(Arrahmah.com) – Segala kekuatan makar dan unsur jahat di Indonesia, kini secara intensif sedang mengokohkan eksistensinya. Pada 22/4/2016 lalu, kekuatan zionis menggelar perayaan paskah, yaitu perayaan keluarnya bani Israel dari Mesir saat dikejar Fir’aun, di Hotel PullmanJakarta. Hadir dalam perayaan tersebut wakil Menlu AS Antony Blinken, Ketum Ikatan Muballigh Seluruh Indonesia, Yayan Hendrayana, Zawawi Suat, dan Ketum GPII Karman. Selain zionis, kekuatan makar komunis gencar propagandakan bangkitnya PKI melalui kaos bergambar palu arit dengan slogan, PKI dipalu makin maju, PKI diarit makin bangkit’. Dan yang mengkhawatirkan, kolaborasi PDIP dan NU pimpinan Said Aqil Siradj untuk mengganti Pancasila dengan “Kembali ke Pancasila 1 Juni 1945”. Sementara kekuatan jahat Kristen, dengan berbagai manuver Ahok dan Hari Tanoe mengelabui umat Islam untuk meraih ambisi kepemimpinan Indonesia. Tokoh ormas Islam yang tertipu, Syafii Maarif dan Said Aqil Siradj mendukung mereka dengan pernyataan kekafiran: “puluhan juta malaikat yang diutus Yesus akan melindungi Ahok,” kata Syafii. Senada dengan itu, Said Aqil bilang, “lebih baik pemimpin kafir yang jujur daripada muslim koruptor.”
Kini bangsa Indonesia sedang merasakan akibat buruk dari penyimpangan terhadap agama Allah. Berbagai kerusakan menimpa rakyat negeri ini. Kyainya rusak, pejabat negara tidak bermoral, perempuan jadi korban zina, pemuda dan anak digrogoti narkoba, sedang penguasanya zalim menggadaikan kedaulatan negara pada asing, Komunis China.
Dimanakah umat Islam? Sudah menjadi watak semua umat beragama yang menyimpang dari agama Allah, pasti akan dikalahkan oleh kekuatan jahat. Hari ini umat Islam sedang merana, galau, menderita lahir batin menyaksikan sepak terjang orang-orang kafir. Sebagai kekuatan penjaga agama Allah dan kedaulatan NKRI, umat Islam merasa tidak berdaya, tersingkir dari kekuasaan negara dan dikroyok orang-orang kafir.
Dalam kondisi lemah tak berdaya, bagaimana memenangkan agama Allah menurut sunnatullah, bukan menurut angan-angan dan hawa nafsu kita, dan bukan pula menurut aturan dan UU parpol yang terus menerus mengkhianati aspirasi rakyat? Bagaimana pula melahirkan generasi muda dengan predikat ‘fityatun amanu birabbihim wazidnahum huda (pemuda-pemuda beriman yang diberi petunjuk oleh Allah, surat Alkahfi, 13), yang bisa menginspirasi kekuatan umat Islam untuk bangkit menyuarakan kebenaran dan meraih kekuasaan negara sesuai syariat Islam?
Proses kemengan itu tidak mudah. Harus ada figur orang-orang shalih, yang terpuji dan teruji pengalan dan ilmunya, yang siap berkorban memperjuangkan agama Allah.
“Sungguh segala yang ada di muka bumi ini Kami jadikan hiasan bagi bumi. Dengan kesenangan dunia ini Kami menguji manusia, siapa di antara mereka yang paling taat kepada Allah. (QS Al-Kahfi (18) : 7).
