(Arrahmah.com) – Dalam beberapa bulan ke depan Daerah Khusus Ibukota Jakarta akan melaksanakan Pemilihan Gubernur, suksesi kepemimpinan ibu kota Jakarta menarik perhatian nasional. Sejumlah kepala daerah digadang-gadang untuk maju meramaikan persaingan memperebutkan kursi DKI-1 yang ingin kembali diduduki Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama untuk periode 2017-2022.Gubernur yang menjabat saat ini menjelaskan bahwa dirinya kini berniat maju kembali dalam pemilihan kepala daerah DKI 2017 bersama Djarot, wakilnya saat ini yang merupakan kader PDI Perjuangan.(Tempo.co.Id 19/08/2016).
Sosok Ahok yang didukung beberapa partai besar namun tidak sedikit warga dari berbagai kalangan menolak, bukan hanya warga dari berbagai lapisan dan elemen masyarakat lainnya, namun sebagian besar elit-elit parpol (di luar parpol pendukungnya) juga dengan sangat tegas menyatakan menolak dan mengajak warga untuk tidak memilih Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Sementara itu, selain ulama-ulama PKB, elit-elit Partai Amanat Nasional (PAN) juga dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap Ahok agar tidak dipilih pada Pilkada DKI Jakarta 2017(Kompasiana.21/08/2016) .
Lain Ahok lain pula dengan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini atau Rini santer digadang-gadang maju ke Pilkada DKI Jakarta 2017. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahkan telah memberikan lampu hijau untuk mengusung Risma yang dinilai cocok dipasangkan dengan bakal calon Sandiaga Uno.Sementara itu Partai Golkar yang merupakan partai pendukung bakal calon pertahanan Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mengakui kapasitas Risma selama memimpin Surabaya. Namun Politikus senior Golkar, Yorrys Raweyai menilai hal tersebut tak menggentarkan para pendukung Ahok.(Viva.co.id 1/8/2016)
Menyikapi fakta diatas kaum muslim dihadapkan pada keresahan untuk memilih pemimpin. Terlebih-lebih pada alam sekuler saat ini banyak jargon yang menyesatkan dengan mengatakan “Mana yang lebih baik, pemimpin muslim yang korup atau pemimpin kafir yang bersih? pernyataan ini tidak didukung oleh fakta dan data. Orang kafir yang korupsi (membawa kabur uang negara ke luar negeri) tidak sedikit, penguasa kafir yang zalim pun banyak, orang kafir yang pelit ada di mana-mana. Begitu pula orang Islam yang tidak korupsi jauh lebih banyak daripada yang korupsi. Pemimpin Muslim yang baik dan adil pun tidak sedikit. Dan orang-orang Islam yang dermawan juga banyak sekali.Selain jargon juga ternyata ada orang – orang berilmu yang berani mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan Alquran dan AsSunah mereka menganggap Konstitusi posisinya lebih tinggi dari Alquran padahal dia mengklaim sebagai muslim.
Ada pula argumentasi lain bahwa kepala daerah berbeda dengan kepala negara. Karena itu, kata mereka, larangan mengangkat pemimpin kafir sebagai kepala negara tidak berlaku untuk kepala daerah. Lebih mengerikan lagi, mereka tidak segan membajak pendapat ulama sekelas Imam al-Mawardi, seolah umat Islam bisa mereka bodohi dengan manipulasi mereka. Bahkan sekelas Ustadzpun ada yang berpendapat bahwa kepemimpinan tak perlu melihat latar belakang agama. Sehingga kedudukan pemimpin dianalogikan dengan seorang pilot, ketika kita akan menumpangi sebuah pesawat apakah kita perlu menanyakan agama pilot tersebut? dan ketika pilotnya non muslim apakah kita membatalkan untuk ikut dalam pesawat tersebut. Sungguh ini analogi yang tidak nyambung karena pilot hanyalah seorang ajir, orang yang diupah atau disewa jasanya. Dalam islam merupakan pembahasan muamalah yang dibolehkan untuk mngontrak/menyewa jasa siapapun baik muslim atau non muslim dalam perkara-perkara yang dibolehkan agama Kepentingan kita hanya menumpang, sesuai tujuan yang kita inginkan, sementara pemimpin negara atau gubernur, mereka berwenang menetapkan kebijakan yang mengendalikan rakyatnya. Sehingga dipastikan status pilot itu bukanlah pemimpin.
