MOSKOW (Arrahmah.com) – Kepala junta Myanmar tiba di Moskow pada Ahad(20/6/2021) untuk menghadiri konferensi keamanan, yang menjadi perjalanan kedua ke luar negeri sejak ia merebut kekuasaan dalam kudeta.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan pemerintah Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada Februari.
Pemimpin Junta Min Aung Hlaing meninggalkan ibu kota Naypyidaw pada Ahad dengan penerbangan khusus untuk menghadiri Konferensi Keamanan Internasional Moskow, ujar laporan MRTV yang dikelola negara.
Dia hadir atas “undangan Menteri Pertahanan Rusia,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia telah “disambut” oleh duta besar Rusia untuk Myanmar di bandara.
Laporan tidak memberikan perincian tentang berapa lama dia berada di Rusia, sekutu dan pemasok senjata utama bagi militer Myanmar, lansir AFP.
Kedutaan Myanmar di Rusia kemudian mengonfirmasi kedatangan Min Aung Hlaing.
“Panglima telah tiba di Moskow,” kata seorang juru bicara kedutaan seperti dikutip oleh kantor berita Rusia.
Tindakan keras junta terhadap perbedaan pendapat telah menewaskan sedikitnya 870 warga sipil, menurut kelompok pemantau lokal.
Pada bulan Mei media lokal melaporkan panglima angkatan udara Myanmar menghadiri pameran helikopter militer di Moskow.
Kunjungan Min Aung Hlaing dilakukan setelah Majelis Umum PBB mengambil langkah langka pada hari Jumat dengan menyerukan negara-negara anggota untuk “mencegah aliran senjata” ke Myanmar.
Rusia abstain dari pemungutan suara.
Resolusi itu –yang tidak sampai menyerukan embargo senjata global– juga menuntut agar militer “segera menghentikan semua kekerasan terhadap demonstran damai.”
Itu disetujui oleh 119 negara, dengan 36 abstain termasuk Cina, sekutu utama Myanmar. Hanya satu negara, Belarus, yang menentangnya.
Min Aung Hlaing menghadiri pembicaraan krisis dengan para pemimpin 10 negara blok Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara di Jakarta pada bulan April –perjalanan luar negeri pertamanya sejak ia merebut kekuasaan.
Pertemuan itu menghasilkan pernyataan “lima poin konsensus” yang menyerukan “penghentian segera kekerasan” dan kunjungan ke Myanmar oleh utusan khusus regional.
Namun sang jenderal mengatakan dalam wawancara televisi kemudian bahwa Myanmar belum siap untuk mengadopsi rencana tersebut.
Seorang utusan khusus belum ditunjuk, dan kekerasan terus berlanjut di seluruh negeri. (haninmazaya/arrahmah.com)