Renungkan ayat ini dan perhatikan kondisi negara-negara berbasis mayoritas muslim di seluruh dunia. Apakah dengan segala kekayaan dunia yang dianugerahkan Allah, berupa tanah yang luas dan subur makmur, keadaan pemerintahannya lebih baik dari negeri kafir? Ternyata penguasanya bukan mengajak rakyatnya bertakwa pada Allah, malah mengadopsi sistem kuffar, sehingga tidak bisa menjadi contoh yang baik, maju, sebaliknya menjadi olok-olokan sebagai negeri terbelakang, intoleran, zalim, tidak aspiratif dllnya. Sementara rakyatnya digiring keprilaku hewan, tidak bermoral, membenci agama, sehingga berbagai azab Allah datang menerpa.
Bukan itu saja, sikap para penguasa pada rakyat muslim mencontoh kejahatan penguasa kafir. Umat Islam yang berjihad melawan orang kafir malah diposisikan sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Diseru supaya menegakkan syariat Islam dituduh radikal. Para ulama, kyai, dan tokoh ormas, ramai-ramai menjadi orang munafik. Di Jawa Timur muncul gerakan anti khilafah, menurunkan spanduk berbendera Lailaha illallah, sementara mereka bungkam menyaksikan kesesatan Syiah dan kejahatan komunis yang sekarang muncul dengan slogan ‘anak zaman melahirkan zaman baru’ melalui seminar, simposium, pemutaran film PKI dll.
Di Indonesia, penderitaan paling dahsyat yang dirasakan umat Islam setelah penjajahan kolonial adalah munculnya orang-orang kafir bermental komunis menjadi gubernur, bupati, walikota, memimpin mayoritas umat Islam.
Oleh karena itu, memunculkan model pemimpin yang taat beragama, jujur, punya kapasitas negarawan, pemberani, di tengah-tengah kebobrokan umat Islam dan kecongkakan orang kafir, sangat penting dan prinsipil. Seorang pemimpin dengan karakter “basthatan fil ilmi wal jismi (luas ilmunya, salih, dan kuat mental serta fisiknya)”.
Pemimpin seperti dijanjikan: “Tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhannya untuk melaksanakan beberapa perintah, maka ia melaksanakan semua perintah itu. Allah berfirman: “Wahai Ibrahim, sungguh Aku pasti menjadikan engkau sebagai rasul Allah bagi kaummu.” Ibrahim berkata: “Apakah juga ada di antara keturunanku yang dijadikan rasul Allah?” Allah berfirman: “Wahai Ibrahim, keturunanmu yang berbuat syirik tidak akan memperoleh janji-Ku untuk menjadi rasul-Ku bagi umat manusia.” (QS Al-Baqarah (2) : 124)
Jika pemimpin yang muncul tidak memiliki ketaatan pada Allah, sampai kiamat kita tidak akan ditolong oleh Allah. Apalagi sekarang muncul tokoh-tokoh munafik yang justru menyodorkan kepemimpinan dipegang orang kafir, Allah bertambah murka. Jika ingin memperbaiki Indonesia dengan meminta tolong pada orang kafir, baik kafir China, Rusia, atau Amerika, maka sama saja dengan mengundang azab dan malapetaka.
Kepemimpinan Islam boleh jadi akan muncul dari sosok ulul albab yang berasal dari pesantren, perguruan tinggi, atau bahkan cendekiawan lulusan Harvard atau Timur Tengah. Selama mereka berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallalahu alaihi wa sallam. Sebab pangkal kelemahan dan kehancuran umat Islam karena meninggalkan dua warisan ini: Qur’an dan Sunnah. Maka adanya upaya para intelektual muslim untuk bekerja keras melahirkan pemimpin muslim yang berpegang teguh pada akhlak dan syariat Islam haruslah didukung sepenuhnya oleh umat Islam, bukan dijegal dengan alasan politik atau kepentingan pragmatis oportunistik.
Serial kajian malam Jum’at, 28/4/2016, di Masjid Raya Ar Rasul, Jogjakarta.
Narsum: Amir Majelis Mujahidin Al Ustadz Muhammad Thalib.
Notulen: Irfan S Awwas
(*/arrahmah.com)