Islam memang mensyariatkan pengangkatan pemimpin dan penguasa bagi kaum Muslim. Islam mensyariatkan hal itu untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan oleh syariah. Pemimpin kaum Muslim itu diangkat untuk menegakkan agama Allah, menegakkan syariah-Nya, mewujudkan amar makruf nahi mungkar, meninggikan kalimat-Nya, menjaga pelaksanaan hudûd-Nya, memelihara hak-hak para hamba-Nya serta mengatur urusan kaum muslim baik dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka. Dalam syariah, pemimpin (peguasa) itu diangkat tidak lain untuk menerapkan syariah secara menyeluruh. Penerapan syariah secara menyeluruh akan membuahkan rahmat untuk seluruh manusia. tujuan pilkada maupun pilkara bagi umat Islam adalah agar si pemimpin memperbaiki kualitas agama masyarakat dan memperbaiki urusan-urusan dunia yang tanpanya agama tidak mungkin ditegakkan. Dengan pemimpin yang menerapkan syariah itulah akan terwujud Islam rahmatan lil ‘alamin. Imam al-Mawardi di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah (hlm. 5) menyatakan, “Imamah adalah topik untuk khilafah nubuwwah dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Mengakadkan Imamah/Khilafah untuk orang yang menegakkan hal itu di tengah umat adalah wajib”.
Jika demikian begitu pentingnya arti kepemimpinan bagi kaum Muslim, maka bagaimana mungkin pemimpin kafir—yang tidak mengimani Islam—akan menegakkan tugas-tugas itu? Bagaimana mungkin pemimpin kafir—yang tidak mengetahui dan meyakini mana yang makruf dan mana yang mungkar—akan bisa menegakkan amar makruf nahi mungkar? Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak mengetahui dan meyakini urusan keagamaan kaum Muslim akan bisa mengurusi dan memperhatikan urusan kaum Muslim? Oleh karena itu, sangat jelas bahwa orang kafir tidak mungkin diangkat menjadi pemimpin bagi kaum Muslim. Berbagai dalil dalam Alquran yang menyatakan keharaman orang kafir menjadi pemimpin bagi kaum Muslim.
﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً﴾
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin.” (TQS an-Nisa’ [04]: 141).
Maknanya, Allah SWT melarang untuk selamanya orang kafir menguasai orang Mukmin. Karena itu, berdasarkan ayat ini semua ulama sepakat, bahwa haram mengangkat orang kafir menjadi pemimpin kaum Mukmin (Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, I/641).
Dalam nash lain dengan tegas Allah SWT melarang kita menjadikan orang kafir sebagai wali:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ﴾
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai wali, selain kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 144).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini mengandung larangan atas kaum Mukmin untuk bersahabat, berteman, saling memberi dan meminta nasihat, berkasih sayang serta menyebarkan rahasia orang Mukmin kepada mereka (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, Juz I/867).
Ubadah bin Shamit ra. menuturkan dari Nabi saw.:
«وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ»
“Hendaknya kita tidak mengambil alih urusan itu dari yang berhak.” Baginda bersabda, “Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian mempunyai bukti yang kuat di hadapan Allah.” (HR al-Bukhari).
Jika penguasa Muslim yang telah menjadi kafir saja wajib diganti, maka larangan ini juga berlaku untuk mengangkat orang kafir menjadi penguasa kaum Muslim. Jika mempertahankan pemimpin Muslim yang berubah menjadi kafir dilarang, apalagi memilih orang kafir menjadi pemimpin.Selain al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Kalau kemudian tampak kekufuran pada dirinya, maka dia wajib diganti.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VI/315). Ibn Mundzir juga menyatakan, “Telah sepakat para ahli ilmu yang menjadi rujukan, bahwa orang kafir tidak berhak mempunyai kekuasaan atas kaum Muslim dalam urusan apapun.” (Ibn al-Qayyim, Ahkâm Ahl adz-Dzimmah, II/787).
