KABUL (Arrahmah.com) – Pada Selasa dini hari, Taliban merayakan keberangkatan pesawat terakhir tentara AS dan duta besar mereka dari Afghanistan, setelah 20 tahun pasukan pimpinan AS menduduki negara itu.
Anggota Taliban yang bergembira menggelar parade di jalan-jalan Kabul, merayakan apa yang mereka sebut “hari kemerdekaan” Afghanistan.
“Kami sangat gembira bahwa orang-orang Kabul dan ibu kota lainnya menyambut kami dengan tangan terbuka tanpa membiarkan kelompok penghasut perang berkesempatan untuk memperpanjang siklus konflik yang merusak ini,” kata Abdul Qahar Balkhi, anggota terkemuka Komisi Kebudayaan Taliban.
“Mereka berunjuk rasa dengan niat Islam dan pembentukan sistem Islam di Afghanistan, sejalan dengan nilai-nilai kebanggaan kami dan orang-orang yang mencari kebebasan,” lanjutnya.
Sejak hari setelah Taliban kembali berkuasa dan menduduki di istana presiden di Kabul, merebut kendali atas Afghanistan, media arus utama telah memberikan liputan kritis dan bahkan permusuhan kepada pemerintah baru tersebut.
Laporan media tentang interogasi dari rumah ke rumah dan kekerasan yang diduga dilakukan oleh Taliban terus mengalir, termasuk di Kabul.
Selain itu, kita telah menyaksikan orang-orang yang putus asa, termasuk anak-anak, melompat ke sisi pesawat yang melaju di landasan pacu Kabul, melakukan upaya berbahaya untuk agar bisa melarikan diri dari Kabul.
“Sangat disayangkan,” kata Abdul Qahar.
Kepanikan tersebut, lanjutnya, adalah hasil dari demonisasi terus-menerus selama bertahun-tahun terhadap Taliban, dimana minoritas sangat kecil orang menjadi korban propaganda meskipun pejabat senior Taliban menyatakan amnesti umum untuk semua warga negara, termasuk pemerintah dan petugas keamanan.
Pemerintah baru Afghanistan ini berulang kali mengklarifikasi pasukannya harus memperlakukan penduduk dengan hormat dan tidak memberikan hukuman sewenang-wenang untuk memulihkan perdamaian.
Abdul Qahar menyalahkan AS atas kekacauan yang terjadi di Bandara Internasional Hamid Karzai Kabul.
Beredar video mengerikan tentang bayi dan anak-anak yang diserahkan kepada tentara melalui pagar kawat berduri dan laki-laki menempel di bagian luar pesawat yang akan berangkat.
“Akar penyebab di balik kepanikan tersebut adalah dorongan dari AS dan desas-desus tentang visa pada saat kedatangan untuk semua,” kata pemimpin Taliban itu.
AS terus mendorong citra ‘Hollywood’ Amerika dan janji-janji palsu tentang kesejahteraan. Dan karena kebanyakan orang Afghanistan hidup di bawah garis kemiskinan karena empat dekade pendudukan asing dan perang yang dipaksakan, banyak yang secara alamiah ingin pindah ke luar untuk mengejar mata pencaharian yang lebih baik,” ungkapnya.
Berita-berita dari Afghanistan selama bertahun-tahun menunjukkan tentang sebuah negara tertindas yang dibebaskan oleh tentara AS pada tahun 2001 untuk melegitimasi intervensi dari luar.
Menurut proyek Costs of War, AS telah menghabiskan $2,26 triliun untuk perangnya di Afghanistan.
Namun, sebagian besar dana tersebut, hampir $1,5 triliun, dihabiskan untuk mempertahankan pendudukan AS, menjatuhkan puluhan ribu bom dan rudal ke Afghanistan.
Abdul Qahar juga menuding peran media dalam memicu ketakutan terhadap Taliban.
“Media sayangnya tidak memainkan peran positif dalam menyebarkan pesan perdamaian kami,” ujarnya.
“Alih-alih menggambarkan fakta bahwa sebagian besar orang Afghanistan sebenarnya senang dengan keamanan dan kehidupan yang kembali normal, media Barat secara tidak proporsional berfokus pada situasi di bandara yang disebabkan oleh AS yang mendorong orang-orang untuk pergi dan kemudian tidak mengizinkan mereka masuk karena mereka tidak memiliki dokumentasi yang layak,” jelasnya.
Abdul Qahar mengkritik media Barat khususnya dan menyebutnya telah bekerja hingga lembur untuk menjelek-jelekkan orang-orang Afghanistan yang gagah berani yang telah dengan berani memperjuangkan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
“Tentu saja ketika media didanai oleh kelompok tertentu, mereka akan mendorong dan mempromosikan agenda tertentu,” tegasnya.
“Media barat telah menggambarkan Taliban sebagai kekuatan jahat yang memaksakan nilai dan cita-cita mereka ke negara-negara asing dan sebagai masyarakat suku yang terfragmentasi, tidak peduli dengan politik dunia sehingga mengganggu stabilitas keamanan regional dan dunia, serta merugikan pertumbuhan ekonomi,” kata Abdul Qahar.
Abdul Qahar mengungkapkan, pihaknya akan menggunakan periode ini untuk mencari peluang untuk bekerja sama dengan para pemimpin dunia dan masyarakat internasional untuk meningkatkan keamanan dan pembangunan ekonomi, sambil membangun kembali Imarah Islam Afghanistan.
Sementara Imarah Islam Afghanistan tidak berubah dalam hal tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip Islam dan penegakan hukum Islam, Abdul Qahar mengatakan pihaknya berencana untuk menerapkan perubahan secara bertahap melalui khutbah-khutbah dan terlibat dalam dialog tentang manfaat penerapan Islam.
AS telah gagal mencapai tujuan utamanya bagi rakyat Afghanistan; yang menerapkan demokrasi Barat.
Sebaliknya, AS kehilangan 2.500 tentaranya sendiri, sementara 47.000 warga sipil tewas selama pendudukannya, serta hampir 69.000 militer dan polisi Afghanistan.
Menurut Abdul Qahar, gagasan demokrasi Barat di Afghanistan adalah “lelucon” sejak awal, karena tidak praktis, juga tidak berkelanjutan bagi mayoritas yang menolak semua konsepnya yang bertentangan dengan hukum Islam.
Tatanan demokrasi harus berakar dari rakyat dan itulah sebabnya banyak orang Afghanistan tidak pernah muncul untuk pemilihan umum dan AS harus campur tangan setiap kali untuk menyelesaikan perselisihan antara politisi saingan atas pemilihan yang curang.
Atas nama pemerintahan baru Afghanistan, Abdul Qahar menutup dengan sebuah harapan: “Kami optimis bahwa semuanya telah mengambil pelajaran dari perang panjang selama bertahun serta kehancuran. Kami mendorong semuanya untuk meninggalkan masa lalu di tempatnya dan melihat ke depan ke masa depan sehingga negara kita, kawasan dan dunia akhirnya dapat menemukan kedamaian dan keamanan sehingga semua orang-orang kita bisa sejahtera dan berkontribusi pada peradaban manusia yang besar, masing-masing dengan keindahan, karakter, dan warisan yang berbeda, dan tidak ada yang memaksakan cara hidup mereka terhadap pihak lain.”
(ameera/arrahmah.com)