BIMA (arrahmah.com) – Ustadz Abrori, pimpinan pondok pesantren Umar bin Khattab (UBK) di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, tidak ditangkap polisi seperti yang diklaimkan pada masyarakat, melainkan menyerahkan diri.
Ayah kandung Abrori, Ustadz Aly Ghani Al Mahyubi, anak keempatnya tersebut menyerahkan diri pada hari kelima setelah ledakan bom di pondok pesantren UBK yang menewaskan pengurus pesantren, Ustadz Firdaus.
“Kapolda NTB sendiri yang menjemput di rumah ini, atas inisiatif kami pihak keluarga. Sejak kecil saya selalu mengajari anak saya bersikap tanggung jawab,” kata Aly Ghani di rumahnya di Dusun Bada Desa Kenanga No 10 RT 06 RW 03, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Sabtu (16/7/2011).
Ustadz Aly mengungkapkan bahwa pada hari Kamis (14/7) lalu, pihaknya menghubungi Kapolda Brigjen Arief Wahyunadi untuk menyerahkan anaknya dengan beberapa ‘syarat’, yakni penjemputan tidak perlu menggunakan mobil Barracuda, tidak membawa Brimob maupun Densus 88 dan tim penjemputan tidak berseragam polisi.
Kapolda menyetujui permintaan keluarga Ustadz Abrori tersebut, bahkan Kapolda sendiri yang menjemput di kediamannya.
“Saat Abrori datang ke rumah ini Kamis lalu, saya perintahkan dia untuk tidak ke mana-mana. Negosiasi dengan polisi terus kami lakukan,” katanya.
Bahkan, dia meminta Abrori dibawa melalui jalan darat, bukan melalui jalur udara seperti yang diberitakan. Pihak keluarga pasrah dengan hukuman yang diberikan kepada anaknya, pihaknya telah berkoordinasi dengan Tim Pembela Muslim (TPM).
Selain itu Ustadz Aly membatah keterangan polisi yang mengatakan bahwa Abrori merupakan laskar didikan Mindanao, Filipina. Sejak tamat di SMA 3 Mataram, Abrori menimba ilmu di ponpes Al-Mutaqin Jepara, Jawa Tengah selama 3 tahun. Setelah tamat dari pesantren, pada tahun 2002, saat kerusuhan Ambon terjadi, Abrori sempat ke daerah itu selama 1 tahun.
Dimata teman sekolahnya, Abrori juga dikenal cerdas dan pintar. Setiap mata pelajaran selalu mendapat nilai tertinggi. Arifin alias Hape, teman sekolah Abrori saat SD hingga SMP, mengaku kaget jika Abrori dituding terlibat aksi tindak pidana terorisme.
“Dia (Abrori), dalam bergaul di kampung sini selalu supel. Sering dia menjadi khotib dan tidak pernah mengajak berjihad, makanya kami semua kaget,” katanya.
Sementara itu, di lokasi Pondok Pesantren UBK situasi terlihat lengang. Tidak ada aktivitas para santri. Warga di sekitar Ponpes mulai menjalankan aktivitas seperti biasa. Tidak ada penjagaan oleh aparat kepolisian, baik dari Polres Bima maupun dari Brimob Polda NTB.
Warga juga tidak lagi menjalankan pam swakarsa dan lebih memilih diam dalam memjawab pertanyaan para awak media. Subhan, salah seorang warga mengatakan lebih baik diam dari pada salah ngomong dan nantinya akan menjadi masalah baru.
Mungkin warga sudah tahu sifat media sekuler pada khususnya yang sering membolak balik fakta dan menuliskan kebenaran dengan cara pandang mereka sendiri. Karena itu sikap diam yang dipilih warga adalah suatu sikap bijaksana dalam menyikapi permasalahan yang pada dasarnya tidak terlalu mereka pahami. (ans/arrahmah.com)