Dengan demikian keharaman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin (penguasa) telah sedemikian jelas. Tidak ada argumentasi syar’i yang bisa membenarkan pengangkatan pemimpin (penguasa) kafir atas kaum Muslim. Setidaknya ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terpilihnya pemimpin kafir. Pertama, perlunya menyadarkan umat Islam sendiri agar tidak memilih calon pemimpin yang kafir. “Biar mereka dicalonkan, biar mereka dikampanyekan, dan mau didukung oleh korporasi, atau mafia besar, akan tetapi kalau umat Islam sadar, umat Islam tidak akan tertipu dengan tipuan mereka. Kedua, perlu juga penyadaran terhadap partai-partai yang notabene anggotanya muslim agar tidak membantu calon pemimpin kafir berkuasa. Kita lihat ketua umum Golkar, Hanura, dan Nasdem, mereka kan muslim, kita harus ingatkan mereka, kalau Muslim jangan memilih pemimpin kafir untuk berkuasa, nah kalau mereka partai-partai itu masih ngotot maka umat Islam akan melihat dan kapok memilih, karena mereka telah menipu dan mengkhianati dengan menggunakan suara-suara umat Islam, justru malah untuk menaikkan pemimpin kafir. Ketiga, dan ini merupakan faktor utama mengapa orang kafir bisa terpilih menjadi kepala negara atau pun gubernur. Orang kafir bisa berkuasa karena sistem yang diterapkan memang membolehkan mereka berkuasa.
“Karena itulah, umat Islam harus berjuang keras untuk mengubah sistem demokrasi yang membolehkan pemimpin kafir berkuasa, bukan sekadar berjuang merebut kekuasaan saja,”
Adapun terkait dengan kepemimpinan perempuan
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُم امْرَأَةً
Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan mereka kepada wanita (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ahmad). Larangan dalam hadis ini juga bersifat tegas. Hal itu ditunjukkan oleh qarinah berupa kata “lan yufliha (tidak akan pernah beruntung)”. Frasa ini menafikan keberuntungan untuk selamanya. Dengan demikian larangan dalam hadis ini mengandung hukum haram. Jadi hadis ini menyatakan keharaman menyerahkan kekuasaan kepada wanita atau haram menjadikan wanita sebagai penguasa. Adapun wanita menjadi pemimpin selain kekyasaan dibolehkan. Seperti menjadi direktur sebuah perusahaan, ketua perkumpulan atau organisasi sosial, ketua penyelenggara kegiatan yang dibolehkan dalam islam, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang muslim sudah semestinya dengan tegas menolak pemimpin kafir begitu juga pemimpin perempuan mengingat bahwasanya seorang pemimpin wajib menerapkan syariat Islam, dan mengatur seluruh interaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan hukum syariat semata. Saat ini umat seakan-akan diberi pilihan yang sama-sama sulit. Jika tidak ada penyadaran kepada umat, maka umat islam akan terjebak kepada aktivitas yang sama-sama diharamkan yaitu perkara perkara memilih pemimpin kafir atau perempuan. Karena itu wajib bagi kita yang sudah memahami dan mencintai Allah serta Rasul-Nya di atas segala-galanya untuk mengembalikan perkara ini pada syari’at. Jangan sampai kita terjebak pada rekayasa orang-orang kafir sehingga umat Islam semakin jauh dari agamanya serta keridhoan Allah Swt. Memilih pemimpin adalah hak umat, namun hal ini hanya bisa diwujudkan jika sistem pemerintahan yang ditegakkan di tengah-tengah rakyat adalah Khilafah Islamiyyah. Tidak aka nada perubahan yang berarti bagi diri umat selama kita berharap dan menyerahkan kepemimpinan pada orang yang salah dan sistem yang buruk. Maka, kembalilah kepada Islam. Marilah bersama menegakkan sistem Islam yang akan menerapkan syariah secara total dengan seorang Khalifah sebagai pemimpinnya. Wallahu ‘alam bi shshowab
(*/arrahmah.com)