ikut berjuang di Suriah.
Halaman-halaman Facebook dari pemuda Muslim Australia mengungkapkan rekaman anak-anak yang dibantai, dan gambar dari senapan mesin dan pedang.
Sebagian besar dari enam warga Australia mati di Suriah melakukan perjalanan melalui Turki , dengan tujuan melaksanakan pekerjaan bantuan kemanusiaan.
Yusuf Toprakkaya (30) berjalan di sepanjang perbatasan sampai ia menemukan sebuah kelompok bersedia untuk menyelundupkan dia ke zona perang, di mana ia dilaporkan dilatih sebagai penembak jitu dan pembuat bom, dan diapun meninggal di sana.
Sebuah dokumenter tentang Roger Abbas (23) dari Melbourne, menemukan bahwa ia pergi ke Suriah untuk melakukan pekerjaan bantuan tapi kemudian ia bergabung dengan Jabhah Nushrah.
Semua enam orang tersebut berada di bawah usia 30 dan sebagian besar dari latar belakang Turki dan Lebanon.
“Mereka tidak menganggap diri mereka tersekat dalam negara tertentu, mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari ummah secara global (negara Islam),” katanya. “Islam yang mempersatukan mereka, bukan Suriah.”
“100 orang diyakini telah berjuang di Suriah, jauh melebihi perkiraan jumlah tertinggi jihadis Australia yang terlibat dalam konflik di luar negeri sebelumnya” kata, Andrew Zammit, peneliti tentang terorisme dari Monash University .
Keterlibatan pemuda Muslim dalam konflik Suriah diantarnya adalah karena “kemarahan” atas pembantaian yang terus-menerus dilakukan oleh Rezim Suriah dan kelambanan internasional dalam menyikapi konflik tersebut. (ameera/arrahmah.com)