BEKASI (Arrahmah.com) – Pendeta Luspida Simanjuntak dan Pendeta Pieterson Purba terbukti memberikan keterangan palsu di bawah sumpah di persidangan. Akahkah Hakim menetapkan perintah penahanan terhadap pendeta HKBP karena melanggar Pasal 242 KUHP tentang tindak pidana pemberian keterangan palsu? Perusakan segel Gereja HKBP juga melanggar KUHP pasal 232 ayat 1 dengan ancaman pidana paling lama dua tahun delapan bulan, kapan diusut?
Pada sidang kasus HKBP Ciketing sebelumnya (10/1/2011), di Pengadilan Negeri Bekasi, Pendeta Luspida dan Pendeta Purba memberikan keterangan di persidangan bahwa jemaat HKBP melakukan kebaktian di Ciketing atas perintah dari Sekretaris Daerah (SETDA) Kota Bekasi.
Surat yang dimaksud adalah surat dari Sekretariat Daerah Pemkot Bekasi nomor 460/1529/Kessos/VII/2010 tertanggal 9 Juli 2010 perihal “Penangangan Permasalahan HKBP PTI” yang ditandatangani oleh Sekda Tjandra Utama Effendi. Poin kedua surat tersebut berbunyi: “Kepada Pejabat Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi agar menyampaikan kepada pendeta dan atau Jemaat AHBP PTI bahwa yang bersangkutan dapat melakukan ibadat di tempat lain milik orang lain atau milik sendiri. Apabila akan beribadat di tempat baik milik orang lain harus mendapat izin dari pemilik setempat.” Kalimat inilah yang diklaim pendeta HKBP sebagai perintah untuk melakukan kebaktian di Ciketing.
Ketika dikonfrontir dengan pihak Pemkot Bekasi pada sidang lanjutan di ruang sidang Tirta PN Bekasi, Senin (17/1/2011) pagi. Keterangan Pendeta Luspida Simanjuntak dan Pendeta Pieterson Purba dibantah mentah-mentah oleh Zaki Utomo selaku Asisten Daerah (Asda) II Pemkot Bekasi.
Menurut Zaki Utomo, dirinya selaku pemerintah kota tidak pernah memberikan izin Jemaat HKBP melakukan kebaktian di rumah ibadah tak berizin yang sudah disegel.
“Yang jelas, wewenang Pemkot bukan mengurusi izin kebaktian, tetapi mengurusi hal yang bersangkutan dengan izin bangunan. Kalau yang menyangkut ibadah, bukan wewenang kami,” jelas Zaki.
Pemkot Bekasi telah mengeluarkan surat resmi yang ditandatangani oleh Sekda dengan tembusan ke HKBP. Surat itu bukan merupakan pemberian izin, tapi berupa himbauan kepada pejabat Kemenag Kota Bekasi. Surat itu juga tidak ditujukan kepada pihak HKBP, tapi ditujukan kepada Dandim0507/BS, Kapolres Metro Bekasi, Kepala Kantor Kemenag, Kepala Kesbangplinmas, Kepala Satpol PP, Camat Mustikajaya dan Ketua FKUB Kota Bekasi.
Menindaklanjuti surat SEKDA Kota Bekasi tanggal 9 Juli 2010 tersebut, maka Walikota Bekasi mengeluarkan surat tertanggal 23 Juli 2010. Dalam surat yang ditandatangani oleh Wakil Walikota Bekasi Rahmat Effendi tersebut, dinyatakan bahwa setelah meninjau lapangan dan melakukan berbagai pertemuan, maka disimpulkan Ciketing tidak kondusif untuk kebaktian jemaat HKBP. Sebagai solusinya, Pemkot Bekasi menyediakan Gedung Serbaguna eks OPP di Jalan Chairul Anwar sebagai tempat kebaktian.
Zaki menegaskan, setiap informasi selalu disampaikan pada kedua belah pihak. Namun, pihak HKBP tidak mau menerima surat dari Pemkot. “Pihak Pemkot Bekasi sendiri, telah melakukan penyegelan bangunan gereja di Ciketing, dan melarang Jemaat HKBP untuk melakukan kebaktian di atas lahan yang sudah tertera plang penyegelan,” tandasnya.
Zaki tidak memungkiri, Jemaat HKBP mengajukan izin mendirikan bangun, tapi ada perubahan peruntukan dari tempat tinggal menjadi rumah ibadah. “Sebuah bangunan harus ada IMB-nya. Kalau tidak ada izinnya jelas tidak boleh. Begitu juga, bila bangunan terdapat perubahan fungsi, jelas dilarang,” tandasnya.
Zaki menambahkan, pertemuan di kantor Wakil Walikota Bekasi tanggal 9 Juli. Pada tanggal tersebut, ada sebuah rapat yang dilakukan Komite Intelijen Daerah (Kominda). Rapat ini bukan hasil mediasi kedua belah pihak, melainkan rapat dengan aparatur negara. “Pihak HKBP pun tidak diundang,” kata Zaki.
Segel Gereja HKBP Dirusak
Lebih jauh, Zaki menjelaskan, yang berwenang melakukan penyegelan merupakan wewenang pihak Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B). Tapi khusus Ciketing, Asda I dan II dilibatkan untuk mengurusi persoalan ini. “Yang jelas ada surat perintah segel dari Pemkot Bekasi, yang kemudian ditandai dengan pemasangan plang segel.”
Kendati sudah dipasang plang penyegelan di gereja ilegal HKBP PTI, namun jemaat HKBP melakukan pelanggaran hukum dengan mencabut plang penyegelan yang dipasang Pemkot Bekasi. “Menurut KUHP, mencabut plang penyegelan termasuk pelanggaran hukum,” tegas Zaki.
Pelanggaaran yang dimaksud adalah KUHP pasal 232 ayat 1: “Barangsiapa dengan sengaja memutus, membuang atau merusak penyegelan suatu benda oleh atau atas nama penguasa umum yang berwenang, atau dengan cara lain menggagalkan penutupan dengan segel, diancam dengan pidana penjara.”
Zaki menjelaskan, pihaknya mengetahui pencabutan plang penyegelan gereja liar HKBP banyak diprotes oleh umat Islam. Yang memprotes dan menyatakan keberatan itu adalah Forum Umat Islam Mustika Jaya (FUIM). Masyarakat setempat merasa kenyamanannya terganggu. Apalagi mayoritas warga yang tinggal di Mustika Jaya Ciketing mayoritas Muslim.
“Ini menyangkut ketertiban di tengah masyarakat Muslim Ciketing. Saya pernah turun ke lapangan sebanyak tiga kali setiap minggunya. Saya juga mendengar teriakan yel-yel tidak setuju dari masyarakat Muslim setempat. Tapi saya tidak melihat adanya kekerasan,” ungkap Zaki.
Sebagai aparat pemerintah yang sering terjun ke masyarakat, Zaki mendengar adanya kegiatan penginjilan (kristenisasi) secara agresif di Bekasi. Ia juga mendengar banyak protes dari kelompok umat Islam tentang adanya Kristenisasi di wilayahnya. Tapi laporan tersebut belum disampaikan ke Pemkot Bekasi. (voa-islam/arrahmah.com)