WINA (Arrahmah.id) – Pemimpin kelompok pemberontak Afghanistan, Ahmad Massoud pada Jumat (16/9/2022) kemarin mendesak diaspora untuk bersatu menemukan solusi politik mengakhiri kekuasaan Imarah Islam Afghanistan. Ia menyebut seruannya sebagai awal fase baru.
Massoud, pimpinan Front Perlawanan Nasional (NRF), sebuah kelompok bersenjata yang melancarkan pemberontakan di lembah Panjshir utara Afghanistan, mengatakan sudah waktunya untuk membawa Imarah Islam Afghanistan kembali ke meja perundingan.
“Kami ingin menyatukan diaspora dan memperluas dialog. Kami punya master plan untuk masa depan Afghanistan,” klaimnya dalam konferensi di Wina, Jumat kemarin, lansir AFP.
Konferensi Wina ini menyatukan sekitar 30 lawan politik Imarah Islam Afghanistan, sebagian besar dari mereka tinggal di pengasingan.
“Banyak kelompok yang baru-baru ini dibentuk di luar Afghanistan tidak senang dengan kondisi dalam negeri saat ini,” klaim Massoud, seraya menambahkan sudah waktunya untuk mengatasi perbedaan dan “menyembuhkan luka.”
Pengambilalihan Imarah Islam Afghanistan setelah pasukan AS mundur tahun lalu telah mengembalikan hak-hak perempuan dan menciptakan lahan subur bagi kelompok teroris, katanya.
Massoud adalah putra pejuang legendaris anti-Soviet dan anti-Taliban, Ahmad Shah Massoud yang dikenal sebagai Singa Panjshir, dibunuh pada 2001 oleh Al Qaeda, dua hari sebelum serangan 11 September 2001. Sejak saat itu putranya mengambil alih perlawanan terhadap pasukan Taliban (Imarah Islam Afghanistan)..
Pasukan NRF melakukan serangan terhadap Imarah Islam Afghanistan Mei lalu, dan pertempuran mulai berkobar lagi bulan ini.
“Tujuan kami bukan mengobarkan perang tapi mengakhiri perang,” kata Massoud, yang terus menyerukan dukungan internasional tatkala perhatian global terfokus pada Ukraina.
Pada Selasa lalu, Imarah Islam Afghanistan mengatakan pasukan mereka telah membunuh sedikitnya 40 pejuang NRF.
Sehari kemudian, kelompok perlawanan ini mengatakan bahwa mereka melihat video yang beredar di media sosial yang menurut NRF menunjukkan beberapa pejuangnya dieksekusi.
“Ini tidak dapat diterima, hal ini jelas bertentangan dengan hukum internasional,” kata Massoud. (zarahamala/arrahmah.id)