SURABAYA (Arrahmah.com) – Di Provinsi Jatim pada awal tahun 2011 terdapat 47 lokalisasi pelacuran dan 7.127 orang wanita tuna susila (WTS) yang tinggal di wisma.
Hingga Juni 2015, telah ditutup sejumlah 46 lokalisasi pelacuran dan masih tersisa hanya satu lokalisasi di Kota Mojokerto dengan jumlah WTS sebanyak 89 orang. Yang terakhir ditutup adalah lokalisasi di Kabupaten Ponorogo dengan jumlah 176 orang WTS yang berhasil dientas.
Gubernur Jatim Soekarwo melalui Kabiro Adminisitrasi Kesra Setdaprov Jatim Hizbul Wathon kepada beritajatim.com, Rabu (17/6/2015) mengatakan, deklarasi penutupan lokalisasi di Kabupaten Ponorogo dihadiri Menteri Sosial (Mensos) RI Khofifah Indar Parawansa pada 8 Juni 2015.
“Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Mensos yang telah hadir secara langsung pada deklarasi penutupan lokalisasi dan menyerahkan secara simbolis bantuan kepada 176 eks-WTS di lokalisasi Kedungbanteng, Kecamatan Sukorejo, Ponorogo,” ujarnya.
Menurut dia, penutupan lokalisasi di Ponorogo dan lokalisasi lain di Jatim merupakan wujud implementasi sikap kegotongroyongan dan keguyuban masyarakat Jatim dalam rangka menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Yakni, untuk menyelesaikan permasalahan kemaksiatan dan permasalahan sosial lainnya.
Setelah lokalisasi di Desa Kedungbanteng, Ponorogo resmi ditutup, pemprov akan bergerak cepat melakukan tindaklanjut ke depannya. Tindaklanjut itu dengan segera memanfaatkan lahan eks-lokalisasi sebagai pusat perekonomian baru di Ponorogo.
Saat ini, pemprov Jatim bersama Pemkab Ponorogo dan pihak-pihak terkait tengah melakukan mapping. Seperti menginventarisasi bidang perekonomian apa yang diinginkan masyarakat eks-lokalisasi dan para mucikari.
“Rencananya Pak Gubernur (Gubernur Jatim Soekarwo, red) ingin memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak pasca penutupan lokalisasi. Total ada 92 orang yang terkena dampak penutupan dan 39 orang mucikari,” kata Hizbul.
Dia menjelaskan, saat ini pemprov masih belum bisa memberikan bantuan karena masih menunggu selesainya mapping yang dilakukan. Dengan mapping ini, lanjutnya, akan diketahui bantuan apa yang diinginkan masyarakat terdampak. “Mungkin nanti ada yang ingin mendapat bantuan rombong bakso, rombong nasi goreng atau bantuan ekonomi lainnya,” ungkapnya.
Selain akan memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak penutupan eks lokalisasi, pemprov Jatim telah memberikan bantuan kepada para WTS. Bentuknya berupa uang stimultan untuk usaha sebesar Rp 3 juta, yang telah diberikan pada 14 Juni 2015 lalu.
Itu artinya, setiap WTS eks-lokalisasi di Ponorogo menerima uang sebesar Rp 7 juta lebih dari penutupan lokalisasi di Ponorogo. Sebab selain pemprov, Kementerian Sosial (Kemensos) juga memberikan bantuan uang Rp 3 juta untuk pemberdayaan ekonomi, uang jatah hidup selama tiga bulan sebesar Rp 600 ribu tiap bulannya dan Rp 250 ribu untuk biaya transport pulang ke daerah masing-masing WTS.
“Pak Gubernur dan pemprov ingin memanusiakan manusia dengan sebaik-baiknya. Penutupan lokalisasi ini bukan hanya dengan menutup begitu saja, tapi ada upaya pemberdayaan bagi para WTS, mucikari dan masyarakat terdampak eks penutupan lokalisasi,” tuturnya.
Bantuan-bantuan itu diharapkan bisa bermanfaat, sebagai modal awal untuk merintis usaha baru yang lebih layak dan bermartabat sesuai kodrat seorang wanita.
“Kami terimakasih pula kepada forum pimpinan daerah, para ulama dan tokoh agama serta masyarakat yang sepakat dan bertekad melakukan penutupan lokalisasi di Ponorogo dan lokalisasi lain di Jatim,” jelasnya.
Selanjutnya, pemprov bersama pemkab, ulama dan masyarakat akan meningkatkan pengawasan serta pencegahan terhadap lokalisasi yang telah ditutup dan tempat lain yang dicurigai sebagai prostitusi terselubung.
Menurut dia, gubernur berharap masing-masing SKPD agar memprioritaskan program pemberdayaan dan penanganan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja alternatif di di wilayah desa, kecamatan asal eks-WTS dengan memanfaatkan kearifan lokal. Ini sebagai upaya mengawal dan mengadvokasi eks WTS dengan terkoordinatif, integratif, holistik dan humanistik.
“Dengan ditutupnya lokalisasi, maka terhapus pulalah istilah WTS. Ini merupakan hal yang luar biasa, sehingga para wanita dapat menempatkan dirinya sederajat dengan pria. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang ada hanya istilah perselingkuhan dan perzinahan, di mana ranah penanganannya menjadi kewenangan Satpol PP dan kepolisian,” pungkasnya. (azm/arrahmah.com)